Pendahuluan
Tanah Batak berada di provinsi Sumatera Utara, dimana salah
satu suku-bangsa Indonesia ber-nama suku-bangsa
atau etnik Batak berdiam. Pada awalnya yang bernama suku-bangsa Batak itu belum
jelas diketahui, demikian juga tempat mereka berdiam di Nusantara. Ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa kebanyakan suku bangsa Indonesia berdiam di Nusantara
silam, sebelum keda-tangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara, belum menaruh
perhatian dalam pembuatan catatan ten-tang: suku-bangsa, ragam puak, lingkungan
alam, adat-istiadat, budaya, dan lain sebagainya, da-lam perjalanan hidup panjang
yang telah dilalui di muka bumi menelusuri waktu. Penulisan ca-tatan tentang
keluarga dan keturunan pun sangat sedikit dilakukan orang ketika itu, terkecuali
oleh segelintir leluhur para pendahulu yang disuratkan diatas bilah bambu, kulit
kayu, atau la-in sebagainya dengan aksara Batak. Demikian juga tentang tempat keberadaan
mereka dan ragam puak Batak begitu juga lainnya pada masa itu.
Kalaupun ada pengetahuan tentang suku-bangsa dan ragam puak
dan lainnya dari masa lampau, kebanyakan tersimpan dalam kenangan berrupa inatan
yang dapat diraih cara lisan dalam bahasa atau logat yang menggunakan istilah setempat.
Lainnya dapat ditemukan kembali lewat pentasan budaya, penuturan ceritra atau hikayat,
ungkapan pantun dan sajak, senandung lagu, benda hasil kerajinan, bangunan, dan
beragam lainnya. Begitu juga tentang tempat mereka berdiam di muka bumi silam.
Istilah yang kerap digunakan untuk menyatakan tempat asal menggunakan istilah:
“di hitaan”, yang artinya “di kita sana”. Keterangan demikian sudah tentu tidak
mempunya mak-na bagi mereka yang ingin mengetahui tempat asal tercantum di peta
di muka planet biru ini.
Nama Tanah Batak lalu beralih menjadi Tapanuli, setelah kaum
pedagang dan para pendatang ke menemukan
sebuah tempat pemandian: “Tapian Na Uli” (Pantai Yang Indah) di bagian Barat pu-lau
Sumatera, tidak jauh dari Sibolga, yang kerap dikunjungi pelancong dann para wisatawan
ke pesisir Barat pulau Perca. Adapun alasan para pedagang datang berkunjung ke daerah
itu, ialah upaya mencari hasil bumi yang laku diperdagangkan di kawasan Asia Tenggara
ketika itu, antara lain: kulit manis, kapur barus, beragam rempah, bahan
pangan, dan lainnya, yang selanjutnya di-perjual-belikan orang sampai kawasan Asia
Selatan dan Timur Tengah. Ada pula kaum peda-gang ini yang memperjualbelikan
lanjut lebih lanjut sampai ke pesisir Barat daratan Eropa ketika itu. Nama
Tanah Batak lalu berganti menjadi Tapanuli sejak dari masa yang sarat sejarah
silam. Orang dari bermacam bangsa dari Eropa Barat tertarik berkunjung ke Nusantara
di Asia Teng-gara dengan kapal layar dihembus
angin, guna menemukan sumber dari beragam rempah yang amat dibutuh-kan orang di
negeri mereka, yang lalu memicu kegiatan dagang antar berbagai ka-wasan di muka
bumi yang amat luas terdapat di muka planit biru ini.
Sebelum kedatangan bangsa Eropa ke kawasan Asia Tenggara,
seperti: Portugis, Inggris, dan Be-landa tiba ke Nusantara, di Tanah Batak
telah terdapat beragam kerajaan yang menguasai bemacam wilayah yang dinamakan “Luhat”,
dan dipimpin oleh seorang penguasa bernama: Raja Panusunan Bulung (RPB). Pada ketika
itu, Luhat menjadi tempat berhimpun beragam kampung, mulai kecil hingga besar di
wilayah itu. Kampung dalam bahasa Batak dinamakan “Huta”, sedangkan untuk kampung
kecil digunakan kata “Pagaran”. Dengan demikian Luhat pada ketika itu, menjadi
tempat berhimpun beragam Huta dan Pagaran. Sebuah Pagaran (anak kampung) ini pada
suatu ketika akan berkembang menjadi Huta, apabila telah dapat memenuhi
keperluan sendiri supaya dapat berdiri sendiri. Kampung yang telah berdiri
sendiri akan dipimpin seorang Raja Pamusuk (RP) terpilih, setelah terlebuh
dahulu diresmikan oleh RPB Luhat bersangkutan dan RP huta yang selama ini telah
membinanya, dengan sebuah upacara Adat Batak setempat. Bona Bulu adalah juga sebuah
Huta atau Kampung, hanya saja yang akhir ini dipungka (di-dirikan) oleh sesuatu
marga Batak yang mengupayakannya, dan menjadikan tempat asal marga mereka di
Tanah Batak silam. Huta dinamakan orang Bona Bulu, selain karena telah diresmikan
menjadi Huta yang telah dapat berdiri sendiri, juga dipagari oleh “rumpun bambu”
guna melin-dungi dari gangguan para perusuh, atau musuh, datang menyerang dari
luar.
Berbagai kerajaan terdapat di Tanah Batak dari masa yang silam,
memiliki pemerintah yang ber-diri sendiri, dan bersifat otonom. Karena itu mereka
tidak mengenal adanya kekuasaan peme-rintah pusat, atau kekuasaan lain yang dapat
mengatur atau mempengaruhi pemerintahan dalam luhat dari luar wilayahnya. Kehidupan
masyarakat berjalan menurut ajaran adat Batak dari ma-syarakat setempat. Karena
itu akan terlihat jelas keanekaragaman atau variasi pelaksanaan adat Batak
diberlakukan di berbagai Luhat di Tanah Batak silam. Pemerintahan berlangsung
menurut Adat Batak yang berlaku dalam Luhat, dan berjalan berabad lamanya di
Tanah Batak, yang di-wariskan cara turun-temurun menelusuri perjalanan generasi.
Diantara sejumlah Luhat yang terdapat di Tapanuli Selatan sebelum
kedatangan bangsa Belanda, dan masih dapat diketahui orang sampai kini, ialah:
Luhat Sipirok, Luhat Angkola, Luhat Maran-car, Luhat Padang Bolak, Luhat
Barumun, Luhat Mandailing, Luhat Batang Natal, Luhat Natal, Luhat Sipiongot dan
Luhat Pakantan. Luhat, mereka namakan juga Banua, ketika itu masih me-rupakan tempat
kediaman suatu “kelompok kekerabatan” berlatar belakang kahanggi atau per-saudaraan
semarga (genealogi); yakni kediaman kelompok-kelompok masyarakat yang boleh
di-katakan masih seketurunan menguasai daerah amat luas. Pemerintahan luhat dilaksanakan
me-nurut Adat Batak setempat, berangkat dari kekerabatan Dalihan Na Tolu (DNT),
atau Tungku Yang Tiga (TYT), berangkat dari Mithologi Batak, berjalan dalam kehidupan
masyarakat Batak, yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung (RPB), yang bertindak
sebagai Sang (Si) Penyusun Daun (seorang pemimpin yang sekaligus juga teladan).
Adapun yang diangkat menjadi Raja Panusunan Bulung (RPB) ialah
seorang yang dipilih dari antara Raja Pamusuk (RP) terdapat dalam Luhat dibicarakan,
terutama dari kalangan mereka Si-suan Haruaya (Si penanam pohon Beringin) di Luhat
tersebut tidak terkecuali turunan mereka, dan setelah terpilih, lalu dinobatkan
melalui sebuah upacara Adat Batak menjadi seorang Raja Panusunan Bulung (RPB) di
Luhat, guna memerintah sepanjang hayat. Dalam menjalankan tu-gasnya, RPB
dibantu seorang Raja Pangondian (RPO), juga dipilih dari antara para Raja Pamu-suk
yang ada dalam Luhat yang dibicarakan. Selain sebagai Kepala Pemerintah, seorang
RPB juga merangkap jadi Kepala Adat atau Raja Adat dalam Luhat bersangkutan, untuk
memimpin bermacam acara dan upacara yang berlangsungkan dalam Luhat, mulai bersifat
keagamaan seja-lan dengan Adat Batak, hingga perhelatan pribadi warga ada dalam Luhat yang ia
pimpin. RPB selanjutnya mendapat gelar: “Haruaya
Parsilaungan” (Pohon Beringin Tempat Bernaung). Di Angkola dinamakan orang: “Banir
Parkolipkolipan”, sedangkan di Mandailing dinamakan: “Ba-nir Paronding-ondingan”,
yang maknanya tempat berlindung/bernaung warga yang terdapat da-lam daerah kekuasaannya.
Meski pemerintahan Luhat dilakukan RPB di Tanah Batak bercorak
oligaki, artinya dilakukan oleh segelintir
orang, akan tetapi “corak demokrasi” ditampilkan juga dengan adanya Lembaga
Hatobangon (rapat tetua Luhat) bertugas mendampingi RPB, sehingga bermacam
kelompok yang ada dalam masyarakat Batak ketika itu memiliki wakil untuk
menyampaikan kepentingan masing-masing kelompok. Selain berdiri sendiri, Luhat
yang tidak sedikit jumlahnya saat itu, ti-dak sama pula bangun wilayah maupun luasnya,
berjauhan satu dari lainnya, dengan batas-batas yang masih belum terpetakan samasekal
ketika itu, namun kerajaan-kerajaan di Tanah Ba-tak saling menghargai satu sama
lainnya oleh sifatnya masih sejajar dan sederajat. Tidak terdapat kekuasaan lain
rupa apapun terdapat di atas masing-masing kerajaaan di Tanah Batak ketika itu
yang boleh mencampuri urusan pemerintahan masing-masing Luhat yang masih
berbentuk kera-jaan ketika itu.
Pada ketika itu Luhat di Tanah Batak merupakan tempat berhimpun
Huta (Kampung) yang telah mampun berdiri sendiri, tidak terkecuali Bona Bulu (Kampung
asal sesuatu marga Batak), dan Pagaran
yang sedang berkembang,. Pagaran itu adakah anak Kampung yang menjadi awal dari
berdirinya Huta maupun Bona Bulu yang pada masa itu kebanyakan dipungka
(didirikan) oleh sesuatu marga yang ada di Tanah Batak sampai dapat berdiri
sendiri. Anak Kampung akan berkembang menjadi
Huta atau Kampung apabila kelak telah dapat memenuhi keperluannya sen-diri. Selain
dari itu, anak Kampung atau Pagaran dapat pula berkembang menjadi Bona Bulu, manakala
ada suatu marga di Tanah Batak yang mamungka atau memprakarsai berdirinya, untuk
dijadikan Kampung asal marga tersebut nantinya.
Apabila sebuah Pagaran berkembang telah dapat memenuhi segala
keperluannya, maka siaplah ia diresmikan menjadi Huta, atau Bona Bulu (rumpun-bambu),
oleh kekerabatan suatu marga yang mengusahakan di Tanah Batak. Sebuah upacara dalam
Adat Batak setempat lalu dipersiap-kan untuk meresmikannya. Sebuah Pagaran akan
diresmikan menjadi Huta, atau Bona Bulu, ma-nakala ada kahanggi suku-bangsa Batak
pendiri yang mengupayakannya. Pada zaman dahulu, se-buah Pagaran atau anak Kampung
diresmikan menjadi Bona Bulu, manakala telah dipenuhi se-dikitnya persyaratan
sebagaimana berikut ini, yaitu: 1. Telah ada penduduk tetap Pagaran ber-jumlah tiga
keluarga Dalihan Na Tolu, terdiri dari: Kahanggi, Anakboru, dan Mora. 2. Telah ter-dapat
tanah peladangan tempat warga bercocok tanam, tidak terkecuali sawah yang berpengai-ran,
dimana warga dapat bertanam padi untuk jadi makanan pokok. 3. Telah terdapat
pemerinta-han yang dipimpin seorang Raja Pamusuk (RP) untuk mewujudkan tertib
umum yang menda-tangkan kesejahteraan dan kemajuan kepada seluruh anggota
masyarakat. 4. Dan, yang juga ti-dak kalah penting ialah, keberadaan Huta atau Bona
Bulu yang baru diterima baik oleh seluruh kampung mengitari yang telah lebih
dahulu ada.
Dengan cara disebutkan diatas, bermacam Huta maupun Bona
Bulu telah berhasil dipungka oleh warga suku-bangsa Batak silam; satu persatu beralih
dari Pagaran menjadi Huta atau Bona Bulu setelah berhasil menyediakan beragam keperluan
yang dibutuhkan warga sebagaimana yang dia-tur dalam Adat Batak setempat. Untuk
meresmikan sebuah “pagaran” telah berkenbang menjadi “Huta” atau “Bona Bulu”,
diadakanlah sebuah “horja godang” (pesta besar) dengan menyem-be-lih hewan, yang
dalam Adat Batak disebut: nabontar (kerbau), tidak terkecuali hewan-hewan adat lain
lebih kecil. Yang menjadi puncak acara peresmian Pagaran menjadi Huta, atau Bona
Bulu, ialah saat RPB Luhat bersangkutan manabalkon (mengukuhkan) nama keluarga
Sipungka Huta (Sipendiri Kampung) menjadi Raja Pamusuk (RP) di kampung yang baru
diresmikan, seka-ligus mengumumkan gelar baginya, atau “nama Raja” untuk orang
bersangkutan.
Dalam meresmikan Huta, atau Buna Bulu, RPB akan didampingi para
petinggi Luat, dan pada bersamaan juga mengumumkan susunan pemerintahan Huta,
atau Bona Bulu. Dalam peresmian Huta, atau Bona Bulu yang baru, hadir pula perwakilan
“torbing balok”, yakni para utusan dari Kampung-kampung sekitar yang diminta datang untuk menghadiri tepat pada waktunya.
Acara peresmian Huta, atau Bona Bulu, dilanjutkan dengan pidato Raja Pamusuk Sipungka
Huta yang memberitahukan kepada semua hadirin, bahwa Huta, atau Bona Bulu yang
baru berdiri, adalah kampung asal dari “marga-x” yang mendirikannya. Raja
Pamusuk lalu turun ke halaman untuk menanam pohon bambu-duri, yang diiringi
istrinya menanam pohon pandan, Anakborunya me-nyemaikan bibit jagung
dalam bermacam banjaran; lalu disusul moranya menanam butiran padi di sejumlah petak sawah yang disediakan.
Kampung yang dipungka oleh suatu marga suku-bangsa Batak disebut
Bona Bulu, artinya rum-pun-bambu, karena memang pada waktu yang silam, Huta-huta
yang terdapat dalam Luhat di Tanah Batak adalah tempat berdiam warga yang dipagari
bambu-duri. Tujuannya untuk melin-dungi warga dari gangguan penjahat atau musuh
yang datang menyerang dari luar. Selain pohon bambu yang mengelilingi Kampung,
masih terdapat lagi anyaman bambu disusun berlapis, agar Kampung tidak dapat
dimasuki orang dari luar, kecuali lewat pintu gerbang disediakan yang di-kawal
perajurit “hundangan podang” (perajurit bersenjata pedang).
Anak Kampung yang masih belum siap menjadi Huta atau Bona Bulu,
masih tergantung kepada Huta atau Bona Bulu yang mengasuhnya dalam memenuhi kebutuhannya,
seperti: keamanan, pe-merintahan, melaksanakan acara dan upacara adat Batak, serta
lainnya, dan dinamakan Pagaran. Terdapat banyak Pagaran yang bernaung dibawah Huta
atau Bona Bulu di berbagai Luhat di Ta-nah Batak, menjelang kedatangan bangsa
Belanda yang pertama kalinya ke Tapanuli Selatan si-lam, lalu kemudian berkembang
menjadi Huta atau Bona Bulu pada waktu yang lalu. Huta atau Bona Bulu selain sebagai
tempat warga berdiam, juga tempat mencari nafkah dan kebutuhan hi-dup lainnya.
Huta atau Bona Bulu dengan begitu selain menjadi tempat bermukim, juga lahan tempat
warga mencari nafkah, diawali belukar, ladang, sawah, dan beragam perairan
(telaga, sungai, dan laut). Hutan, lembah, dan gunung dimana dapat ditemukan kebutuhan
lainnya, diatur pemanfaatannya oleh warga silam bekerjasama dengan RPB.
Orang yang memimpin sebuah Huta atau Bona Bulu di Tanah
Batak dinamakan Raja Pamusuk (RP), datang dari keluarga-keluarga si Suan Bulu (si
Penanam Bambu) di kampung tempat mereka berdiam. Huta yang banyak penduduk karena
luas tanahnya, dan subur, serta kaya ling-kungan
alamnya, juga dipimpin seorang RP, tetapi dibantu oleh seorang Kepala Ripe (KR)
da-lam melaksanakan pemerintahan kampung, demi menegakkan tertib umum yang
mensejahtera-kan kehidupan masyarakat. Seorang Raja di Tanah Batak silam, baik
RPB maupun RP, dalam masyarakat Batak sebelum kedatangan bangsa Eropa, bukanlah
seorang manusia ternama seba-gaimana yang dikisahkan dalam buku sejarah Eropa di
zaman feodal yang dipelajari oleh siswa Sekolah Menegah Pertama (SMP), akan tetapi
adalah seorang bijak yang dituakan dari antara pa-ra tetua Huta maupun Luhat,
tepatnya seorang terbaik dari antara mereka semua (primus inter-pares), datang
dari keluarga-keluarga para pendiri Luhat maupun Huta yang benar-benar dikenal
bijaksana dari kalangan masyarakat tempat mereka berdiam.
Orang Belanda datang ke Nusantara lalu masuk ke Tanah
Batak, diawali dari berdirinya "Vere-nigde Oost-Indische Compagnie
(VOC)", atau Kompeni Hindia Timur (KHT) di Belanda, Eropa Barat, pada tahun
1602 yang silam. KHT lalu berlayar menuju ke Timur untuk menemukan sum-ber bermacam
rempah, seperti: lada, pala, cengkeh, dan lainnya yang ada di Asia Tenggara, lalu
masuk ke Nusantara. Dalam per-jalanan waktu, KHT mendapat sejumlah “tanah
pijakan” di Nu-santara untuk berdagang. Setelah mendapat tanah pijakan di sejumlah
tempat di pulau Sumatera, KHT lewat berbagai transaksi niaga dilakukan berhasil
pula mendapat “tanah jajahan”; dan yang disebut belakangan ini semakin luas dalam
perjalanan waktu panjang, menyebabkan Pemerintah Negeri Belanda di Den Haag,
pada tahun 1610, perlu mengangkat untuk pertama kalinya Pieter Booth sebagai
wakil pemerintah Belanda di tanah jajahannya di Asia Tenggara, seorang: Gou-verneur-Generaal
van Oost Indie (Gubernur-Jenderal dari Hindia Timur) berkedudukan di Ba-tavia
pulau Jawa, guna mewakili kepentingan Kerajaan Belanda seberang lautan yang terdapat
di Asia Tenggara.
Pada awalnya KHT menyinggahi sejumlah tempat yang berada di
pantai Barat pulau Sumatera, mendiami di
kota-kota, seperti: Singkil, Sibolga, Poncan, Barus, Singkuang, Natal, dan
lainnya untuk tanah pijakan. Pada tahun 1808, Negeri Belanda diduduki oleh Perancis,
ketika itu masih dipimpin Napoleon Bonaparte (1769-1821). Sebagai akibatnya,
Negeri Belanda termasuk seluruh tanah jajahan sebe-rang lautan milik KHT di Hindia
Timur lalu dikuasai Perancis. Yang akhir ini, oleh sang Kaisar diserahkannya kepada sang adik tercinta Lodewijk
Napoleon. Akan tetapi setelah Napoleon Bonaparte berhasil ditaklukkan dalam
pertempuran di Waterloo, Belgia tahun 1811, pemerintah baru Perancis
memerdekakan negeri Belanda, lalu mengembalikan tanah jajahan Hindia Timur milik
KHT pada pemiliknya. Akan tetapi, pada tahun yang sama, Inggris lalu merampas
tanah jajahan KHT dari tangan pemerintah Belanda guna dijadikan miliknya.
Pada tahun 1812 pemerintah Inggris dan
Belanda lalu menjalin kesepakatan di Eropa, dan melak-sanakan pertukaran sebagian
dari tanah jajahan mereka yang berada di Hindia Timur. Pulau Si-ngapura yang pada
ketika itu milik KHT, lalu diserahkan Belanda kepada Inggris, dan sebagai
gantinya Belanda memperoleh daerah Natal dan Bengkulu. Inggris lalu menjajah
Tanah Batak sampai tahun 1825, lalu sejalan dengan perjanjian London, Inggris lalu
mengembalikan Tanah Batak kepada Belanda, termasuk bagian Tanah Batak yang sudah
terbagi dua, masing-masing ketika itu dinamakan: “Padang Hilir” dan “Padang
Darat”. Selama masa penjajahan Inggris di Tanah Batak berlangsung 14 tahun
silam, tidak ada terdengar khabat tentang Tanah Batak yang dikuasai orang Inggris, terkecuali usaha
penyebaran agama Nasrani aliran Anglikan yang dila-kukan pendeta Burton dari
Inggris tahun 1824, yang tidak memperlihatkan banyak kemajuan di Sibolga waktu
itu.
Sebelum munculnya tanah jajahan Hindia
Timur milik Belanda, Inggris sudah sejak tahun 1808 berdiam di Natal, kala itu Belanda
masih meduduki Bengkulu yang terdapat di bagian selatan pulau Sumatera. Meski kata
Natal adalah sebuah nama pemberian orang Inggris, namun pelabu-han samudera
Hindia yang terletak di pantai Barat pulau Sumatera itu sudah sejak lama dising-gahi
oleh kapal-kapal layar Mancanegara, atau Internasional yang membawa barang dagangan.
Sejumlah peninggalan Inggris yang masih dapat ditemukan di Natal sampai saat ini,
ialah: sisa benteng pertahanan kota itu, bekas-bekas meriam, dan tempat
pemakaman orang-orang kulit putih yang masih tersisa di Tanah Batak.
Berlatar belakang muktamar Wina berlangsung
di Switzerland tahun 1839 silam, kemudian dise-pakatinya sebuah keputusan yang
mengharuskan negeri Belanda dan negeri Belgia tergabung kedalam sebuah perserikatan
bernama “uni”; maka akibatnya, tanah jajahan negeri Belanda di Hindia Timur perlu
dikendalikan oleh dua kekuasaan, sejalan dengan corak agama Keristen yang
dianut oleh bangsa Belanda dan corak agama Keristen yang dianut oleh bangsa Belgia
ketika itu. Itulah sebabnya mengapa terdapat dua orang Gubernur-Jenderal yang dengan
syah (legal) meme-rintah Kompeni Hindia Timur (KHT) dari saat bersejarah itu, masing-masing:
Gubernur Jenderal van der Capellen dari negeri Belanda yang beragama Protestan,
dan Gubernur Jenderal de Kock dari negeri Belgia yang beragama Katholik Romawi.
Adapun agama yang dianut oleh suku-bangsa
Batak ketika itu tergolong kepercayaan asli, dan mengajarkan bahwa, segala apa
yang ada di muka bumi, baik yang hidup maupun yang mati, me-miliki ruh-baik
dan ruh-buruk., yang oleh
ilmuan Barat dikenal dengan animisme. Dari animis-me, menurut ilmuan disebutkan,
kepercayaan suku-bangsa Batak beralih ke dinamisme, yang mengajarkan bahwa segala
apa yang ada, baik yang hidup maupun yang mati, mengandung ke-kuatan luar biasa
oleh perbuatan dilakukan. Perbuatan dikatakan “suci” apabila baik sifatnya, lalu
dinamakan: Manna. Adapun orang yang pandai Manna diberi gelar: Datu (Dukun),
karena telah menguasai sejumlah ilmu ghaib yang dapat dipindahkan kepada orang
lain, menyebabkan si penerima mudah disayangi oleh orang lain walau belum
dikenal, memiliki badan kebal, pandai meramal nasib orang lain, menyimpan
kesaktian tolak bala, dan lainnya.
Agama Hindu kemudian datang ke Nusantara
dari anak benua India sebelum tarikh Masehi yang mengajarkan agama baru di Tanah-Air.
Para pendeta agama Hindu kemudian mendirikan tempat peribadatan yang sekaligus menjadi
tempat pengajaran dan penyebaran kepercayaan baru setra lainnya, seperti: kesaktian,
mantra, ilmu ghaib, dan lainnya. Lalu menyusul lagi datang agama Budha, yang
masuk ke Tanah Batak pada sekitar abad ke-11 Masehi. Agama akhir ini dibawa
para pendeta Budha, yang awalnya datang semenanjung Malaya (kini Malaysia), lalu
dari tempat akhir ini agama Budha aliran Vijrayana masuk ke Tanah Batak lewat
Labuhan Bilik di muara su-ngai Barumun, di Kabupaten Labuhan Bilik. Mereka berlayar
menelusuri sungai Barumun yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi
Sumatera Utara. Para pendeta Budha aliran Vijrayana ini kemudian mendirikan
kompleks biaro (candi), di desa Bahal, Portibi, Padang Bo-lak; kini lebih dikenal
dengan: Bahal I, Bahal II, dan Bahal III. Kedatangan agama Budha aliran
Vijrayana membuat kepercayaan terdahulu: animisme, dinamisme, dan Hindu, di
Tanah Batak hijrah ke pedalaman untuk digantikan
dengan yang baru.
Pandangan Tiga Sekawan
Pada awalnya manusia mendiami muka bumi yang bundar bagai
bola ini, berdiam di: pulau, ke-pulauan, dan benua. Para insan yang hidup di
muka bumi lalu tergabung kedalam “kelompok hi-dup” yang dikenal dengan istilah:
keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa. Komunitas manusia ini masih tercerai
satu dari lainnya pada ketika itu, karena penduduk bumi masih belum seberapa
dibandingkan luasnya permukaan bumi ini. Masing-masing komunitas manusia lalu bertetangga
dengan “alam sekitar” yang menjadikan
lingkungan hidup masing-masing. Ter-dapat lingkungan hidup di bumi berupa daerah
tropis berhawa panas disekitar khatulis-tiwa. Lainnya dinamakan subtropis, mulai
dari berhawa sejuk hingga dingin di belahan bumi bagian Utara dan belahan bumi bagian
Selatan. Ada lagi alam sekitar di muka bumi berupa perairan, dimulai: paya atau
rawa, tambak, sungai, danau, laut, hingga dengan sa-mudra. Lainnya alam sekitar berupa dataran rendah sangat
luas, yang dinamakan padang rumput, dimana bermacam hewan mencari makan. Dari
alam sekitar disebutkan bela-kangan, lingkungan di muka bumi beralih ke dataran
tinggi dilanjutkan daerah pegunungan hawa sejuk beragam ketinggian diatas permukaan
laut. Masih terdapat alam sekitar lain di muka bumi yang disebut padang pasir berhawa
panas yang gersang lagi tandus amat luas bersifat regional. Selain dari itu, ada
lagi alam sekitar di muka bumi yang ditutupi salju amat luas, mulai yang bersifat musiman hingga dengan salju abadi.
Yang disebut akhir ini terdapat pada tempat-tempat yang bertetangga dengan
kutub Utara, dan tempat-tempat yang bertetangga dengan kutub Selatan dari planit
ini.
Adapun “pemandangan” sehari-hari insan berdiam di muka
bumi, di bagian belahan bumi ma-napun berdiam pada awal keberadaan di muka bumi:
pertama ialah manusia yang tergabung
ke-dalam komunitas masing-masing, diawali keluarga sendiri hingga masyarakat setempat,
mulai dari komunitas kecil hingga dengan besar komunitas bilangan warganya; kedua: alam sekitar me-ngitari komunitas
masing-masing, antara lain: padang rumput, hutan hingga rimba belantara; pe-rairan,
dari: kolam, paya atau rawa, tambak, sungai, danau, laut, hingga dengan
samudra. Ada la-gi alam sekitar: padang rumput, padang pasir, padang salju mulai
dari musiman hingga salju aba-di; juga alam sekitar campuran dari apa yang telah
disebutkan sebelumnya; ketiga: ialah yang menampakkan diri di angkasa hingga ketinggian
langit, dimulaii: arakan awan, bulan, dan mata-hari yang timbul tenggelam; bintang
berekor (komet) melintas, gugusan bintang gemerla-pan, dan banyak lagi lainnya,
mulai dari yang dapat terlihat mata hingga dengan yang tak-tampak. Yang disebut
belakangan ini tidak mungkit dirinci satu persatu, namun semuanya de-ngan setia
memperlihatkan diri di angkasa. Ketiga ragam “pemandangan” mengitari kehidupan insan
di muka bumi, yakni: “manusia”, “alam sekitar”, dan “aneka ragam benda langit” dengan
setia memperlihatkan diri di angkasa, dan tidak diragukan lagi mengirim pesan kepada
insan ber-jiwa yang ada di muka bumi, dialamatkan kepada “akal-budi”
masing-masing dimanapun berdiam diseputar planit biru ini, dari bujur Barat sampai
dengan bujur Timur, demikian juga dari
lintang Utara hingga lintang Selatan. Ketiga ragam pemandangan ini telah pula menorehkan
pesan, kesan, rupa citra terekam kedalam:
Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris),
Seele (Jerman), dengan “jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas) deraan bervariasi
diterima oleh: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, berbeda-beda di seantero planit yang bulat bagai bola, menerobos zaman
bersekala milenium (waktu seribu tahun) hingga
dengan saat ini.
Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, beragam
komunitas manusia berdiam di muka bumi silam, mulai: perorangan, keluarga,
masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, masih belum se-berapa jumlahnya, maklum warga
bumi pada ketika itu masih sedikit jumlahnya. Pada saat Nabi Muhammad SAW menerima
Surah Al-Alaq dalam Gua Hira di Jabal Nur (Bukit Cahaya), yang dibawa malaikat
Jibril pada tanggal 6 Agustus Tahun 610 Masehi silam, manusia berdiam di mu-ka
bumi diperkirakan seluruhnya baru berjumlah 200.000.000 orang.
Dengan bumi yang berbentuk bola dengan garis-tengah
rata-rata: 12.740 km, dan diketahui orang ratusan tahun kemudian, ternyata luas
permukaannya adalah: 510 juta km2. Sebagian besar per-mukaan
bumi ini (70%) hanyalah air, dan hanya sebagian
kecil (30%) merupakan daratan, yang kini dikenal dengan: pulau, kepulauan, dan
benua. Kepadatan manusia berdiam di muku bumi ini pada zaman Rasulullah silam, ialah: 1,3 orang
per km2. Karena itu pada zaman sebelum
kedata-ngan Rasulullah, jumlah manusia berdiam di muka bumi ini lebih sedikit
lagi jumlahnya, dan ke-beradaan mereka pun terpencar, dan sangat berjauhan satu
sama lain.
Kehidupan manusia di muka bumi ini, mulai
peroranagan hingga bangsa, dipagari pula oleh ja-rak berjalan-kaki yang lama lagi
amat melelahkan untuk bertemu dengan yang lain. Ini dise-babkan belum munculnya
ketika itu “revolusi industri” di Eropa, karena itu belum lagi ada jalan-raya
(prasarana) dan kendaraan (sarana) dijalankan “mesin pembakaran” dimana-mana
diseluruh dunia; kini dikenal dengan istilah: “mesin-uap” yang mengkonsumsi batu-bara,
“mesin pemba-karan dalam” yang mengkonsumsi bensin, “mesin diesel” mengkonsumsi
“solar”, dan “mesin pesawat jet” yang mengkonsumsi avtur di dunia. Baru setelah
“revolusi industri” tampil di Eropa silam, keempat jenis mesin ditemukan orang:
pertama oleh James Watt (1736-1819)
dari Scotland, Inggris; yang kedua
oleh Etienne Lenoir (1736-1900) dari Belgia; yang ketiga oleh Rudolf Diesel (1858-1913) dari Jerman; dan yang keempat oleh dan Frank Whittle
(1907-1996) dari Inggris, lahir dalam Abad ke-18, Abad ke-19, dan Abad ke- 20 silam;
dan manusia pun lalu menciptakan: angkutan darat, angkutan laut, dan angkutan
udara, di muka bumi yang dijalankan bermacam “mesin pembakaran” yang memudahkan
umat dimana-mana diseluruh dunia ini dapat bepergian dengan: mudah, kapan saja,
kemana saja, cepat sampai, dan nyaman, sebagaimana se-karang ini.
Peradaban atau tammadun umat yang hidup di muka bumi
lalu hijrah dari: “serba berjalan kaki” atau “naik hewan peliharaan” dimana-mana
diseluruh diseantero planit biru ini, menjadi perada-ban atau tammadun “naik
kendaraan bermotor” darat, laut, dan udara, bahkan angkasa dimana-mana
diseluruh dunia, yang belum pernah terbayangkan oleh orang-orang dari seluruh
Abad yang mendahului.
Grafik dibawah ini memperlihatkan, bagaimana penduduk
bumi tumbuh menelusuri waktu se-lama dua millenniun (ribuan tahun) yang telah dihasilkan
Google, untuk diketahui umat beragam kepercayaan dan agama yang ada di muka
bumi ini. Seperti yang terlihat dari gambar, sepanjang kurun waktu 1600 tahun yang
mendahului warga bumi meningkat “perlahan”, akan tetapi setelah “revolusi
industri” muncul di Eropa silam, dalam kurun waktu selanjutnya warga bumi meningkat
“meledak”; kini bilangannya telah melampaui 7.000.000.000 orang, dengan kepa-datan
penduduk rata-rata muka bumi sudah berada
diatas 46 orang per km2.
Courtesy
of Google
Pada sepanjang ratusan ribu tahun menjelang tampilnya
“revolusi industri” di Eropa silam, o-rang dimana-mana di seluruh penjuru dunia
bepergian ke tempat yang jauh jauh, baik sendirian maupun dalam kelompok harus berjalan
kaki puluhan, ratusan, bahkan ribuan kilometer jauhnya. Medan dilalui di
Nusantara termasuk yang harus berulang kali keluar masuk hutan sampai de-ngan
rimba belantara, mengikuti jalan setapak antar kampung yang dilalui penduduk
setempat. Muka bumi dilalui tidak semuanya datar, ada kalanya perlu menuruni
lembah terjal menuruni te-bing untuk tiba di tepi anak-sungai atau sungai yang harus
diseberangi, dan setelah sampai ke seberang, kembali harus mendaki tebing untuk
sampai ke permukaan jalan datar. Perjalanan pun masih dilanjutkan dengan meniti
galangan sawah, menerobos semak belukar, bertemu jalan ta-nah becek karena berair,
bersua jalan berpasir penuh batuan yang menjadi tantangan selanjutnya. Tidak
jarang orang atau rombongan yang bepergian harus berjalan kaki berhari lamanya disertai
perlu menginap pada sejumlah kampung yang dilaluii. Perjalanan demikian jelas menguras
tidak sedikit tenaga, tidak terkecuali banyaknya waktu yang tersita dihabiskan
dalam perjalanan se-belum sampai ke kampung tujuan.
Manakala perjalanan disebutkan diatas ditempuh menggunakan
kendaraan bermotor roda: dua, tiga, atau empat, diatas permukaan jalan-raya
sebagaimana yang dijumpai sekarang ini pasca revolusi industri muncu di Eropa
silam, maka waktu ditempuh pastilah lebih singkat, tidak pula akan meletihkan
badan, karena ditolong kendaraan bermotor yang melaju diatas jalan-raya atau
jalan-baja berteknologi maju yang telah berhasil dipelopori oleh James Watt,
Etienne Lenoir, Ru-dolf Diesel, dan Frank Wittle, yang dikembangkan lebih
lanjut oleh para penerus mereka sampai dengan saat ini.
Ompu Simulajadi
Ketiga jenis “pemandangan” dijumpai komunitas manusia
berdiam di muka bumi dikemukakan diatas, mulai: individu atau perorangan, keluarga, masyarakat,
suku-bangsa, dan bangsa yang sudah menemani
keseharian insan hidup dimana-mana diseputar planit biru ini: “manusia”, “a-lam
sekitar”, dan “beragam benda langit”, telah melahirkan: “sekawan pemandangan” bagi
se-tiap orang yang berdiam di muka bumi. Ketiganya membentuk “pemandangan yang
tiga”, atau “tiga-serangkai pemandangan”, atau “tiga-sekawan pemandangan”, yang
lambat laun berkem-bang menjadi “tiga-sekawan pandangan” pengetuk-penggerak
“akal-budi” (brain-heart) insani yang dibutuhkan untuk “berfikir” dan
“bekerjasama” menjalani kehidupan Alam Fana yang se-mentara di muka bumi ini.
Ketiganya telah pula membidani lahirnya pengetahuan, yang dalam perjalanan
waktu menciptakan “ilmu pengetahuan” (science) bermacam “disiplin” tentang: ma-nusia,
seperti: kepercayaaan, mitologi, agama, sosiologi, dan lainnya; juga tentang
alam sekitar yang mengelilingi, seperti: fisika, kimia, mekanika arsitektur, metallurgi,
dan lain sebagainya; ju-ga astronomi, astrofisika, dan lainnya yang berhubungan
dengan benda-benda-langit yang me-nampakkan diri di angkasa hingga ketinggian
langit. Hal ini dimungkinkan oleh kesetiaan keti-ganya menemani insan mulai siang
hingga malam: berhari, berminggu, berbulan, bertahun, ber-abad, bermillenium,
dan ratusan millenium. Ketiganya telah pula menimbulkan dalam benak manusia “Tiga
Sekawan Pandangan”, disingkat TSP, penggerak “akal” dan pengetuk “budi” in-sani,
atau penggerak-ketuk “akal-budi” manusia, yang tidak henti-hentinya berkegiatan.
Dengan menggugah kecerdasan berfikir (motivasi), lalu menuangkan gagasan
(inspirasi) kedalam akal (otak), mulai: perorangan, keluarga, masyarakat,
suku-bangsa, dan bangsa, menyebabkan manu-sia lalu “berbuat atau melakukan sesuatu”
(do something) di muka bumi ini. Lewat aktivitas “akal-budi” (brain-heart)
“karunia Ilahi” bersemayam dalam “hati-sanubari insani”: “akal” (bra-in) bertugas
memecahkan “kemuskilan masalah” betapapun peliknya, lalu “budi” (heart) meng-himpun
manusia guna memperkasakan akal lewat kebersamaan, diawali: perorangan,
keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, menyebabkan akal manusia menjadi
lebih mampu me-mecahkan persoalan sepelik apapun yang ada di muka bumi ini.
Dengan demikian, aneka ragam permasalahan yang dihadapi umat sehari-hari di Alam
Fana muka bumi ini, dari kecil lagi se-derhana hingga dengan yang besar dan
rumit serta muskil tampil dalam perjalanan waktu dapat dipecahkan umat dalam kebersamaan
hidup.
Dalam keterpisahan hidup
di muka bumi silan, dipagari lagi oleh jarak tempuh berjalan kaki yang lama
lagi melelahkan, insan yang dibekali: Tondi (Batak), Jiwa (Indonesia), Ruh
(Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman). Manusia berakal-budi, dan Jasmani, kemudian
sadar akan kea-daan masing-masing, dan melakukan: 1. diskusi antara sesama
warga tiap komunitas: keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa; 2. melakukan
komunikasi dengan alam sekitar yang me-ngelilingi: padang rumput, rimba sampai
hutan belantara; paya atau rawa, sungai, laut, dan sa-mudra; juga padang pasir,
gurun, padang salju mulai dari musiman hingga salju abadi; 3. Mende-ngarkan
bisikan semilir angin, amukan badai, hempasan gelombang, sambaran kilat antara
awan termasuk yang menghujan ke bumi disertai gemuruh amukan petir, guncangan
gempa bumi; dan masih banyak lagi gejala alam yang perlu diketahui insan
berakal-budi, mulai dari mereka yang hidup sebatang kara hingga dengan yang tergabung
kedalam komunitas; 4. juga tidak lupa menjalin dialog dengan segala apa yang
menampakkan diri jauh di angkasa sampai ketinggian langit, dimulaii: arakan
awan yang berwarna warni, matahari dan bulan imbul tenggelam, bin-tang
gemerlapan berserakan di langit malam, dan masih banyak lagi lainnya mulai yang
rajin hadir setiap hari hingga dengan yang hanya muncul berkala.
Seandainya manusia
dapat berdiam juga di permukaan setiap planit yang terdapat pada “sistim matahari”
(solar system) selain bumi, tampaknya tiga-sekawan pengerak-ketuk
akal-budi insani disebutkan diatas tidak akan berubah, dan dapat dimengerti
perbedaan timbul hanya terhadap “alam sekitar” setiap planit yang didiami.
Walaupun demikian perlu diketahui, bahwa sejumlah planit yang terdapat dalam
“sistim matahari” ukurannya lebih besar dari bumi. Ini berarti “mas-sa” planit-planit
ini lebih besar dari bumi, sehingga medan gravitasi yang ada dipermukaan
pla-nit-planit lebih besar dari bumi membuat “manusia” yang berada
dipermukaannya tidak mampu berdiri. Bulan yang telah berulangkali disinggahi para
astronaut Apollo dari Amerika Serikat, ternyata mempunyai medan grafitasi lebih
kecil dari bumi. Adapun garis tengah bulan ialah 3.474 km, hampir 1/4 dari
garis tengah bumi, tepatnya 27,3% garis tengah bumi. Bulan memiliki medan
gravitasi 1/6 dari medan gravitasi bumi, tepatnya 16,54 %, sehingga orang berada
diper-mukaannya mampu melompat enam kali lebih tinggi dari yang dapat
dilakukannya di muka bu-mi.
Demikianlah pula halnya, apabila manusia dapat
berdiam di permukaan tiap planit anggota sebuah “sistim bintang” tergabung
kedalam Galaksi mana saja yang terdapat dalam Alam Se-mesta yang maha besar ini.
Tiga-sekawan penggerak-ketuk akal-budi insan yang telah diutara-kan
diatas juga tidak akan banyak berbeda. Perbedaan selalu terdapat pada alam
sekitar masing-masing planit yang didiami oleh manusia. Dengan demikian boleh
disimpulkan disini, bahwa “tiga-sekawan” penggerak-ketuk akal-budi insan yang telah diterangkan
diatas bersifat “alam- semesta” (universal), artinya pasti akan dijumpai orang
dimana saja ia berdiam di seantero Alam Semesta (Al-Kaun) Maha Dahsyat lagi Sangat
Luas ini, yang hingga masih teramat sedikit yang sudah diketahui orang.
Adalah seorang manusia
bernama Ompu Simulajadi di Tanah
Batak silam, yang mengung-kapkan untuk pertama kalinya di kalangan suku-bangsa
Batak, bahwa Alam Semesta yang Maha Dah-syat lagi Sangat Luas mengitari
kehidupan ini, tersusun dari 3 (tiga) Banua, atau Alam, ma-sing-masing dinamakan:
Banua-Ginjang (Alam Atas), Banua-Tonga (Alam Tengah), dan Banu-a-Toru (Alam
Bawah); yang menjadikan: Tolu Banua Sadongan,
disingkat TBA (Tiga Seka-wan Alam, disingkat TSA). Segala bentuk kehidupan yang
ada di Banua-Tonga, berasal di Ba-nua-Ginjang berupa: Tondi (Batak), Jiwa
(Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) lalu oleh sebuah “ketentuan”
(takdir) turun ke Banua-Tonga, dan skemudian menuju ke di Banua Toru. Kata
“simulajadi” memang bahasa Batak, akan tetapi bu-kan asli Batak, karena datang
dari “semulajadi” yang telah dikenal orang sebelumnya di seme-nanjung Tanah Malaya.
Kata inipun bukan asli bahasa Melayu, tetapi berasal dari anak benua India, yang
artinya: “asal-muasal”. Tampaknya “Tiga Sekawan Pemandangan (TSP)” yang dike-mukakan
diatas, telah menjadi penyebab lahirnya di Tanah Batak gagasan Tolu Banua Sadongan (TBS) diperkenalkan
oleh “seorang Batak” bernama Ompu Simulajadi.
Akan halnya Ompu Simulajadi
ini pun masih merupakan bahan perdebatan. Benarkah ia seorang Batak yang pertama
ada di Tanah Batak silam? Boleh ia, tetapi dapat juga juga tidak. Mungkin saja Ompu
Simulajadi itu adalah “simbol budaya” hasil kreativitas suku-bangsa Batak tentang
awal atau asal-muasal manusia, temuan para cendekiawan Batak silam, tampil dari
sebuah ge-nerasi, mungkin juga dari sejumlah generasi, kemudian diberi nama
Ompu Simulajadi. Memang tidak mudah melacak tentang apa sebenarnya yang terjadi
selama ini ditengah kelang-kaan ca-tatan yang diwariskan, akan tetapi apapun
yang sudah diketahui hingga dengan saat ini, telah me-rupakan “warisan
kecerdasan akal-budi” para leluhur suku-Bangsa Batak yang kemudian mem-bidani lahirlnya
di muka bumi ini “mithologi Batak”.
Untuk menghadirkan
makhluk di Banua Tonga, Tondi yang turun dari Banua Ginjang perlu ter-lebih dahulu
menjemput Bahan atau Materi dari Banua Tonga, sehingga dapat terlihat di muka
bumi sebagaimana halnya benda-benda lain, hanya saja yang dijemput Tondi itu berjiwa,
atau bernyawa. Pada manusia ini terjadi pada saat sepasang suami istri sedang
subur dihampiri Tondi turun dari Banua Ginjang membuat yang disebut terahir mengandung.
Janin dikandung me-rupakan perwujudan Tondi yang sedang menjemput Bahan atau
Materi dari muka bumi lewat se-orang ibu, yang sedang memperlihatkan
keberadaan. Janin lalu berkembang menjadi bayi, dan yang akhir ini lahir
kedunia sebagai anak, kemudian besar menjadi orang dewasa. Dengan cara ini warga
bumi bertambah seorang demi seorang guna memperbesar bilangan manusia berdiam
di muka bumi ini. Adapun yang menjadi tugas setiap mahluk tidak terkecuali
manusia berada di Banua Tonga sesudah memperlihatkan diri masing-masing, ialah membuat
“persiapan”, baik yang untuk ditinggalkan di Banua-Tonga atau muka bumi ini, maupun
yang akan dibawa meng-hadap Debata yang bersemayam di Banua Ginjang.
Kemudian setelah melakukan
“persiapan” di Banua-Tonga, semua mahluk baik sendiri-sendiri maupun berkelompok,
melanjutkan perjalanan: 1. Tondi kembali ke Banua Ginjang, sedangkan 2. jasmani
menuju ke Banua-Toru. Dalam perjalanan akhir ini, semua makhluk harus megem-balikan
lagi Bahan atau Materi yang dipinjam dari Banua-Tonga, sebelumnya diperlukan untuk
memperlihatkan keberadaan di muka bumi atau Alam Fana. Dengan demikian lahir
kepercayaan dalam masyarakat Batak terkemas dalam bentuk kisah yang disebut
dengan istilah mitos (myth). Dan yang akhir ini lalu menjelma menjadi “pandangan
hidup suku-bangsa Batak” yang kemudi-an dinamakan: “Mitology Batak”, atau juga:
“Batakologi”. .
Banua Ginjang adalah
sebuah tempat yang indah dan menawan bagai Surga yang terang ben-derang jauh di
ketinggian angkasa, selepas arakan awan putih merona jauh diatas, berlatar bela-kang
hamparan biru langit. Adapun Banua-Tonga ialah hamparan muka bumi yang terbentang
bergunung dan berlembah, dan diatas mana:
manusia, hewan, dan tumbuhan, tersebar untuk keberadaan serentang hayat bersifat
sementara. Sedangkan Banua-Toru ialah sebuah tempat yang kelam legam berada di dalam
perut bumi, kemana segala yang bernyawa akan mengembalikan raga, setelah menjalani
kehidupan berdiam di Banua-Tonga membuat persiapan.
Pada awalnya
suku-bangsa Batak mengira, bahwa bumi ini merupakan sebuah hamparan datar yang amat
luas, sehingga dalam fikiran mereka ketiga Banua yang dikemukakan oleh Ompu Si-mulajadi seyogianya
tersusun dari atas ke bawah beraturan sebagaiman sebuah kue talam rak-sasa
lapis tiga tergolek di atas talam yang sangat besar. Begitulah awalnya
penerimaan suku-bangsa Batak akan Alam Semesta dahsyat ini tergores kedalam
fikiran dan ingatan mereka di Bona Bulu silam, dan pemahaman ini telah pula
menjadi kepercayaan masyarakat ketika itu, karena semuanya percaya bahwa di Banua
Ginjang bersemayam Debata yang mengatur dan me-ngawasi segala apa yang ada di
Alam Semesta ini, termasuk di Banua Tonga atau muka bumi di-mana mereka
berdiam.
Orang Batak lalu dituntut
menjalani kehidupan dunia sebagaimana diajarkan oleh Ompu Simula-jadi, dan dalam
perkembangannya melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan adat Batak. Yang
disebut akhir ini lalu berkembang menjadi himpunan dari segala kebijakan
hidup berma-syarakat di Tanah Batak, dalam
memelihara kerukuan, mengendalikan perbedaan, untuk kese-jahteraan hidup bersama.
Tujuannya agar setiap warga menjadi horas (selamat) tondi dan badan, berhasil membuat
persiapan selama berdiam di Banua Tonga yang sementara; agar sinta-sinta (segala
keinginan) sepanjang hidup: hamoraon (keteladanan), hagabeon (kekayaan dan
keturunan), dan hasangapon (martabat) dipanjatkan kepada Debata dapat terkabul.
Dan apa yang dituntut dari masyarakat Batak tidak lain dari kesetiaan
mengamalkan ajaran adat Batak selama berada di Banua Tonga sebelum raga meneruskan
perjalanan ke Banua-Toru.
Dari STA, lahirlah
“pandangan hidup” atau falsafah hidup suku-bangsa Batak "serba-tiga” atau
trilogi. Ini juga dapat dikatakan sebagai weltanschauung atau idologi
suku-bangsa Batak. Keu-tamaan serba-tiga ini selanjutnya dikembangkan
untuk kegunaan apa saja dijumpai dalam ke-hidupan Banua Tonga atau muka bumi
yang sementara ini. Sudut pandang serbatiga lalu di-jabarkan secara konsisten
kedalam beragam sektor kehidupan tidak
terkecuali kepada ma-syarakat Batak itu sendiri, melahirkan: “paket lengkap
sistim kemasyarakatan” (complete packet of social system), yang dibutuhkan
untuk menangani beragam permasalahan hidup yang muncul dalam komunitas suku-bangsa
Batak di Bona Bulu silam; lalu mengabadikannya kedalam: tiga warna sekwan,
yakni: putih untuk Banua-Ginjang yang serba terang benderang dimana
berse-mayam Debata; merah untuk Banua-Tonga dimana mengalir dalam tubuh
kehidupan bernyawa bersifat sementara, dan hitam untuk Banua-Toru serba kelam
legam tidak yang samasekali tidak bercahaya, kemana segala yang bernyawa
mengembalikan tubuh atau jasmani pinjaman kembali ke Banua Tonga.
Ketiga ragam warna: putih, merah, dan
hitam, lalu menjadikan Sekawan Warna Batak, disingkat SWB, yang kemudian
dijumpai dalam berbagai hasil kerajian suku-bangsa Batak, seperti: abit Batak
(kain Batak), benda-benda kreasi budaya Batak: hiasan, umbul-umbul, dan lain
sebagai-nya. Kawanan warna Batak ini dapat ditemukan juga pada arsitektur
Batak, seperti bangunan dan Rumah Adat, antara lain: Bagas Godang (tempat
kediaman Raja Panusunan Bulung, Raja Pa-musuk), Sopo Godang (Balai Pertemuan),
Bale (Makam), dan lainnya; juga bermacam: ukiran batu, kayu, dan aneka hiasan guna
memeriahkan horja (perhelatan). Bendera, atau lambang, su-ku-bangsa Batak juga
SWB, yaitu tiga warna sekawan (triple-colour) dari atas kebawah berturut-turut:
putih, merah, dan hitam.
Bendera
Batak
Tanah
Batak
SWB lalu
menjadi kawanan warna dasar penghias barang atau benda hasil kerajinan
suku-bangsa Batak di Bona Bulu, seperti: ulos (kain Batak), hasil kerajinan tidak
terkecuali bangunan dan lain sebagainya. Tujuannya tidak lain untuk selalu mengingatkan
orang Batak akan adanya tiga Ba-nua atau Alam yang mengitari makhluk hidup di
Banua Tonga, mengelilingi: manusia, hewan, dan tumbuhan dalam "perjalanan
agung" dari Banua Ginjang menuju Banua-Toru, dengan sing-gah terlebih
dahulu di Banua-Tonga guna membuat persiapan yang diperlukan, sebelum melan-jutkan
perjalanan ke Banua-Toru. Sejumlah pelaksanaan trilogi Batak ini dapat diketengahkan
sebagaimana yang diterangkan dibawah ini.
Tungku
SWB atau Trilogi
Batak, kemudian menjelma menjadi tataring (tempat bertanak) yang lalu men-jadi
pusat kehidupan setelah manusia mengenal api. Makanan adalah hangoluan
(kehidupan) kata mereka, dan untuk menopang periuk tanah (tempat hangoluan)
berada di atas bara api menyala, dibutuhkan tiga dalihan (tungku). Dua
dalihan tidak cukup, karena periuk diletakkan diatasnya akan terjungkal,
sedangkan empat dalihan terlalu banyak, bilangan yang diperlukan tiga buah. Inilah
yang dinamakan: Trilogi Tataring Batak, disingkat TTB.
Masyarakat
Dari TTB, Trilogi
Batak di Bona Bulu selanjutnya merambah kedalam hidup bermasyarakat dalam bersosialisasi
lebih jauh. Sebagaimana dengan tataring, memerlukan tiga dalihan untuk
menyangga periuk diatas bara api, maka orang Batak yang hidup dalam sebuah komunitas,
menurut Ompu Simulajadi, memerlukan juga tiga dalihan untuk memelihara
kebersamaan hidup masyarakat Batak. Perlu terlebih dahulu terdapat: kahanggi
di tengah, yakni kelompok persau-daraan marga sama datang dari seorang Ompu
parsadaan (leluhur pemersatu) yang bertindak sebagai dalihan atau tungku pertama.
Agar supaya kahanggi dalam perjalanan waktu dapat bertambah bilangannya, perlu
ada kelompok persaudaraan marga-marga lain yang mendatangkan para ina (ibu) kepada
kahanggi untuk meneruskan generasi. Kelompok persaudaraan marga-mar-ga akhir
ini menjadilah dalihan atau tungku kedua, yang dalam masyarakat Batak dinamakan:
Mora, atau Hulahula. Akhirnya terdapat lagi kelompok
persaudaraan lain, juga datang dari berbagai macam marga, kemana kahanggi
mengutus anak-anak gadis mereka untuk menjadi ina di kampung mereka, melahirkan
dalihan ketiga, yang dalam masyarakat Batak dinamakan: A-nakboru.
Dengan demikian lahirlah dalam masyarakat
Batak tiga dalihan (tungku) yang diperlukan untuk menyangga kehidupan
bermasyarakat dalam komunitas Batak, yakni: Kahangi, Mora, dan Anak-boru
melahirkan: Sekawan Masyarakat Batak, disingkat SMB. Yang akhir ini membentuk
ling-kungan hidup keseharian orang Batak di Bona Bulu, selama berdiam di Banua-Tonga
menga-malkan ajaran Ompu Simulajadi. Istilah lain yang kerap digunakan ialah: Trilogi
Masyarakat Batak, disingkat TMB, atau Trilogi Sosial Batak,
disingkat TSB. Dalam kalangan masyarakat Batak di Bona Bulu maupun perantauan
SMB, atau TMB, atau TSB, lebih dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu,
disingkat DNT, atau Tungku Yang Tiga, disingkat TYT. Dan yang disebut akhir ini
dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama: “keluarga besar” masyarakat
Batak (the big family of Batak people). Dan DNT lalu menjelma menjadi unsur
pengikat kehidupan masyarakat Batak dari Bona Bulu silam hingga ke tanah perantauan.
Tidak hanya sampai disitu, tetapi sekaligus menjadi “majelis masyarakat Batak”
guna memecahkan segala macam persoalan yang muncul secara kekeluargaan dan
demokratis.
Masyarakat Batak
mengembangkan garis keturunan patrilenial (garis kebapakan) dalam kekera-batan
semarga bernama kahanggi, sebaliknya masyarakat Minangkabau menerapkan garis ketu-runan
metrilenial (garis keibuan) dalam kelompok semarga. Dalam sistim
patrilenial di Tanah Batak, ayah mendapat sebutan: “suhutsihabolonan” (kepala
keluarga), sekaligus menjadi pemim-pin suhut (keluarga batih), dan mewariskan
“nama marga” kepada keturunannya (anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan).
Kahanggi adalah kumpulan suhut bermarga sama datang dari Ompu Parsadaan (Kakek
Pemersatu) sama berdiam di sebuah Luhat, atau sebuah kampung. Karena semuanya bermarga sama, komunitas
kahanggi dinamakan juga kumpulan dongan sabu-tuha (teman sekandung), meski
datang dari Bapa bermarga Harahap dengan Ibu dari beragam marga. Yang menjadi
ukuran persaudaraan kahanggi, atau himpunan suhut, ialah persaudaraan keluarga datang
dari Ayah yang sama marganya, meskipun dilahirkan oleh Ibu yang berbeda-beda marganya.
Bukankah para orang tua laki-laki mereka, pada tingkat Kakek Pemersatu silam, masih
dapat dikenali bermarga sama.
Meski masyarakat
Batak memanfaatkan “sistim patrilenial” untuk kekerabatan semarga atau
ka-hanggi, tetapi “sistim matrilenial” juga mereka terapkan, yakni
terhadap kelompok masyarakat Batak bermarga lainnya. Kepada marga-marga yang
mendatangkan ibu terhadap kahanggi, orang Batak menamakan: mora atau
hula-hula, karena marga akhir ini mendatangkan keturunan lewat ibu yang memperbesar
bilangan mereka. Mora adalah mata-air kehidupan untuk kahanggi, itulah pula
sebabnya mengapa mora yang sudah mendatangkan ibu bergenerasi dinamakan
"matahari naso gakgahon” (matahri yang tidak tertatap), karena akan sangat
menyilaukan mata orang yang berani memandangnya. Mora atau hula-hula juga
mendatangkan habisukan (kecerdikan) kepada kahanggi, itulah pula sebabnya mengapa
mora atau hula-hula pantas disambut dengan sikap hor-mat yang disebut: “hormat
mar mora” (hormat bermora). Sebaliknya mora atau hula-hula mem-punyai kewajiban
moral besar membimbing kahanggi yang menjadi anakborunya dengan apa yang dinamakan:
“elek ber anakboru” (pandai mengambil hati anakboru). Apa yang telah diuta-rakan
diatas merupakan bagian dari membuat persiapan yang harus dilakukan untuk
ditinggalkan di Banua-Tonga dalam melanjutkan perjalanan ke Banua-Toru nanti.
Kepada berbagai marga
Batak yang mendapat ibu dari kahanggi dalam masyarakat Batak dina-makan:
anakboru, karena marga-marga akhir ini akan manjadi penolong setia pada
kahanggi. Anakboru dinamakan orang juga: “na gogo manjujung” (yang kuat
menjujung), “sitamba na hu-rang si horus na lobi” (si penambah yang kekurangan dan
si pengerus kelebihan) dalam lingku-ngan kahanggi, yang telah menjadi mora
mereka. Dengan memanfaatkan gabungan sistim patri-lenial dalam kahanggi
dengan sistim materilenial antara berbagai marga, komunitas suku-bangsa
Batak di Bona Bulu silam, telah berhasil mengembangkan “kekerabatan keluarga
besar” terdiri dari: kahanggi (kelompok persaudaraan yang semarga), mora
(kelompok persaudaraan berma-cam marga yang mendatangkan ibu, atau pemberi
ibu), dan anakboru (kelompok persaudaraan bermacam marga yang memperoleh ibu,
atau penerima ibu), dimulai dari dari
kampung halaman di Tapanuli silam, lalu meluas ke perantauan. Kumpulan: 1. marga
kahanggi, dengan, 2. marga-marga pemberi ibu, dan 3. marga-marga penerima ibu dalam
masyarakat Batak dinamakan: "Da-lihan Na Tolu", atau "Tungku
Yang Tiga". Ketiganya dalam bahasa Idonesia dikenal dengan na-ma keunikan keluarga besar masyarakat
Batak.
Dengan SMB datang
dari penjabaran ajaran Ompu Simulajadi, suku-bangsa Batak di Bona Bulu berhasil
membina kerukunan hidup bermacam marga suku-bangsa Batak. Tujuannya untuk kese-jahteraan
bersama bersemayam di Banua Tonga serentang hayat di Tanah Batak, agar berjalan
baik sebagaimana yang diajarkan oleh Ompu Simulajadi. Dengan kerjasama demikian,
mora mendatangkan ibu kepada kahanggi, sehingga bilangan yang akhir ini bertambah
dalam perjala-nan waktu di Bona Bulu; demikian juga kahanggi mendatangkan ibu
kepada anakboru untuk juga menambah bilangan mereka. Difihak yang lain, anakboru
menjadi penolong setia kepada mora mereka melakukan apa saja yang dituntut mora
dari mereka, baik yang berwujud siriaon (kebahagiaan) demikian juga siluluton
(kedukaan). Mora juga perlu setiap saat bersedia mem-beri bimbingan dan kebijakan kepada anakboru
menjalani kehidupan di Banua Tonga yang se-rentang hayat. Dengan demikian SMB
menjadikan kehidupan komunitas suku-bangsa Batak di Banua Tonga terisi dengan penuh
kekerabatan, keakraban, dan kerukunan, jauh dari berbagai macam keterasingan.
Perkawinan
SMB juga telah mengatur
perkawinan keluar marga, atau eksogami, yang berlaku dalam ma-syarakat
Batak di Bona Bulu. Nauli bujing (anak gadis) dari mora hanya boleh dipaebat
(dini-kahkan) kepada naposo bulung (anak laki-laki) kahanggi, demikian juga
nauli bujing kahanggi hanya boleh dipaebat dengan naposo bulung anakboru; akan
tetapi tidak untuk yang sebaliknya. Inilah yang dinamakan adat
perkawinan yang tidak-simetris (asimetris). Hal ini dilakukan untuk menghindarkan
nauli bujing anakboru dipaebat dengan naposo bulung kahanggi, demikian juga
nauli bujing kahanggi dipaebat dengan naposo bulung mora, karena yang demikian akan
menye-babkan rompak tutur (rusaknya pertuturan), dan akan menyalahi adat
hormat kepada mora dan e-lek beranakboru yang telah ditetapkan dalam bertutur.
Tutur ialah aturan
tegursapa yang telah ditentukan Adat Batak dalam DNT, yakni kaidah tegur-sapa
antara mereka yang berbeda generasi, yakni oleh mereka yang masih muda terhadap
mereka yang lebih tua, begitu juga yang sebaliknya yang bersifat vertikal. Lainnya, kaidah tegursapa antara mereka
yang masih segenerasi, tetapi berlainan kedudukan dalam Adat Batak, seperti: ka-hanggi,
anakboru, mora yang bersifat horizontal, demikian juga arah tegursapa.
Tutur telah men-jadi alat “hapantunan” (bersopan-santum) pergaulan hidup dalam
masyarakat Batak, terlebih lagi dalam pergaulan sehari-hari lingkungan DNT yang
amat dihormati, dan sangat diperhatikan pe-laksanaannya dalam hidup
bermasyarakat. Kesalahan menyebutkan tutur kepada seseorang dalam kehidupan masyarakat
Adat Batak yang masih kuat dari Bona Bulu hingga perantauan, berakibat mendapat koreksi langsung di
tempat, lengkap dengan penjelasan tutur (silsilah kelu-arga) yang menerangkan
mengapa harus demikian.
Selain oleh
alasan rusak tutur dikemukakan di atas, adat “perkawinan tidak simetris” (non-sym-metrical
marriage), juga mempengaruhi peran dimainkan unsur-unsur Dalihan Na Tolu, yakni:
Kahanggi, Mora, dan Anakboru. Dalam melaksanakan perhelatan Adat Batak, baik
siriaon (kebahagiaan) maupun siluluton (kedukaan) fihak Kahanggi, Kahanggi akan
dibantu oleh Anak-borunya dengan “tenaga kerja”, sedangkan “Moranya” hanya akan
menyumbangkan “buah fiki-ran yang diperlukan”, agar acara Adat Batak berlangsung
dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Naposo bulung
suatu marga, juga dinamakan “Sisuan Bulu” (Sipenanam Bambu), adalah pemuda
pembela kampung halaman ialah andalan kahanggi dan anggota keluarga lainnya di
Bona Bulu silam. Karena itu ia perlu didampingi oleh nauli bujing yang merupakan
rongkap ni tondi (soul mate) baginya dan bertindak menjadi “Sisuan Pandan”
(Sipenanam Pandan) di ha-laman kampung kebanggaan itu. Perlu diketahui, Adat
Batak melarang naposo bulung sesuatu menikahi nauli bujing dari marga
yang sama, yang dikenal dengan perkawinan semarga (endo-gami). Hal ini
disebabkan orang-orang yang masih sermarga dalam pandangan suku-bangsa Batak masih
bersaudara dan tergolong masih seayah
dan seibu, dan karena iti akan menyebab-kan incest (perkawinan kakak-adik
kandung) yang sangat terlarang dalam masyarakat Batak.
Diumpamakan
tataring, perkawinan dua sejoli akhir ini, ibarat tungku dengan dua dalihan,
periuk diletakkan diatasnya akan segera terjungkal. Dalam keidupan bermasyarakat,
pasangan ini tidak lagi mempunyai mora, karena itu tidak dapat bergabung dalam
DNT menghadapi perhelatan si-riaon dan siluluton. Dalam lingkungan keluarga
besar, dua sejoli demikian tidak akan mendapat habisuhon na sian mora (kecerdikan
yang berasal dari moranya), dan tidak juga dapat melaksanakan acara somba
(hormat) kepada mora. Karena melakukan perkawinan semarga yang menyalahi Adat
Batak, salah seorang dari mereka diwajibkan mengganti marganya lewat sebuah
horja adat Batak yang dipimpin oleh seorang Datu (sesepuh Adat Batak), agar
nama kedua sejoli dapat kembali dimuat kedalam tarombo (silsilah keluarga)
masyarakat Batak.
Ranah
Nilai
Dari SMB, Trilogi
Batak kemudian merambah memasuki ranah nilai (value) dalam kehidupan keluarga
besar masyarakat Batak. Mora dikatakan na mangalehen hangoluan (pemberi kehidu-pan)
pada kahanggi karena mendatangkan ina (ibu). “Mora soksok” dikatakan kepada
marga yang untuk pertama kalinya mendatangkan ina pada kahanggi.
Keluarga-keluarga yang sudah mendatangkan ina lebih dari tiga generasi pada
kahanggi mendapat gelar: Mataniari naso gak-gahon (Matahari yang tidak lagi tertatap).
Mora i ma mual ni hangoluan (Mora adalah mata air kehidupan); Mora i ma na
mangalehen habisuhon (Mora ialah yang mendatangkan kecerdikan). Itulah sebabnya
mengapa turun perintah Adat Batak kepada kahanggi yang mengatakan agar selalu:
“somba mar Mora” (hormat kepada Mora).
Kahanggi dikatakan
dalammasyarakat Batak dongan sabutuha (teman sekandung), adalah lingku-ngan kekerabatan
yang bermarga sama. Orang-orang yang bersaudara karena semarga, memiliki hak
dan kewajiban yang sama, dan tak seorangpun boleh mendapat lebih atau kurang
dari la-innya. Kahanggi adalah lingkungan hidup semarga di Bona Bulu, dimana
mereka hidup senasib dan sepenanggungan mempertahankan marga dan kampung
halaman dari musuh darin musuh yang datang meyerang. Karena itu pula turun
perintah Adat Batak yang mengatakan agar: ”ma-nat-manat markahamaranggi”
(pandai-pandailah hidup dalam bersaudara).
Anakboru
dikatakan: nagogo manjujung, na ringgas mangurupi Morana (yang kuat menjujung
diatas kepala dan rajin membantu moranya). Anakboru dikatakan juga: sitamba na
hurang, siho-rus na lobi (si penambah yang kurang dan si penguras yang lebih)
dalam acara perhelatan Adat Batak, baik yang bersifat siriaon maupun siluluton
dalam lingkungan kahanggi. Itulah pula ala-sannya mengapa turun perintah Adat
Batak yang mengatakan agar: “elek mar anakboru” (pan-dai-pandailah
mengambil hati anakboru) agar tenaga mereka selalu dapat dimanfaatkan. Dengan
demikian: Somba mar Mora, Manat mar Kahanggi,
dan Elek mar Anakboru menjadi Trilogi Nilai Batak Batak,
disingkat TNB kehidupan masyarakat yang bermanfaat untuk membina ke-kerabatan suku-bangsa
Batak dalam DNT (TYT), agar kebersamaan yang harmonis senantiasa terjaga, mulai
dari Bona Bulu hingga tanah perantauan,
selama berdiam di Banua-Tonga.
Karena kehidupan
di Banua-Tonga atau Alam Kedua bersifat sementara, yakni hanya serentang hayat,
maka untuk menjaga kerukunan hidup komunitas suku-bangsa Batak di Bona Bulu,
Adat Batak lalu menurunkan perintah agar: “inte disiriaon, tangi disiluluton“
(menanti akan khabar bahagia, dan menyimak pada khabar duka). Selain pesan
untuk masyarakat DNT dikemukakan diatas, msih ada lagi perintah Adat Batak lainnya
untuk perorangan (individu) yang memerlukan perhatian masyarakat di Bona Bulu
ketika itu, tua maupun muda, ialah apa yang dinamakan de-ngan istilah:
hamoraon, hagabeon dan hasangapon.
Mora artinya teladan, sehingga
hamoraon bermakna keteladanan yang mencakup: keakraban, ta-at hukum,
berpandangan maju, penuntut ilmu dan pengetahuan, penyayang sekaligus
pelindung, pandai menengahi perbedaan guna kerukunan, beriman, dan lain
sebagainya; bersarang dalam Tondi (jiwa/semangat/kharisma), lalu menggerakkan
Roha (akal/fikiran/budi), dan menggerak-kan Pamatang (Jasmani) seorang insan
untuk berbuat, atau melakukan sesuatu. Inilah yang dina-makan: harta batin
(the soul wealth) yang dimilik seseorang yang bergelar: “halak namora”
(manusia teladan). Gabe artinya kaya, sehingga hagabeon bermakna kekayaan
yang dimiliki seseorang meliputi: keturunan, rumah, harta benda lainnya,
seperti: sawah ladang, tabungan bank dan lain sebagainya yang ada di dunia ini yang
dikuasai oleh seseorang. Inilah yang dinamakan harta lahir (the material
wealth) dimiliki orang bergelar: “halak
nagabe” (orang kaya). Adapun hasangapon berasal dari kata “sangap”
artinya martabat (dignity),
yang berhasil dicapai sese-orang menjalani kehidupan Banua-Tonga lewat
keturunan dengan gelar bangsawan atau lainnya. Martabat dapat diperoleh lewat:
1. harta batin, 2. harta lahir, dan 3. keturunan (Raja, Presiden, bangsawan, orang
kenamaan, atau yang lainnya).
Tujuan
Hidup
Hamoraon,
hagabeon, dan hasangapon merupakan 3 (tiga) jalan jalan bagi manusia untuk meraih
martabat hidup berdiam berdiam di Banua-Tonga. Dengan hamoraon orang meraih
martabat memanfaatkan harta batin yang dimilikinya. Dengan hagabeon orang dapat
meraih martabat dengan harta lahir yang dikuasainya. Akan tetapi, dengan
hasangapon diperoleh lewat keturunan, seperti: putra atau putri Raja, kaum bangsawan,
atau orang tersohor lainnya, orang yang bersang-kutan masih perlu
membuktikannya, karena apbila tidak kehormatan yang disandang akan hilang tergerus
dengan sendirinya oleh perjalanan waktu. Ini disebabkan, karena sesuatu yang
bersifat martabat tidak mungkin dicapai tanpa perjuangan. Martabat (dignity) jenis
ini ibarat kredit (utang) yang harus dilunasi untuk mendapat pengakuan orang
banyak.
Manakala dengan “harta
batin” orang mampu membina kehidupan harmonis yang mendatang-kan damai dan
sejahtera kepada sesuatu komunitas hidup, maka orang itu akan mendapat martabat
hidup di Banua-Tonga. Demikian juga apabila dengan “harta lahir” orang
mudah ber-bagi diantara sesama untuk mengatasi penderitaan pasca sebuah bencana
alam misalnya, orang itu juga akan meraih martabat hidup di Banua Tonga. Akan
tetapi untuk kaum bangsawan atau setaranya, mendapat martabat lewat keturunan
perlu dibuktikan dahulu baru dapat diterima ma-syarakat. Itulah sebabnya
mengapa seorang pangeran, atau putri kerajaan, perlu menunjukkan ke-cakapan
menegakkan keadilan hidup bermasyarakat sebuah komunitas misalnya, untuk memper-tahankan
kelayakan martabat yang disandang. Selain martabat yang bersifat positif
dikemu-ka-kan diatas, ada juga di dunia ini martabat negatif yang menjerumuskan
orang ke lembah yang hina dina lagi menyengsarakan hidupnya di Banua Tonga,
manakala hamoraon dimiliki, haga-beon dikuasai, dan hasangapon disandang tidak
dipersembahkan kepada kemaslahatan hidup o-rang banyak.
Sebagaimana telah
diutarakan sebelumnya, “pamatang” (tubuh insan) hanya sebuah pinjaman sementara
dari Banua-Tonga kepada setiap manusia. Begitu juga: hamoraon, hagabeon, dan
hasangapon yang menyusul kemudian. Ketika tondi kembali ke Banua Ginjang dan
pamatang meneruskan perjalanan ke Banua-Toru, segala macam sinamot (harta):
hamoraon, hagabeon, dan hasangapon, akan tinggal semua terkecuali hasangapon.
Hanya hasangapon yang menemani seseorang (tondi) meneruskan perjalanan menuju
Banua-Ginjang, dan hasangapon pula yang layak ditinggalkan orang di
Banua-Tonga, atau Alam Fana, atau muka bumi ini.
Dengan demikian hamoraon,
hagabeon dan hasangaon menjadi Trilogi Tujuan Hidup, disingkat TTH, yang diwariskan oleh Ompu
Simulajadi di Bona Bulu silam. TTH bermaksud menerangi akal-budi perorangan (individu)
suku-bangsa Batak yang bergiat menemukan celah dalam belan-tara kehidupan
Banua-Tonga, menyongsong kedatangan terangnya sinar matahari yang menerobos
hati nurani, dalam menentukan pilihan yang sesuai untuk diri selama berdiam di
Banua-Tonga.
Silsilah
Dari TTH, Trilogi
Batak lalu merambah ke penulisan catatan tentang keragaman suku bangsa Batak dalam
membangun jaringan kekerabatan Dalihan Na Tolu yang memelihara kebersamaan hidup
dalam komunitas. Salah satu sarana yang diperlukan untuk menghimpun semuanya,
ialah menuliskan nama mereka kedalam sebuah tarombo (silsilah) keluarga besar
suku-bangsa Batak. Tarombo berawal dari ikatan kekerabatan tersimpan dalam
kenangan sesuatu komunitas suku-bangsa Batak yang beralih dari “budaya lisan” yang
dituturkan dari satu generasi ke generasi be-rikutnya menjadi “budaya tulis”,
bagaimanapun cara menyusunnya, akan segera memperlihatkan marga “Kahanggi” mengerjakannya.
Lalu akan tampak nama-nama marga, kemana para anak ga-dis Kahanggi menikah
untuk menjadi Ina (Ibu) ke berbagai kampung di Bona-Bulu, dan menjadi “Anakboru”
kahanggi. Kemudian akan terlihat pula berbagai marga lain yang mendatangkan a-nak-anak
gadis kepada kahanggi untuk menjadi Ina (Ibu) dari anak-anak kahanggi di
kampung mereka, dan yang akhir ini dalam Adat Batak dinamakan “Mora”. Dari
uraian ini segera tampak SMB, yang terdiri dari: Kahanggi, Anakboru, dan Mora.
Dengan demikian,
tarombo atau silsilah keluarga suku-bangsa Batak akan menghadirkan tiga
kelompok keluarga yang menjadikan “keluarga besar”, terdiri dari: Kahanggi, Anakboru,
dan Mora. Himpunan ketiga keluarga ini juga disebut Dalihan Na Tolu (DNT), atau
Tungku Yang Tiga (TYT). Ketiganya memainkan peran penting dalam kehidupan
sehari-hari suku-bangsa Batak, tidak terkecuali perhelatan masyarakat Batak,
baik corak siriaon (kebahagiaan) maupun siluluton (kedukaan) mulai dari Bona
Bulu hingga dengan tanah perantauan. Dalam tarombo masyarakat Batak akan juga segera
terlihat mereka yang masih segenerasi, mereka yang ber-lainan generasi, baik setingkat
orang tua, kakek, dan lainnya. Begitu juga tegur sapa (tutur) yang akan digunakan
untuk menyapa yang masih segenerasi, begitu juga yang berlainan generasi, dan
bagaimana cara menghindarkan rompak (kerusakan) tutur, dan lain sebagainya.
Mudah dimengerti,
dalam masyarakat Batak yang masih sederhana silam, teknologi masih za-man batu,
belum lagi ada peluang ketika itu untuk memeriksa kebenaran pandangan Ompu Si-mulajadi
yang bersemayam dalam fikiran masyarakat Batak di Bona Bulu, terhadap Alam Raya
sebenarnya yang ada di luar sana. Sebelum datangnya abad pertengahan di Eropa
silam, orang diseantero jagad ini masih menganut pandangan Ptolomaëus yang
mengatakan bahwa bumi ini menjadi pusat peredaran dari segala benda langit yang
terdapat di Alam Semesta termasuk ma-tahari. Cara pandang Alam Semesta demikian
dikenal dengan nama: ajaran geosentris. Sri Paus, pemegang Tahta Suci di
Vatican, Roma, Italia, ketika itu, juga menganut ajaran geosentris ka-rena
tidak menyalahi petunjuk dari Kitab Suci, lalu menjadikannya pegangan hidup
umat Katho-lik dari seluruh dunia.
Akan tetapi
dengan kedatangan abad pertengahan, Koppernigt (Copernicus 1473-1543) seorang
ilmuwan dan astronom berkebangsaan Polandia membantahnya, dan mengatakan bahwa
mata-harilah yang menjadi pusat peredaran semua benda-benda langit. Bantahan
ini melahirkan cara pandang Alam Semesta baru dikenal dengan: ajaran
heliosentris. Galileo Galilei (1564-1642), seorang cendekiawan dan astronom
bangsa Italia lalu membuktikan kebenaran Koppernigt de-ngan teleskop
bikinannya. Akan tetapi malang, Galileo lalu dinyatakan bersalah oleh kelanca-ngan
membenarkan pandangan heliosentris, menyebabkannya harus menjalani hukum tahanan
rumah hingga akhir hayatnya. Baru pada bulan Mei tahun 1994, yakni 600 tahun
kemudian, hukuman itu dicabut Paus Yohannes Paulus II, setelah ia terlebih
dahulu minta maaf atas keke-liruan rekan pendahulunya, kala itu menduduki Tahta
Suci di Vatican.
Memasuki penggal
kedua abad ke-20, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang pesat, menyebabkan
Niels Armstrong, warga Amerika Serikat menjadi manusia pertama yang berhasi
menginjakkan kaki di permukaan bulan. Bermacam satelit cerdas pun telah pula melanglang
bu-ana menjelajah angkasa hingga melampaui batas tatasurya; dan suku-bangsa
Batak pun mulai menyadari, bahwa ajaran Ompu Simulajadi tentang Alam Semesta
ini, tidak sesuai dengan ke-nyataan yang ada. Banua-Ginjang yang merupakan
Surga itu, ternyata tidak ada di atas sana. Adapun yang dinamakan Banua-Tonga,
dimana: manusia, hewan, dan tumbuhan berada hanya-lah permukaan bumi yang bulat
bagaikan bola. Adapun yang disebut Banua-Toru itu, tidak lain dari bagian dalam
bumi beserta semua isinya.
Lalu timbul dualisme
pandangan terhadap Alam Semesta dalam masyarakat Batak. Sebuah ber-asal dari
ajaran Ompu Simulajadi yang berseayam dalam fikiran kebanyakan suku-bangsa
Batak yang percaya. Lainnya datang kebenaran Alam Semesta yang sesungguhnya
terdapat diluar sana. Usai penggal kedua abad ke-20, umat di muka bumi ini lalu
memasuki milenium ketiga, dan ke-majuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun dengan
cepat mengalihkan perhatian manusia dari muka bumi menuju ruang angkasa. Di
ruang angkasa antar bermacam planit dan beragam bintang yang hampa, gaya tarik
bumi sudah tidak lagi berperan, dan mana yang dikatakan orang atas maupun bawah bukan lagi persoalan; namun
ternyata Trilogi Batak ajaran Ompu Simulajadi silam, malah memperlihatkan
“pemahaman baru”.
Dengan meletakkan
Alam Benda, dimana: manusia, hewan, tumbuhan, dan lainnya di tengah se-bagai Alam
Kedua, maka menurut pemahaman baru, maka harus ada Alam Pertama
dari mana semuanya berasal. Lalu, usai menempuh kehidupan di Alam Kedua, maka perlu
ada lagi Alam Ketiga, kemana semuanya akhirnya menuju.
Adapun ajaran Ompu Simulajadi mengatakan
ten-tang adanya Banua-Ginjang (di Atas), Banua-Tonga (di Tengah),
dan Banua-Toru (di Bawah), lahir dari hasil pemikiran suku-bangsa Batak ketika
itu ialah karena adanya "medan gravitasi" yang terdapat di permukaan
bumi, dan menguasai segalanya. Dengan adanya medan gravitasi yang dimiliki bumi
ini, orang lalu mengetahui mana arah yang disebut: atas, atau bawah. Dan dari kedua
yang akhir ini, lalu diketahuilah berbagai arah lainnya.
Muncul dengan
demikian Trilogi Batak pemahaman baru, masih tetap STA, akan tetapi telah be-rubah menjadi: Alam pertama, Alam
Kedua, dan Alam Ketiga. Artinya, masih tetap kue talam besar
lapis tiga berwarna: putih, merah, hitam, meski tidak lagi tergolek di atas
talam yang sa-ngat uas, tetapi cukup mengambang di angkasa yang bebas dari pengaruh
medan gravitasi bumi. Pemahaman lama Trilogi Batak, adalah sebagaimana yang disampaikan
oleh Ompu Simulajadi silam, yakni adanta tiga Banua, masing-masing: Banua-
Ginjang, Banua-Tonga, dan Banua-Toru yang dipengaruhi oleh medan gravitasi bumi.
Manakala Alam Kedua dinyatakan sebagai Banua
Na Marpamatang (Alam Yang Bertubuh) ber-sifat kebendaan (material), maka
Alam Pertama dan Alam Ketiga seyogyanyalah berwujud Banua Naso Marpamatang
(Alam Yang Tak-Bertubuh), atau Alam Transenden (Transcendent), karena
samasekali tidak bersifat kebendaan (immaterial). Lantas apakah wujudnya? Belum
dapat diketahui orang sampai saat ini! Lalu mungkinkah Alam Pertama dan
Alam Ketiga ini sama sifatnya? Tentu saja mungkin, akan tetapi juga tidak. Dua
alam dapat dikatakan sama, apabila boleh dibuktikan keduanya benar-benar sama
sifatnya; dan dikatakan bebeda, manalala keduanya memang benar-benar berbeda
sifatnya. Peluang Alam Pertama dan Alam Ketiga sama, atau berbeda sifatnya,
sama besar, karena itu tidak satupun dapat mengalahkan lainnya.
Manakala Alam Pertama dan Alam Ketiga sama
dan bersifat transenden, maka tondi dalam per-jalanannya melingkar. Perjalanan
demikian ibarat tondi yang baru saja saja meninggalkan Alam Kedua, lalu kembali
lagi menuju ke alam yang sama. Kejadian ini akan mengingatkan sebuah reinkarnasi kehidupan dunia. Apabila
kedua alam transenden ini tidak sama, maka tondi akan berjalan dalam garis
lurus. Perjalanan tondi demikian mengukuhkan kembali Trilogi Batak, dan
melahirkan pemahaman baru ajaran Ompu Simulajadi yang mengatakan tentang adanya tiga Banua di Alam Semesta
yang mengitari kehidupan manusia di muka bumi ini.
Mungkin saja Ompu
Simulajadi suku-bangsa Batak pertama ada silam, telah sejak awal mem-punyai
pandangan kedua, dimana kue talam besar berlapis tiga berwarna: putih, merah,
hitam, mengambang di angkasa; bukan pandangan pertama dimana kue talam besar berlapis
tiga warna Batak tergolek di atas talam yang amat luas. Ini disebabkan oleh
dari sejak dahulu kala suku-bangsa Batak telah mengetahui adanya beragam Alam,
termasuk yang transenden terdapat di luar Alam kebendaan yang bersifat material.
Akan tetapi, karena kebanyakan suku-bangsa Batak ke-tika itu belum mampu
mencernanya, maka disampaikanlah gagasan kue talam besar berlapis tiga yang berwarna
tergolek di atas talam amat luas. Benarkah demikian, wallahualam bissawab, tak
seorang Batak pun yang mengetahui hingga saat ini!
Keluarga
Suku-bangsa Batak
menamakan masyarakat terkecil suku-bangsa Batak berdiam di Banua-Tonga dengan
sebutan: suhut. Suhut adalah keluarga batih dalam bahasa Indonesia, atau
nuclear family dalam bahasa Inggris, terdiri dari: Ama (Ayah), Ina (ibu), dan
Anak (laki-laki atau perempuan). Ama, Ina dan Anak menjadikan apa yang
dinamakan: Trilogi Keluarga Batak, disingkat TKB, yang membentuk komunitas
terkecil dalam masyarakat. Tanpa adanya ketiga unsur yang dike-mukakan
masyarakat terkecil suku-bangsa Batak bernama: suhut tidak dapat terbentuk. Ama
yang mengepalai suhut lalu diberi gelar: Suhut-sihabolonan, juga disingkat Suhut
bolon.
Manusia
Suku-bangsa Batak
menafsirkan manusia sebagai seorang individu, dan sekaligus sebuah trilogi
Batak dikenak dengan: Trilogi Jolma Portibi, disingkat TJP, atau Trilogi
Manusia Bumi, dising-kat TMB. Dalam pandangan Ompu Simulajadi, manusia tidak
lain dari: “Tolu Na Marsada” atau Tiga Yang Menyatu, artinya tiga unsur yang
menjadi satu membentuk manusia, masing-masing: Tondi (Ruh, Jiwa) Roha (akal), dan Pamatang (badan, tubuh). Tanpa tondi,
orang akan hilang kemanusiaannya: motivasi, kemauan, semangat, kharisma, dalam
kehidupan Banua-Tonga; tanpa Roha orang akan kehilangan ingatan (memory)
alias pikun; dan tanpa Pamatang manusia akan hilang keberadaannya di
Banua-Tonga atau muka bumi ini alias meninggal dunia. Dengan demikian pamatang
atau tubuh merupakan ‘tandatangan manusia’ kehidupan di Banua Tonga, kehidupan
Alam Fana di muka bumi ini.
Jiwa
Tondi (Ruh/Jiwa/Khariama)
yang berada dalam Banua Naso-Marpamatang (alam bukan-benda) menurut kepercayaan
suku-bangsa Batak dapat bepergian meninggalkan Pamatang (jasmani) ketika orang
sedang tidur, atau ketika sedang sakit, atau sedang berada dalam keadaan tidak
normal lainnya. Tondi merupakan badan halus (superbeing) yang perlu ada dalam
setiap kehidu-pan makhluk, apapun ragamnya. Seorang insan dalam Adat Batak
seumpama: “pira manuk na nihobolan” (telur ayam yang telah dikebalkan),
diwujudkan berupa sebutir telur ayam rebus. Yang kuning terdapat ditengah
melambangkan tondi (badan halus) manusia, dan yang putih mengelilingi merupakan
tubuh atau badan kasarnya, sedangkan yang terselip diantara keduanya ialah yang dinamakan Roha, menjembatani kedua
yang telah disebut sebelumnya.
Tondi membedakan
seorang insan dari lainnya, dan diperlihatkan lewat semangat, emosi, kharis-ma,
disampaikan dengan bahasa badan (body language) ditampilkan keluar. Diibaratkan
mobil yang melaju di jalan raya, manakala dikemudikan oleh dua orang berlainan,
akan memperlihat-kan tingkah laku gerakan kendaraan berlainan. Dengan analogi
yang sama, manakala jasmani se-seorang sedang ditempati tondi yang bukan
miliknya sejak lahir karena penyakit misalnya, maka akan diperlihatkan perilaku
atau sifat yang samasekali bukan aslinya. Walau beragam pengeta-huan tentang
tondi telah terkuak kepada manusia dari pergaulan dan pergalaman hidup
sehari-hari di Banua-Tonga, akan tetapi inilah alam bukan-benda pertama
yang terdapat dalam diri manusia yang terus saja menyimpan teka-teki yang masih
sedikit terungkap kepada insan sam-pai kini.
Akal
Roha
(akal/fikiran) juga terdapat dalam alam bukan-benda. Inilah yang dinamakan “kecerdasan
sesungguhnya” (true intelligence) lawan dari “kecerdasan buatan” (artificial
intelligence) yang dikuasai oleh seorang
manusia. Hal ini pula yang sudah diungkapkan Sokrates (470-399 SM), seorang pemikir
Yunani dari Athena pada zaman praklassik silam. Hasil pemikirannya tentang masalah
ini telah pula diungkapkan seorang filosof Jerman bernama Windelband (1848
-1915), seorang penganut ajaran idealisme subjektif, dalam rangkaian kata: “Die
immateriele Welt ist endeckt, und das Auge des Geistes hat sich nach innen
aufgeschlagen”, atau dalam bahasa Batak: “Banua naso marpamatang tarungkap
madung, mata ni roha manaili ma tu bagasan”; lalu oleh Dr. Mohammad Hatta
diindonesiakan menjadi: “Alam tidak bertubuh diketahuilah sudah, dan mata fikiran
pun memandanglah kedalam”. Di lain fihak, kecerdasan buatan juga kini telah pula
berkembang dan memaikan peran mengendaliakn bermacam peralatan canggih bikinan
manusia, mulai dari aneka ragam robot manusia yang dapar berbicara memberi
pelayanan, pesawatter-bang yang dapat menemukan tujuan, peluru kendali yang
mengetahui sasarannya, berjenis satelit yang mampu mengorbit bumi atau mendarat
di planit lain, hingga dengan teknology bedah tubuh manusia dari jarak jauh.
Sebagaimana sebuah
komputer, telepon genggam (feature phone), telepon cerdas (smart phone), tablet
(electronic reader), dan perangkat pintar (gadget) lainnya, merupakan perpaduan
dari pe-rangkat-keras (hardware) dengan perangkat-lunak (software) yang dapat
melaksanakan bermacam pekerjaan, maka Roha yang terdapat pada mnusia boleh pula
disebut sebagai pe-rangkat lunak insan (human software), yang disingkat “peran-insani”
(human-ware), dan diper-lukan guna menjembatani Tondi dengan Badan, sehingga
pamatang (jasmani) mampu me-laksanakan berbagai macam pekerjaan sebagaimana
yang dikehandaki Tondi, berangkat dari ke-mampuan, keterampilan, dan bidang
profesi yang telah dikuasai seseorang. Pemrograman Roha itu sendiri pada
manusia telah dimulai sebelum ia lahir ke dunia, dilanjutkan setelah lahir, me-lalui:
pendidikan, pelatihan, pengalaman hidup, dan lainnya, berlangsung tidak pernah putus
se-lama hayat masih dikandung badan; berangkat
dari pandangan hidup yang dimiliki oleh manusia bersangkutan.
Roha (Alam
Kedua bukan-benda) yang bersemayam dalam diri manusia ini pula yang oleh
sege-lintir negara: Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur; dan itu pun digeluti
oleh sejumlah kecil warga negara mereka dikenal dengan istilah: Sumber Daya Manusia
(SDM), lewat kegiatan aka-demik berjenjang mulai rendah, menengah, hingga
tinggi program: S1, S2, dan S3, menjadikan berbagai negeri itu lalu dengan
cepat menjadi terkemuka di muka bumi, setelah mendapat buah fikiran Yunani
yang diantarkan oleh bangsa Arab ke daratan Eropa pada Abad Pertengahan, lalu
ke berbagai bagian dunia lainnya, seperti Amerika Utara dan Jepang.
Diawali
penghujung abad ke-19, dilanjutkan sepanjang abad ke-20, memasuki abad ke-21 saat
ini, berbagai negara Eropa: Inggris, Perancis, Jerman dan lainnya, yang disusul
Amerika Utara dan Amerika Serikat, diikuti Asia Timur hingga Jepang menjadi
sadar tentang apa yang pernah dikatakan
Sokrates akan keperkasaan: “Alam tidak bertubuh diketahuilah sudah” (Banua naso
marpamatang tarungkap madung) bersemayam di dalam setiap SDM bernama Roha kepunyaan
masing-masing bangsa. Mereka dengan cepat mengembangkan pusat-pusat:
pendidikan, pela-tihan, laboratorium, bermacam industri, penelitian material, pencarian
sumber daya alam, dan lain sebagainya guna menjawab permintaan pasar ekonomi
Laissezfaire (perdagangan bebas) dunia. Hanya dalam rentang waktu kurang dari
150 tahun, mereka berhasil mengubah “pera-daban manusia”, atau “tamadun umat”
(human civilization): dari serba berjalan kaki dan me-nunggang ternak (kuda,
lembu, dan lainnya) dimana-mana di seluruh penjuru dunia, menjadi pe-radaban
berkendaraan dijalankan motor atau mesin dimana-mana di permukaan planit biru
ini, mengendarai: mobil, kereta api,
kapal laut, pesawatterbang, bahkan hingga menjelajahi kawasa antariksa di
seputar planit biru ini.
Penyampaian
berita yang diawali secara fisik dari mulut ke mulut, bermacam tetabuhan,
sampai mengirim surat; lalu beralih menjadi serba elektronik: radio,
telepon, televisi, ponsel, internet. Bekerja dari kantor, pabrik, lapangan, dan
lainnya, lalu oleh Teknologi Komunikasi dan Infor-matika (TKI), diubah menjadi
bekerja dari mana saja orang suka melakukannya di muka bumi ini. Masih banyak
kemajuan lainnya yang tidak mungkin dikemukakan satu persatu, dan akan terus
berkembang menuju kepada yang semakin memudahkan manusia hidup di Banua-Tonga,
atau muka bumi ini.
Segelintir negara
dikemukakan diatas lalu menjadi teladan umat yang hidup di muka bumi, membuat
lainnya: dari Utara ke Selatan, dan dari Barat ke Timur, tidak terkecuali
kawasan: Ti-mur Tengah, Asia Tenggara, dan berbagai bagian bumi lainnya yang masih
tertinggal, kemudian turut berlomba mengembangkan “Roha” dari warga negara
masing-masing menyimak apa yang telah dikemukakan oleh Sokrates. Mereka lalu melakukan
pemberantasan buta huruf, mendirikan dan mengembangan pendidikan berjenjang beragam
bidang ilmu dan keterampilan guna mengejar ketertinggalan masing-masing dari segelintir
negara yang telah terkemuka yang sudah disebutkan diatas.
Kendati Roha sudah
banyak diungkapkan para ahli dari berbagai negara maju, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
penelitian laboratoriun, pendirian industri, penggalian tambang, pencarian
peninggalan archeologi, penjelajahan antariksa, dan lain sebagai-nya, dan telah
pula terekam dalam tidak terbilang banyak buku, jurnal, dan lainnya, baik yang tradisional,
elektronik, dan digital; namun alam bukan-benda kedua yang terdapat dalam diri
manusia bernama “Roha” masih menyimpan banyak rahasia atau misteri yang belum banyak
di-ketahui orang sampai saat ini.
Jasmani
Pamatang (tubuh,
badan, jasmani), adalah bukti keberadaan material manusia di Banua-Tonga atau
Alam Kedua, Alam Fana, di muka bumi. Jasmani boleh juga dikatakan sebagai cap
jempol seseorang di atas lembar kertas kehidupan di muka bumi ini. Dengan
badan, si A, si B, si C dan seterusnya dapat dikenali lalu dibedakan satu dari
lainnya. Dengan Pamatang; manusia dapat saling berkenalan, bergaul dan
berbincang tentang sesuatu untuk bertukar fikiran.
Sebuah lembaga
penelitian dari segelintir negara terkemuka dunia bernama “Human Genome Project”(Proyek
Gen Manusia) terdapat di Amerika Serikat dan dipimpin oleh Craig Venter. Pada
tanggal 11 Febrruari 2001 ilmuwan dari Lembaga Gen Manusia ini berhasil
mengungkap-kan adanya 30.000 gen dalam tubuh manusia yang bertanggungjawab
terhadap kehidupan insan, yang senantiasa “membuka” atau “menutup” dalam melaksanakan
tugasnya dalam perjalanan waktu. Ditemukan lembaga itu pula, bahwa hanya
gen-gen yang membuka saja yang dapat mengendalikan semua sel yang ada dalam
tubuh manusia yang seluruhnya diperkirakan berjum-lah 3.000.000.000. sel.
Tubuh manusia
yang terdapat di Alam Kedua (Alam Benda), demikian juga hewan dan tum-buhan,
terdiri dari sejumlah logika kehidupan (biologi) rumit, seperti: peredaran
darah, pence-rnaan, pernafasan, pengindraan, susunan syaraf, dan lain
sebagainya. Selain dari itu, kesemua logika melahirkan sistim yang pada manusia
dikendalikan puluhan ribu gen terbuka, dan perlu bekerjasama dalam sebuah orkestra yang harmonis
untuk menjadikan tubuh sehat
tempat Tondi dan Roha bersemayam. Kegagalan badan atau jasmani
menjadi sehat oleh berbagai alasan, antara lain oleh: penyakit, kecelakaan, hingga
uzur, akan menyebabkan Tondi dalam perjalanan waktu meninggalkan badan dari
Alam Kedua (Alam Benda), untuk melanjutkan perjalanan ke Alam Ketiga.
Meskipun jasmani manusia
telah banyak dikaji oleh para ahli khususnya dari bidang ilmu kedok-tern di sejumlah
negara maju dim muka bumi ini, yakni bagian dari Trilogi Jolma Portibi (TJP)
atau Trilogi Manusia Bumi (TMB) yang paling banyak dipelajari, atau paling
sering dikaji, di dunia pada saat ini, akan tetapi bukti keberadaan seseorang
di Alam Kedua ini masih saja me-nyimpan
banyak teka-teki dan rahasia yang belum berhasil diungkapkan semuanya,
bagaimana-kah caranya tubuh makhluk itu mengambil bentuk dalam ruang?
Kedatanga
Makhlik di Muka Bumi
Saat Tondi suatu
makhlik tiba di perbatasan antara Alam Pertama (Alam Bukan-benda) dengan
Alam Kedua (Alam Benda), dalam perjalanan Tondi menurut “pemahaman baru”,
atau setelah Tondi turun dari Banua-Ginjang mrnuju ke BanuaTonga dalam
“pemahaman lama”, ia perlu ter-lebih dahulu menjemput benda (materi) untuk
menyatakan keberadaannya di Alam Kadua atau Banua-Tonga. Materi adalah sesuatu
yang terdapat di Alam Kedua dan tunduk kepada hukum alam atau fisika,
karena mempunyai berat (massa) dan menyita ruang.
Segala sesuatu
yang ada, tetapi tidak memiliki massa dan tidak menyita ruang, pastilah bukan-benda (immaterial), akan
berada di Alam Pertama, dan/atau Alam Ketiga.
Perpaduan Tondi, Ro-ha, dan Pamatang dalam Adat Batak ditunjukkan
dengan “pira manuk nanihobolan”. Tondi: ia-lah bagian kuning
telur terdapat di tengah, Pamatang dengan demikian ialah putih
telur yang mengitari. Sedangkan Roha adalah selaput yang terselip yang
memisahkan kuning telur dari pu-tih telurnya.
Perjumpaan “Tondi”
dengan “Pamatang”, setelah yang disebut terdahulu turun dari Banua Gin-jang tiba
di perbatasan Banua Tonga, atau datang dari “Alam Pertama” dan tiba
diperbatasan “A-lam Kedua”, pada makhluk hidup dimulai dari konsepsi
(conception) setelah sepasang insan, ma-sing-masing: laki-laki dan perempuan
berhubungan. Konsepsi adalah juga Tondi yang turun dari Banua Ginjang, atau datang
dari Alam Pertama berhasil memperoleh pinjaman benda (materi) di Banua-Tonga,
atau di Alam Kedua, lalu berkembang menjadi benih yang kemudian melaksana-kan
pembelahan sel yang selanjutnya berkembang menjadi janin. Dan yang akhir ini selanjutnya
dapat tumbuh dan berkembang karena mendapat pemasukan benda (materi) lebih
lanjut di Ba-nua-Tonga atau Alam Kedua, kini oleh pemberian ibu yang tengah mengandung
hingga akhirnya lahir ke dunia sebagai seorang bayi.
Setelah lahir ke
dunia, sang bayi meneruskan kegiatan menghimpun benda (materi), kini ber-langsung
diluar kandungan dengan menyusu kepada ibu, dibantu makan, minum, dan bernafas langsung lewat mulut dan hidung, baik yang untuk
meningkatkan berat badan dan menumbuhkan tinggi, begitu juga yang untuk memelihara
kesehatan sepanjang masa pertumbuhan, mulai dari: anak, akil balig, remaja,
hingga dengan dewasa.
Setelah seseorang
memasuki usia dewasa, kegiatan menambah benda (materi) berlanjut terus, tetapi kini bukan lagi pemberian orang tua,
melainkan usaha mencari nafkah sendiri. Pada usia dewasa dan selanjutnya benda
(materi) dihimpun juga lewat kegiatan makan, minum, dan ber-nafas, sebahagian
besar diperlukan untuk melaksanakan metabolisme (pertukaran zat) dalam tubuh lewat
reaksi kimia, antara lain: perbaikan jaringan tubuh, menyiapkan persediaan tenaga
(energi), pertukaran zat, dan lain sebagainya, untuk memelihara tubuh sehat
selalu hingga ke ba-tas usia.
Diantara berbagai
jenis hewan ada yang mengikuti manusia, tetapi tidak sedikit pula yang membuat
pinjaman materi untuk generasi penerus dengan bertelur, dan kehidupan yang dipicu
oleh panas pengeraman. Pada ragam tanaman telur digantikan oleh benih (bibit)
dan kehidupan dipicu lembab yang bersuhu lingkungan.
Menurut para ahli
kesehatan, pertukaan zat dalam tubuh makhluk berjalan tidak berkeputusan selama hayat masih dikandung badan menyebabkan
yang disebut belakangan, atau bukti kebera-daan mnusia di dunia ini, berganti
seluruhnya, mulai kulit yang paling luar di permukaan hingga dengan tubuh bagian
terdalam sekali dalam tujuh hingga sepuluh tahun. Itulah sebabnya me-ngapa bayi
yang lahir ke dunia dapat menjadi besar dengan kegiatan: makan, minum,
bernafas, dan bergerak; lalu bertambah berat, berganti wajah, berubah bentuk, meningkat
pengetahunnya, dan lainnya hingga mencapai usia dewasa. Seorang anak usia lebih
dari 7 tahun dengan demikian tidak lagi menyimpan benda (materi) yang diperoleh
dari kedua orang tua saat berlangsungnya konsepsi. Kini seluruh benda (materi)
yang ada dalam tubuh anak, semata perolehan dari kegia-tan makan, minum,
pemberian orang tuanya. Kedua orang tua anak ini pun, menurut ahli kese-hatan
tadi, juga sudah berganti dari sepasang manusia yang pernah meminjamkan materi
kepada anak, menjadi pewaris pasangan orang tua yang pernah meminjamkan benda
(materi) kepada a-nak di waktu yang silam. Kini, hubungan pasangan orang tua
dengan anak yang masih tersisa hanya
tinggal sejarah.
Metabolisme tubuh
yang didukung kegiatan: makan, minum, bernafas, dan bergerak menyebab-kan
manusia mengganti tubuh (jasmani) cara berkala, menyebabkan orang yang ada di
muka bu-mi ini sama semuanya, kecuali yang diatur oleh gen sebagainana yang diungkapkan
hasil pe-nelitian Proyek Gen Manusia, antara lain: bentuk tubuh, warna kulit,
dan berbagai pengenal khu-sus lain, meski berbagai hal yang dikemukakan akhir
ini tidak tidak banyak berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari selain identitas
diri. Karena itu benarlah apa yang dikatakan orang-orang tua di Bona Bulu silam,
agar anak-anak yang sudah dewasa sebaiknya diperlakukan sebagai do-ngan
(sahabat), bukan lagi sebagai anak. Ini
disebabkan anak yang telah dewasa sudah sempurna metamorphosa tubuhnya menjadi
orang lain lewat pergantian jasmani berulangkali sebagaimana yang telah dikatakan
oleh para ahli kesehatan diutarakan diatas.
Orang yang telah mencapai
usia 63 tahun, setidaknya telah mengganti tubuhnya 9 kali lewat per-tukaran zat
yang berjalan 7 tahun sekali. Pelaku kejahatan yang menjalani hukuman penjara
lebih dari 7 tahun, dengan demikian telah digantikan oleh pewaris yang samasekali
bukan lagi pelaku kejahatan, karena jasmani dituduh melakukan perbuatan
kriminal dalam Berita Acara Pemerik-saan (BAP), sudah bukan lagi pelakunya sekarang
ini. Dan yang disebut belakangan ini tidak pernah terlibat dalam kejahatan yang
ada dalam BAP, karena pelakunya telah meninggalkan pen-jara lewat metabolisme
tubuh yang tidak diketahui sipir yang bertugas memantaunya.
Terlihat disini
hukum alam bermain di dunia renik (dunia atom dan molekul) tidak akan mengi-kuti keputusan dari penegak hukum.
Sebaliknya kehidupan insan di muka bumi ini sangat diten-tukan aturan biologi
memanfaatkan beragam molekul yang bersama dengan air menjadikan bermacam sel
makhluk hidup. Berjenia molekul ini masih tergantung lagi dari beragam atom pembentuknya.
Selain dari itu, tidak dapat dipungkiri peran medan gravitasi dunia renik (gaya
tarik-mearik antar atom dan antar molekul) yang menjadikan benda, termasuk yang
menjadikan jasmani mahluk hidup. Tanpa kepatuhan dan kesetiaan medan-medan
gravitasi dunia renik menjalankan tugas diemban, maka insan bernama manusia
terdiri dari air dan segelintir unsur kimia ini, tidak lebih dari onggokan atom
tak-bernyawa yang tidak ada gunanya.
Akhirnya, masih terdaapat
lagi medan gravitasi bumi yang membuat semua makhluk dapat men-jejakkan kaki di
muka bumi ini termasuk segala macam benda dapat berada pada tempatya. Ke-gagalan
medan gravitasi akhir ini melaksanakan tugas akan berakibat semua benda yang
ada di permukaan planit biru ini akan melayang berserakan di angkasa, tidak
trekecuali segala makhluk hidup yang berdiam di permukaannya.
Manusia yang
meninggalkan Banua-Tonga atau Alam Kedua, sesungguhnya telah berulangkali
mengembalikan jasmani sedikit demi sedikit ke Banua-Tonga atau Alam Kedua,
lewat pertuka-ran zat atau metabolisme, akan tetapi yang dikembalikan
belakangan ialah yang dimiliki 7 sam-pai 10 tahun terakhir. Tubuh manusia terdiri
dari daging dan tulang kata kebanyakan orang, akan tetapi ilmu pengetahuan
telah menemukan tidak lain dari sebuah tempayan atau kendi yang berisi penuh
air. Hal ini disebabkan karena lebih dari 70% berat tubuh manusia hanyalah air,
dan kurang dari 30% terbentuk dari berbagai unsur kimia, seperti: karbon (C),
kalsium (Ca), kalium (K), besi (Fe), fosfor (P) dan lainnya, tidak terkecuali
unsue-unsur langka bumi (rare earth), se-bagaimana tercantum dalam tabel
unsur-unsur kimia yang diungkapkan pertama kali di dunia o-leh Dmitri Ivanovich
Mendeleev (1834-1907) dari Rusia. Kembali tampak disini, dari apa yang mejadikan
tubuh manusia, ternyata dari benda yang sama saja dimana-mana di seluruh dunia
ini hanyalah benda (materi) pinjaman dari Banua-Tonga atau Alam Kedua.
Perbedaan orang yang badannya gemuk dari orang lain yang badannya kurus, hanya ditentukan
oleh perbedaan banyak air dimiliki ketimbang
bermacam unsur kimia lainnya.
Manusia yang
meninggalkan alam fana sesungguhnya sudah tiba di perbatasan antara Banua-To-nga
dengan Banua-Toru, atau Alam Kedua dengan Alam Ketiga, dalam perjalanan
hidupnya. Pada ketika itu, tondi mengembalikan pamatang atau jasmani ke
asalnya, yakni Banua-Tonga, atau Alam Kedua, karena tubuh manusia hanyalah
semata barang pinjaman. Ini berarti semua mahluk hidup: manusia, hewan, dan
tanaman, mengembalikan jasmani mereka (materi) dalam dua tahap, masing-masing:
tahap pengembalian sedikit demi sedikit (partial return) dan pengem-balian
menyeluruh dilakukan belakangan. Banua-Tonga atau Alam Kedua sudah menetapkan
bahwa setiap jasmani (materi) yang dikembalikan perlu di daur ulang untuk
menghindarkan “sampah biologi” mencemari lingkungan. Pada pengembalian sedikit
demi sedikit (partial return) daur ulang dilaksanakan bermilliar bakteri yang berdiami
dalam tubuh mahluk yang keseharian-nya bertugas mengukir tubuh agar terlihat
bersih. Pada pengembalian menyeluruh dilakukan belakangan, bakteri-bakteri ini
melepaskan gas menyengat indra penciuman yang ter-sebar ke u-dara. Tujuannya
untuk mendatangkan pendaur ulang lain untuk segera ikut menyelesaikan pe-kerjaan
daur ulang agar cepat selesai..
Adat dan agama manusia
mengajarkan kepada umat, agar tubuh yang dikembalikan menyeluruh dilakukan
belakangan di perbatasan Banua Tonga dengan Banua Toru, atau perbatasan Alam
Kedua dengan Alam Ketiga, didaur ulang lewat: pemakaman, pembakaran (kremasi),
penengge-laman, dan pembiaran. Pada pemakaman, air yang dikembalikan akan diserap
tanaman, lalu me-nguap ke udara dan menjadi awan, lalu turun sebagai hujan dan kembali
ke laut. Beragam unsur kimia yang dikembalikan diserap tanaman, kemudian
dimakan binatang atau manusia. Pada pembakaran, air akan menjadi uap, lalu naik
ke udara menjadi awan, akhirnya kembali ke laut. Berbagai unsur kimia dikembalikan
sebagian ikut terbakar, ada yang menjadi abu untuk disim-pan keluarga di dalam
rumah atau tempat perabuan. Pada penenggelaman, air akan langsung ber-gabung dengan
rekan lainnya. Beragam unsur kimia lain yang dikembalikan lalu mengendap di-dasar badan air: kolam,
sungai, danau, laut, dan samudra, dan menjadi makanan tanaman dan bi-natang
air. Pada pembiaran, pengeringan akan membuat air lalu meguap menuju awan, dan akhirnya
kembali lagi ke laut. Dalam pelaksanaan akhir ini, terdapat peran burung manakala
diletakkan pada suatu ketinggian, atau peran binatang buas ynag liar manakala
diterlantarkan da-lam hutan belantara,
atau tersimpan dalam gua, untuk mendaur ulang jasad makhluk yang di-kembalikan belakangan.
Banua-Tonga atau
Alam Kedua telah menetapkan bahwa sampah makhluk hidup akan dipulang-kan ke
asalnya cara sebagian demi sebagian atau partial dan pengembalian belakangan,
adalah bagian dari suatu “rantai
makanan” (food chain) di muka bumi ini. Rantai makanan pertama ialah yang membebaskan tenaga (energi) sangat
dibutuhkan beragam hewan termasuk manusia dan tanaman guna kelangsungan hidup.
Rantai makanan ini bekerja membebaskan
tenaga (ener-gy) matahari yang tersimpan di dalam jasad yang dikembalikan dengan
penguraian (decompose) kedalam bermacam unsur kimia yang tercantum dalam tabel
Mendeleev.
Adapun rantai
makanan kedua ialah yang merakit kembali (recompose) bermacami unsur kimia yang
sudah terurai, kembali menjadi: butiran, bijian, buah, dan lain sebagainya dikrtjakan
dalam daun tanaman lewat proses photosynthesis dibantu sinar matahari, ntuk menyimpan tenaga (ener-gy); juga oleh
bermacam hewan yang memproduksi: susu, daging, madu, dan lainnya. Itulah alasannya
mengapa tanaman memerlukan zat-zat yang mengandung unsur-unsur kimia perolehan dari
daur ulang dikembalikan partial dan belakangan untuk kelangsungan hidupnya.
Melalui proses daur ulang dan segera melakukannya, maka pencemaran di Banua-Tonga
atau Alam Ke-dua oleh sampah makhluk hidup dapat dihindarkan.
Pada orang yang
sehat keadaannya, Tondi dan Roha senantiasa menyertai Badan
di Banua Tonga atau Alam Kedua. Tidak ada orang yang dapat memperkirkan berapa
lama Tondi dan Roha akan menyerai Pamatang (jasmani) dalam hidupnya sampai tibanya
batas waktu yang telah ditentukan. Ketika waku itu tiba, maka Tondi akan
mengembalikan badan atau jasmani di perbatasan Banua Tonga dengan Banua Toru,
atau Alam Kedua dengan Alam Ketiga. Dan setelah berpisah dari Pamatang, tidak
ada lagi yang dapat diketahui orang tentang perjalanan Tondi selanjutnya me-nuju
ke Banua Toru, atau Alam Ketiga.
Pada awalnya kehidupan
suku-bangsa Batak di Bona Bulu berjalan perlahan, atau alami, yang dikenal dengan berlangsung evolusioner di tempat-tempat
mereka bermukim. Gelombang per-tama datangnya agama Islam ke Nusantara pada
Abad ke-13, belum menunjukkan adanya peru-bahan yang berarti dalam kehidupaan
masyarakat di Tapanuli. Akan tetapi dengan timbulnya ge-lombang kedua agama
Islam yang datang dari Sumatera Barat ke Tanah Batak bagian Selatan,
benar-benar menunjukkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, karena berlangsung
re-volusioner, yakni dengan kekerasan untuk mengubah kepercayaan yang telah ada
di Tanah Batak, menjadi menganut agama Islam..
Pemerintah Hindia
Belanda yang selanjutnya menggantikan kaum Paderi, juga membawa peru-bahan cepat atau revolusioner di Tanah
Batak dengan memperkenalkan “kerja rodi”, atau kerja paksa pembuatan jalan dan
jembatan. Pemerintah Hindia Belanda yang kolonial ketika itu, juga mengharuskan
para Raja dan rakyat mereka membayar belasting atau pajak. Dengan sistim pe-merintahan
terpusat (sentralistis) yang diperkenalkan bangsa Belanda, para Raja dan rakyat
me-reka, lalu menjadi bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang terdapat di seberang
lautan. Para Raja di Tanah Batak diharuskan memungut belasting dengan sasaran (bertarget) pendapatan yang
telah ditentukan. Adapun imbalan yang diberikan pemerintah hindia Belanda kepada
masyarakat pada saat itu ialah: pemerintahan, layanan masyarakat, pembuatan jalan
raya dengan jembatan, dan pendidikan untuk anak-anak pribumi.
Pemerintah
Fascist Jepang yang menggantikan penjajahan Hindia Belanda di Tanah Batak pada
tahun 1942, tidak kalah kolonial, juga memberlakukan perubahan cepat di Tanah
Batak, bahkan dengan perlakuan kasar dan ancaman senjata. Jepang mengharuskan
di Tanah Batak segera dibentuk barisan-barisan Zikedan dan Bogodan pada setiap
kampung untuk menghimpun paravpemuda guna dijadikan heiho (pembantu prajurit
Jepang) dan romusha (pekerja rodi untuk Jepang). Serdadu-serdadu Jepang juga
memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi, baik yang diba-yar dengan uang Jepang,
maupun yang samasekali tidak mendapat bayaran apapun pada ketika itu. Sesudah
Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pimpinan Amerika Serikat pada peghujung Pe-rang
Dunia Ke-II silam, para pemimpin pergerakan NRI (Negara Republik Indonesia) di
Tanah Batak kemudian mengambil alih pemerintahan. Kaum pergerakan anak-anak
bangsa ini juga ti-dak luput menimbulkan perubahan cepat di Tanah Batak
menggerakkan masyarakat melakukan revolusi untuk menentang bangsa Belanda
kembali datang menjajah di Nusantara, lalu menjan-jikan kehidupan bebas dari
kemiskinan memasuki alam kemerdekaan bangsa.
Setelah Tanah
batak memperoleh kemerdekaan, pemerintah NRI keresidenan Tapanuli yang ber-kedudukan
di Tarutung mengeluarkan ketetapan Residen Tapanuli No.: 274 tertanggal 14
Maret 1946, dan No: 1/D.P.T. tertanggal 11 Januari 1947, ditandatangani oleh Dr.
F.L. Tobing. Adapun isi ketetapan Residen Tapanuli saat itu mengatakan: Para
Raja yang masih menjabat di pemerin-tahan, maupun mereka yang masih berkegiatan
dengan wilayah publik di seluruh Tanah Batak, apapun jabatan diemban,
diberhentikan dengan hormat. Para pejabat pemerintah yang akan di-angkat untuk
menyelenggarakan pemerintahan di Tanah Batak akan dipilih secara demokratis
oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia. Dengan demikian seluruh pemerintahan
yang semula masih dilaksanakan menurut adat Batak sempat, dan masih
diperkenankan dalam zaman pemerintahan Hindia Belanda pada tingkat Bona
Bulu/Huta, maka dari sejak saat bersejarah itu terpaksa harus tersingkir dari
wilayah publik, dan beralih ke ranah seremonial perhelatan Adat Batak semata.
Gelombang
perubahan cepat yang melanda Tanah Batak, diawali Perang Paderi, penjajahan
ko-lonial Hindia Belanda, penjajahan Fascist Jepang, revolusi bangsa Indonesia dan
perang kemer-dekaan tahun 1945 hingga memasuki zaman kemerdekaan; telah
menyebabkan suku-bangsa Batak dari Bona Bulu hingga tanah perantauan menjadi
terbuka dan dapat menerima kenyataan. Kini memasuki abad ke-21, suku-bangsa
Batak telah pula menerima beragam pengaruh lainnya, termasuk pengaruh
globalisasi dunia dengan tampilnya: pandangan hidup dan kerohanian yang beragam,
sebagai akibat serbuan budaya beragam bangsa, budaya musik populer, ilmu penge-tahuan
dan teknologi maju beraneka ragam bidang ilmu, yang mengantarkan umat di muka
bumi ini memasuki peradaban millenium ketiga.
Apapun pengaruh
yang telah mendera masyarakat di Tanah Batak, apapun ragam maupun ben-tuknya,
mulai dari zaman yang silam hingga dengan sekarang, baik terhadap masyarakat
yang masih berdiam di Bona Bulu maupun yang telah bermukim di perantauan,
Tanah-Air dan Man-canegara, ialah kenyataan bahwa masih saja memperlihatkan
sebagaimana diajarkan oleh Ompu Simulajadi tentang seluruh yang ada dan
diketahui orang di Alam Semesta, yang tetap serba-tiga keberadaannya, yakni:
Pertama. Dengan munculnya keberagaman agama dengan
pandangannya, masyarakat Batak di Bona Bulu, begitu pula yang telah berdiam di Tanah
Perantauan lalu menerima ajaran mono-theisme, yaitu ajaran beriman kepada Tuhan
Yang Esa, karena memiliki banyak persamaan de-ngan apa yang telah diajarkan
Ompu Simulajadi silam. Kepada mereka yang beragama Islam, ini artinya mengakui
keberadaan Tuhan Yang Maha Esa di Alam
Semesta ini, yakni ajaran tiada Tuhan selain Allah. Dan ini memperlihatkan Semangat
Ketuhanan dalam masyarakat Batak, yang dalam bahasa Arab diungkapkan dengan
perkataan: HablumminAllah.
Kedua. Dengan hadirnya keberagaman budaya dan
ilmu pengetahuan terhimpun dari segala pen-juru dunia masuk dalam kehidupan
masyarakat Batak dari Bona Bulu hingga ke Tanah Perantau-an, membuat
adat-istiadat warisan leluhur silam menjadi diperkaya. Adapun pengayaan datang
dari lingkungan Nasional dan lingkungan Internasional. Sebagai akibat dari
pengaruh ini, suku-bangsa Batak mulai dari Bona Bulu hingga Tanah Perantauan,
lalu meluaskan pandangan hidup-nya: diawali dari kesukuan yang sempit asal Bona
Bulu silam, berkembang menjadi Nasional yang lebih melebar, kemudian Internasional
yang bersifat gelobal; sekaligus menjadikan mereka semua menjadi bagian dari
masyarakat dunia. Kepada mereka yang beragama Islam ini memperlihatkan: Semangat
Kemanusiaan; yang dalam bahasa Arab dinyatakan dengan perka-taan: Hablumminannas.
Ketiga. Perkebangan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah membuat umat diseluruh penjuru du-nia menjalani kemajuan: sosial,
ekonomi, dan budaya, dengan berkembangnya aneka ragam tek-nologi. Masyarakat
Batak mulai dari Bona Bulu, berkembang ke tingkat Nasional, dan akhirnya memasuki pula tingkat Internasional, membuat
suku-bangsa Batak mulai dari Bona Bulu hingga Tanah Perantauan juga ikut
menikmati. Karena itu, ikut pula bertanggungjawab terhadap ling-kungan hidup,
tidak semata di Bona Bulu, tetapi juga Nasional dan Dunia sampai ke tepian Alam
Semesta. Bukankah dalam Al-Quran‘ul Karim dalam Surah 2:11, terdapat perintah yang
menye-rukan “….jangan kamu membuat kerusakan di muka bumi….”, dan diulang pula dalam
berbagai surah yang menyusul kemudian. Kepada mereka yang beragama Islam ini mengisyaratkan
Sema-ngat Memelihara Lingkungan Hidup; bilamana diutarakan dalam bahasa
Arab akan melahirkan perkataan: Hablumminalkaun.
Dengan demikian
HablumminAllah, Hablumminannas, dan Hablumminalkaun, membentuk
Sekawan Pernyataan Insan (SPI), yang tidak lagi asing di telinga suku-bangsa
Batak yang telah beragama Islam, karena sejalan sekali dengan pandangan Ompu
Simulajadi tentang Alam Se-mesta di Tanah Batak silam, tentang keberadaan:
Banua-Ginjang, Banua-Tonga, dan Banua- Toru mengitari kehidupan mahluk berdiam di
muka bumi. HablumminAllah menjadi ungkapan penyerahan diri makhluk
kepada Khalik Sang Pencipta dalam arah vertical; Hablumminannas ungkapan
persaudaraan antar sesama insan horzontal yang berada di muka
bumi, sedangkan Hablumminalkaun ungkapan tanggungjawab manusia
kepada lingkungan hidup tempat kebe-radaan umat yang menampung segalanya,
mulai dari tempat kaki berpijak hingga ke tepian Alam Semesta.
Apapun ajaran
agama dianut suku-bangsa Batak mengatur hubungan insan dengan Sang Khalik
yang vertikal, tidak diragukan lagi berasal dari pandangan Ompu
Simulajai silam, sedangkan hubungan sesama manusia yang horizontal dimulai
dari Adat Batak di Bona Bulu, lalu meluas menjadi budaya nasional dalam negara,
akhirnya menjadi budaya antarbangsa di muka bumi; melahirkan budaya manusia. Adapun hubungan manusia
dengan lingkungan tempat berdiam di muka bumi berawal dari peradaban zaman
batu, lalu berubah menjadi
peradaban zaman logam, akhirnya berkembang menjadi peradaban ilmu
pengetahuan dan teknologi, disingkat Iptek.
Dengan demikian Agama, Budaya (Adat-istiadat),
dan Iptek yang telah dicapai umat kini telah menjadi Sekawan Perangkat Insan
(SPI) untuk mencapai: perdamaian, kemajuan, dan kesejah-teraan manusia di muka bumi
kedepan menjalani abad ke-21 saat ini. Khusus untuk suku-bangsa Batak SPI telah
menjadi lanjutan dari trilogi ajaran Ompu Simulajadi, kini memasuki millenium
ketiga di permukaan planit biru.
Penulis:
H.M.Rusli
Harahap
Pamulang
Residence, G1
Jalan
Pamulang 2, Pondok Benda. Kode Pos: 1541
Tangerang
Selatan,
Banten.
Indonesia..
Tel.
021-74631125. 21
Juli 2017.
--------------selesai---------------
No comments:
Post a Comment