Wednesday, 2 August 2017

Batak Diaspora



Pendahuluan
Tanah Batak berada di provinsi Sumatera Utara, dimana salah satu suku-bangsa Indonesia  ber-nama suku-bangsa atau etnik Batak berdiam. Pada awalnya yang bernama suku-bangsa Batak itu belum jelas diketahui, demikian juga tempat mereka berdiam di Nusantara. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebanyakan suku bangsa Indonesia berdiam di Nusantara silam, sebelum keda-tangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara, belum menaruh perhatian dalam pembuatan catatan ten-tang: suku-bangsa, ragam puak, lingkungan alam, adat-istiadat, budaya, dan lain sebagainya, da-lam perjalanan hidup panjang yang telah dilalui di muka bumi menelusuri waktu. Penulisan ca-tatan tentang keluarga dan keturunan pun sangat sedikit dilakukan orang ketika itu, terkecuali oleh segelintir leluhur para pendahulu yang disuratkan diatas bilah bambu, kulit kayu, atau la-in sebagainya dengan aksara Batak. Demikian juga tentang tempat keberadaan mereka dan ragam puak Batak begitu juga lainnya pada masa itu.
Kalaupun ada pengetahuan tentang suku-bangsa dan ragam puak dan lainnya dari masa lampau, kebanyakan tersimpan dalam kenangan berrupa inatan yang dapat diraih cara lisan dalam bahasa atau logat yang menggunakan istilah setempat. Lainnya dapat ditemukan kembali lewat pentasan budaya, penuturan ceritra atau hikayat, ungkapan pantun dan sajak, senandung lagu, benda hasil kerajinan, bangunan, dan beragam lainnya. Begitu juga tentang tempat mereka berdiam di muka bumi silam. Istilah yang kerap digunakan untuk menyatakan tempat asal menggunakan istilah: “di hitaan”, yang artinya “di kita sana”. Keterangan demikian sudah tentu tidak mempunya mak-na bagi mereka yang ingin mengetahui tempat asal tercantum di peta di muka planet biru ini.
Nama Tanah Batak lalu beralih menjadi Tapanuli, setelah kaum pedagang dan para pendatang ke  menemukan sebuah tempat pemandian: “Tapian Na Uli” (Pantai Yang Indah) di bagian Barat pu-lau Sumatera, tidak jauh dari Sibolga, yang kerap dikunjungi pelancong dann para wisatawan ke pesisir Barat pulau Perca. Adapun alasan para pedagang datang berkunjung ke daerah itu, ialah upaya mencari hasil bumi yang laku diperdagangkan di kawasan Asia Tenggara ketika itu, antara lain: kulit manis, kapur barus, beragam rempah, bahan pangan, dan lainnya, yang selanjutnya di-perjual-belikan orang sampai kawasan Asia Selatan dan Timur Tengah. Ada pula kaum peda-gang ini yang memperjualbelikan lanjut lebih lanjut sampai ke pesisir Barat daratan Eropa ketika itu. Nama Tanah Batak lalu berganti menjadi Tapanuli sejak dari masa yang sarat sejarah silam. Orang dari bermacam bangsa dari Eropa Barat tertarik berkunjung ke Nusantara di Asia Teng-gara dengan  kapal layar dihembus angin, guna menemukan sumber dari beragam rempah yang amat dibutuh-kan orang di negeri mereka, yang lalu memicu kegiatan dagang antar berbagai ka-wasan di muka bumi yang amat luas terdapat di muka planit biru ini.
Sebelum kedatangan bangsa Eropa ke kawasan Asia Tenggara, seperti: Portugis, Inggris, dan Be-landa tiba ke Nusantara, di Tanah Batak telah terdapat beragam kerajaan yang menguasai bemacam wilayah yang dinamakan “Luhat”, dan dipimpin oleh seorang penguasa bernama: Raja Panusunan Bulung (RPB). Pada ketika itu, Luhat menjadi tempat berhimpun beragam kampung, mulai kecil hingga besar di wilayah itu. Kampung dalam bahasa Batak dinamakan “Huta”, sedangkan untuk kampung kecil digunakan kata “Pagaran”. Dengan demikian Luhat pada ketika itu, menjadi tempat berhimpun beragam Huta dan Pagaran. Sebuah Pagaran (anak kampung) ini pada suatu ketika akan berkembang menjadi Huta, apabila telah dapat memenuhi keperluan sendiri supaya dapat berdiri sendiri. Kampung yang telah berdiri sendiri akan dipimpin seorang Raja Pamusuk (RP) terpilih, setelah terlebuh dahulu diresmikan oleh RPB Luhat bersangkutan dan RP huta yang selama ini telah membinanya, dengan sebuah upacara Adat Batak setempat. Bona Bulu adalah juga sebuah Huta atau Kampung, hanya saja yang akhir ini dipungka (di-dirikan) oleh sesuatu marga Batak yang mengupayakannya, dan menjadikan tempat asal marga mereka di Tanah Batak silam. Huta dinamakan orang Bona Bulu, selain karena telah diresmikan menjadi Huta yang telah dapat berdiri sendiri, juga dipagari oleh “rumpun bambu” guna melin-dungi dari gangguan para perusuh, atau musuh, datang menyerang dari luar.
Berbagai kerajaan terdapat di Tanah Batak dari masa yang silam, memiliki pemerintah yang ber-diri sendiri, dan bersifat otonom. Karena itu mereka tidak mengenal adanya kekuasaan peme-rintah pusat, atau kekuasaan lain yang dapat mengatur atau mempengaruhi pemerintahan dalam luhat dari luar wilayahnya. Kehidupan masyarakat berjalan menurut ajaran adat Batak dari ma-syarakat setempat. Karena itu akan terlihat jelas keanekaragaman atau variasi pelaksanaan adat Batak diberlakukan di berbagai Luhat di Tanah Batak silam. Pemerintahan berlangsung menurut Adat Batak yang berlaku dalam Luhat, dan berjalan berabad lamanya di Tanah Batak, yang di-wariskan cara turun-temurun menelusuri perjalanan generasi.
Diantara sejumlah Luhat yang terdapat di Tapanuli Selatan sebelum kedatangan bangsa Belanda, dan masih dapat diketahui orang sampai kini, ialah: Luhat Sipirok, Luhat Angkola, Luhat Maran-car, Luhat Padang Bolak, Luhat Barumun, Luhat Mandailing, Luhat Batang Natal, Luhat Natal, Luhat Sipiongot dan Luhat Pakantan. Luhat, mereka namakan juga Banua, ketika itu masih me-rupakan tempat kediaman suatu “kelompok kekerabatan” berlatar belakang kahanggi atau per-saudaraan semarga (genealogi); yakni kediaman kelompok-kelompok masyarakat yang  boleh di-katakan masih seketurunan menguasai daerah amat luas. Pemerintahan luhat dilaksanakan me-nurut Adat Batak setempat, berangkat dari kekerabatan Dalihan Na Tolu (DNT), atau Tungku Yang Tiga (TYT), berangkat dari Mithologi Batak, berjalan dalam kehidupan masyarakat Batak, yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung (RPB), yang bertindak sebagai Sang (Si) Penyusun Daun (seorang pemimpin yang sekaligus juga teladan).  
Adapun yang diangkat menjadi Raja Panusunan Bulung (RPB) ialah seorang yang dipilih dari antara Raja Pamusuk (RP) terdapat dalam Luhat dibicarakan, terutama dari kalangan mereka Si-suan Haruaya (Si penanam pohon Beringin) di Luhat tersebut tidak terkecuali turunan mereka, dan setelah terpilih, lalu dinobatkan melalui sebuah upacara Adat Batak menjadi seorang Raja Panusunan Bulung (RPB) di Luhat, guna memerintah sepanjang hayat. Dalam menjalankan tu-gasnya, RPB dibantu seorang Raja Pangondian (RPO), juga dipilih dari antara para Raja Pamu-suk yang ada dalam Luhat yang dibicarakan. Selain sebagai Kepala Pemerintah, seorang RPB juga merangkap jadi Kepala Adat atau Raja Adat dalam Luhat bersangkutan, untuk memimpin bermacam acara dan upacara yang berlangsungkan dalam Luhat, mulai bersifat keagamaan seja-lan dengan Adat Batak, hingga  perhelatan pribadi warga ada dalam Luhat yang ia pimpin. RPB selanjutnya mendapat gelar: “Haruaya Parsilaungan” (Pohon Beringin Tempat Bernaung). Di Angkola dinamakan orang: “Banir Parkolipkolipan”, sedangkan di Mandailing dinamakan: “Ba-nir Paronding-ondingan”, yang maknanya tempat berlindung/bernaung warga yang terdapat da-lam daerah kekuasaannya.
Meski pemerintahan Luhat dilakukan RPB di Tanah Batak bercorak oligaki, artinya  dilakukan oleh segelintir orang, akan tetapi “corak demokrasi” ditampilkan juga dengan adanya Lembaga Hatobangon (rapat tetua Luhat) bertugas mendampingi RPB, sehingga bermacam kelompok yang ada dalam masyarakat Batak ketika itu memiliki wakil untuk menyampaikan kepentingan masing-masing kelompok. Selain berdiri sendiri, Luhat yang tidak sedikit jumlahnya saat itu, ti-dak sama pula bangun wilayah maupun luasnya, berjauhan satu dari lainnya, dengan batas-batas yang masih belum terpetakan samasekal ketika itu, namun kerajaan-kerajaan di Tanah Ba-tak saling menghargai satu sama lainnya oleh sifatnya masih sejajar dan sederajat. Tidak terdapat kekuasaan lain rupa apapun terdapat di atas masing-masing kerajaaan di Tanah Batak ketika itu yang boleh mencampuri urusan pemerintahan masing-masing Luhat yang masih berbentuk kera-jaan ketika itu.
Pada ketika itu Luhat di Tanah Batak merupakan tempat berhimpun Huta (Kampung) yang telah mampun berdiri sendiri, tidak terkecuali Bona Bulu (Kampung asal sesuatu marga Batak), dan  Pagaran yang sedang berkembang,. Pagaran itu adakah anak Kampung yang menjadi awal dari berdirinya Huta maupun Bona Bulu yang pada masa itu kebanyakan dipungka (didirikan) oleh sesuatu marga yang ada di Tanah Batak sampai dapat berdiri sendiri. Anak Kampung akan  berkembang menjadi Huta atau Kampung apabila kelak telah dapat memenuhi keperluannya sen-diri. Selain dari itu, anak Kampung atau Pagaran dapat pula berkembang menjadi Bona Bulu, manakala ada suatu marga di Tanah Batak yang mamungka atau memprakarsai berdirinya, untuk dijadikan Kampung asal marga tersebut nantinya.
Apabila sebuah Pagaran berkembang telah dapat memenuhi segala keperluannya, maka siaplah ia diresmikan menjadi Huta, atau Bona Bulu (rumpun-bambu), oleh kekerabatan suatu marga yang mengusahakan di Tanah Batak. Sebuah upacara dalam Adat Batak setempat lalu dipersiap-kan untuk meresmikannya. Sebuah Pagaran akan diresmikan menjadi Huta, atau Bona Bulu, ma-nakala ada kahanggi suku-bangsa Batak pendiri yang mengupayakannya. Pada zaman dahulu, se-buah Pagaran atau anak Kampung diresmikan menjadi Bona Bulu, manakala telah dipenuhi se-dikitnya persyaratan sebagaimana berikut ini, yaitu: 1. Telah ada penduduk tetap Pagaran ber-jumlah tiga keluarga Dalihan Na Tolu, terdiri dari: Kahanggi, Anakboru, dan Mora. 2. Telah ter-dapat tanah peladangan tempat warga bercocok tanam, tidak terkecuali sawah yang berpengai-ran, dimana warga dapat bertanam padi untuk jadi makanan pokok. 3. Telah terdapat pemerinta-han yang dipimpin seorang Raja Pamusuk (RP) untuk mewujudkan tertib umum yang menda-tangkan kesejahteraan dan kemajuan kepada seluruh anggota masyarakat. 4. Dan, yang juga ti-dak kalah penting ialah, keberadaan Huta atau Bona Bulu yang baru diterima baik oleh seluruh kampung mengitari yang telah lebih dahulu ada.
Dengan cara disebutkan diatas, bermacam Huta maupun Bona Bulu telah berhasil dipungka oleh warga suku-bangsa Batak silam; satu persatu beralih dari Pagaran menjadi Huta atau Bona Bulu setelah berhasil menyediakan beragam keperluan yang dibutuhkan warga sebagaimana yang dia-tur dalam Adat Batak setempat. Untuk meresmikan sebuah “pagaran” telah berkenbang menjadi “Huta” atau “Bona Bulu”, diadakanlah sebuah “horja godang” (pesta besar) dengan menyem-be-lih hewan, yang dalam Adat Batak disebut: nabontar (kerbau), tidak terkecuali hewan-hewan adat lain lebih kecil. Yang menjadi puncak acara peresmian Pagaran menjadi Huta, atau Bona Bulu, ialah saat RPB Luhat bersangkutan manabalkon (mengukuhkan) nama keluarga Sipungka Huta (Sipendiri Kampung) menjadi Raja Pamusuk (RP) di kampung yang baru diresmikan, seka-ligus mengumumkan gelar baginya, atau “nama Raja” untuk orang bersangkutan.
Dalam meresmikan Huta, atau Buna Bulu, RPB akan didampingi para petinggi Luat, dan pada bersamaan juga mengumumkan susunan pemerintahan Huta, atau Bona Bulu. Dalam peresmian Huta, atau Bona Bulu yang baru, hadir pula perwakilan “torbing balok”, yakni para utusan dari Kampung-kampung sekitar yang  diminta datang untuk menghadiri tepat pada waktunya. Acara peresmian Huta, atau Bona Bulu, dilanjutkan dengan pidato Raja Pamusuk Sipungka Huta yang memberitahukan kepada semua hadirin, bahwa Huta, atau Bona Bulu yang baru berdiri, adalah kampung asal dari “marga-x” yang mendirikannya. Raja Pamusuk lalu turun ke halaman untuk menanam pohon bambu-duri, yang diiringi istrinya menanam pohon pandan, Anakborunya me-nyemaikan bibit jagung dalam bermacam banjaran; lalu disusul moranya menanam butiran padi di sejumlah petak sawah yang disediakan.
Kampung yang dipungka oleh suatu marga suku-bangsa Batak disebut Bona Bulu, artinya rum-pun-bambu, karena memang pada waktu yang silam, Huta-huta yang terdapat dalam Luhat di Tanah Batak adalah tempat berdiam warga yang dipagari bambu-duri. Tujuannya untuk melin-dungi warga dari gangguan penjahat atau musuh yang datang menyerang dari luar. Selain pohon bambu yang mengelilingi Kampung, masih terdapat lagi anyaman bambu disusun berlapis, agar Kampung tidak dapat dimasuki orang dari luar, kecuali lewat pintu gerbang disediakan yang di-kawal perajurit “hundangan podang” (perajurit bersenjata pedang).
Anak Kampung yang masih belum siap menjadi Huta atau Bona Bulu, masih tergantung kepada Huta atau Bona Bulu yang mengasuhnya dalam memenuhi kebutuhannya, seperti: keamanan, pe-merintahan, melaksanakan acara dan upacara adat Batak, serta lainnya, dan dinamakan Pagaran. Terdapat banyak Pagaran yang bernaung dibawah Huta atau Bona Bulu di berbagai Luhat di Ta-nah Batak, menjelang kedatangan bangsa Belanda yang pertama kalinya ke Tapanuli Selatan si-lam, lalu kemudian berkembang menjadi Huta atau Bona Bulu pada waktu yang lalu. Huta atau Bona Bulu selain sebagai tempat warga berdiam, juga tempat mencari nafkah dan kebutuhan hi-dup lainnya. Huta atau Bona Bulu dengan begitu selain menjadi tempat bermukim, juga lahan tempat warga mencari nafkah, diawali belukar, ladang, sawah, dan beragam perairan (telaga, sungai, dan laut). Hutan, lembah, dan gunung dimana dapat ditemukan kebutuhan lainnya, diatur pemanfaatannya oleh warga silam bekerjasama dengan RPB.
Orang yang memimpin sebuah Huta atau Bona Bulu di Tanah Batak dinamakan Raja Pamusuk (RP), datang dari keluarga-keluarga si Suan Bulu (si Penanam Bambu) di kampung tempat mereka berdiam. Huta yang banyak penduduk karena luas tanahnya, dan subur, serta kaya  ling-kungan alamnya, juga dipimpin seorang RP, tetapi dibantu oleh seorang Kepala Ripe (KR) da-lam melaksanakan pemerintahan kampung, demi menegakkan tertib umum yang mensejahtera-kan kehidupan masyarakat. Seorang Raja di Tanah Batak silam, baik RPB maupun RP, dalam masyarakat Batak sebelum kedatangan bangsa Eropa, bukanlah seorang manusia ternama seba-gaimana yang dikisahkan dalam buku sejarah Eropa di zaman feodal yang dipelajari oleh siswa Sekolah Menegah Pertama (SMP), akan tetapi adalah seorang bijak yang dituakan dari antara pa-ra tetua Huta maupun Luhat, tepatnya seorang terbaik dari antara mereka semua (primus inter-pares), datang dari keluarga-keluarga para pendiri Luhat maupun Huta yang benar-benar dikenal bijaksana dari kalangan masyarakat tempat mereka berdiam.
Orang Belanda datang ke Nusantara lalu masuk ke Tanah Batak, diawali dari berdirinya "Vere-nigde Oost-Indische Compagnie (VOC)", atau Kompeni Hindia Timur (KHT) di Belanda, Eropa Barat, pada tahun 1602 yang silam. KHT lalu berlayar menuju ke Timur untuk menemukan sum-ber bermacam rempah, seperti: lada, pala, cengkeh, dan lainnya yang ada di Asia Tenggara, lalu masuk ke Nusantara. Dalam per-jalanan waktu, KHT mendapat sejumlah “tanah pijakan” di Nu-santara untuk berdagang. Setelah mendapat tanah pijakan di sejumlah tempat di pulau Sumatera, KHT lewat berbagai transaksi niaga dilakukan berhasil pula mendapat “tanah jajahan”; dan yang disebut belakangan ini semakin luas dalam perjalanan waktu panjang, menyebabkan Pemerintah Negeri Belanda di Den Haag, pada tahun 1610, perlu mengangkat untuk pertama kalinya Pieter Booth sebagai wakil pemerintah Belanda di tanah jajahannya di Asia Tenggara, seorang: Gou-verneur-Generaal van Oost Indie (Gubernur-Jenderal dari Hindia Timur) berkedudukan di Ba-tavia pulau Jawa, guna mewakili kepentingan Kerajaan Belanda seberang lautan yang terdapat di Asia Tenggara.
Pada awalnya KHT menyinggahi sejumlah tempat yang berada di pantai Barat pulau Sumatera,  mendiami di kota-kota, seperti: Singkil, Sibolga, Poncan, Barus, Singkuang, Natal, dan lainnya untuk tanah pijakan. Pada tahun 1808, Negeri Belanda diduduki oleh Perancis, ketika itu masih dipimpin Napoleon Bonaparte (1769-1821). Sebagai akibatnya, Negeri Belanda termasuk seluruh tanah jajahan sebe-rang lautan milik KHT di Hindia Timur lalu dikuasai Perancis. Yang akhir ini, oleh sang Kaisar  diserahkannya kepada sang adik tercinta Lodewijk Napoleon. Akan tetapi setelah Napoleon Bonaparte berhasil ditaklukkan dalam pertempuran di Waterloo, Belgia tahun 1811, pemerintah baru Perancis memerdekakan negeri Belanda, lalu mengembalikan tanah jajahan Hindia Timur milik KHT pada pemiliknya. Akan tetapi, pada tahun yang sama, Inggris lalu merampas tanah jajahan KHT dari tangan pemerintah Belanda guna dijadikan miliknya.
Pada tahun 1812 pemerintah Inggris dan Belanda lalu menjalin kesepakatan di Eropa, dan melak-sanakan pertukaran sebagian dari tanah jajahan mereka yang berada di Hindia Timur. Pulau Si-ngapura yang pada ketika itu milik KHT, lalu diserahkan Belanda kepada Inggris, dan sebagai gantinya Belanda memperoleh daerah Natal dan Bengkulu. Inggris lalu menjajah Tanah Batak sampai tahun 1825, lalu sejalan dengan perjanjian London, Inggris lalu mengembalikan Tanah Batak kepada Belanda, termasuk bagian Tanah Batak yang sudah terbagi dua, masing-masing ketika itu dinamakan: “Padang Hilir” dan “Padang Darat”. Selama masa penjajahan Inggris di Tanah Batak berlangsung 14 tahun silam, tidak ada terdengar khabat tentang Tanah Batak yang  dikuasai orang Inggris, terkecuali usaha penyebaran agama Nasrani aliran Anglikan yang dila-kukan pendeta Burton dari Inggris tahun 1824, yang tidak memperlihatkan banyak kemajuan di Sibolga waktu itu.
Sebelum munculnya tanah jajahan Hindia Timur milik Belanda, Inggris sudah sejak tahun 1808 berdiam di Natal, kala itu Belanda masih meduduki Bengkulu yang terdapat di bagian selatan pulau Sumatera. Meski kata Natal adalah sebuah nama pemberian orang Inggris, namun pelabu-han samudera Hindia yang terletak di pantai Barat pulau Sumatera itu sudah sejak lama dising-gahi oleh kapal-kapal layar Mancanegara, atau Internasional yang membawa barang dagangan. Sejumlah peninggalan Inggris yang masih dapat ditemukan di Natal sampai saat ini, ialah: sisa benteng pertahanan kota itu, bekas-bekas meriam, dan tempat pemakaman orang-orang kulit putih yang masih tersisa di Tanah Batak.   
Berlatar belakang muktamar Wina berlangsung di Switzerland tahun 1839 silam, kemudian dise-pakatinya sebuah keputusan yang mengharuskan negeri Belanda dan negeri Belgia tergabung kedalam sebuah perserikatan bernama “uni”; maka akibatnya, tanah jajahan negeri Belanda di Hindia Timur perlu dikendalikan oleh dua kekuasaan, sejalan dengan corak agama Keristen yang dianut oleh bangsa Belanda dan corak agama Keristen yang dianut oleh bangsa Belgia ketika itu. Itulah sebabnya mengapa terdapat dua orang Gubernur-Jenderal yang dengan syah (legal) meme-rintah Kompeni Hindia Timur (KHT) dari saat bersejarah itu, masing-masing: Gubernur Jenderal van der Capellen dari negeri Belanda yang beragama Protestan, dan Gubernur Jenderal de Kock dari negeri Belgia yang beragama Katholik Romawi.  
Adapun agama yang dianut oleh suku-bangsa Batak ketika itu tergolong kepercayaan asli, dan mengajarkan bahwa, segala apa yang ada di muka bumi, baik yang hidup maupun yang mati, me-miliki ruh-baik dan ruh-buruk., yang oleh ilmuan Barat dikenal dengan animisme. Dari animis-me, menurut ilmuan disebutkan, kepercayaan suku-bangsa Batak beralih ke dinamisme, yang mengajarkan bahwa segala apa yang ada, baik yang hidup maupun yang mati, mengandung ke-kuatan luar biasa oleh perbuatan dilakukan. Perbuatan dikatakan “suci” apabila baik sifatnya, lalu dinamakan: Manna. Adapun orang yang pandai Manna diberi gelar: Datu (Dukun), karena telah menguasai sejumlah ilmu ghaib yang dapat dipindahkan kepada orang lain, menyebabkan si penerima mudah disayangi oleh orang lain walau belum dikenal, memiliki badan kebal, pandai meramal nasib orang lain, menyimpan kesaktian tolak bala, dan lainnya.
Agama Hindu kemudian datang ke Nusantara dari anak benua India sebelum tarikh Masehi yang mengajarkan agama baru di Tanah-Air. Para pendeta agama Hindu kemudian mendirikan tempat peribadatan yang sekaligus menjadi tempat pengajaran dan penyebaran kepercayaan baru setra lainnya, seperti: kesaktian, mantra, ilmu ghaib, dan lainnya. Lalu menyusul lagi datang agama Budha, yang masuk ke Tanah Batak pada sekitar abad ke-11 Masehi. Agama akhir ini dibawa para pendeta Budha, yang awalnya datang semenanjung Malaya (kini Malaysia), lalu dari tempat akhir ini agama Budha aliran Vijrayana masuk ke Tanah Batak lewat Labuhan Bilik di muara su-ngai Barumun, di Kabupaten Labuhan Bilik. Mereka berlayar menelusuri sungai Barumun yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Para pendeta Budha aliran Vijrayana ini kemudian mendirikan kompleks biaro (candi), di desa Bahal, Portibi, Padang Bo-lak; kini lebih dikenal dengan: Bahal I, Bahal II, dan Bahal III. Kedatangan agama Budha aliran Vijrayana membuat kepercayaan terdahulu: animisme, dinamisme, dan Hindu, di Tanah Batak  hijrah ke pedalaman untuk digantikan dengan yang baru.
Pandangan Tiga Sekawan
Pada awalnya manusia mendiami muka bumi yang bundar bagai bola ini, berdiam di: pulau, ke-pulauan, dan benua. Para insan yang hidup di muka bumi lalu tergabung kedalam “kelompok hi-dup” yang dikenal dengan istilah: keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa. Komunitas manusia ini masih tercerai satu dari lainnya pada ketika itu, karena penduduk bumi masih belum seberapa dibandingkan luasnya permukaan bumi ini. Masing-masing komunitas manusia lalu bertetangga dengan “alam sekitar” yang menjadikan lingkungan hidup masing-masing. Ter-dapat lingkungan hidup di bumi berupa daerah tropis berhawa panas disekitar khatulis-tiwa. Lainnya dinamakan subtropis, mulai dari berhawa sejuk hingga dingin di belahan bumi bagian Utara dan belahan bumi bagian Selatan. Ada lagi alam sekitar di muka bumi berupa perairan, dimulai: paya atau rawa, tambak, sungai, danau, laut, hingga dengan sa-mudra.  Lainnya alam sekitar berupa dataran rendah sangat luas, yang dinamakan padang rumput, dimana bermacam hewan mencari makan. Dari alam sekitar disebutkan bela-kangan, lingkungan di muka bumi beralih ke dataran tinggi dilanjutkan daerah pegunungan hawa sejuk beragam ketinggian diatas permukaan laut. Masih terdapat alam sekitar lain di muka bumi yang disebut padang pasir berhawa panas yang gersang lagi tandus amat luas bersifat regional. Selain dari itu, ada lagi alam sekitar di muka bumi yang ditutupi salju amat luas, mulai yang bersifat musiman hingga dengan salju abadi. Yang disebut akhir ini terdapat pada tempat-tempat yang bertetangga dengan kutub Utara, dan tempat-tempat yang bertetangga dengan kutub Selatan dari planit ini.
Adapun “pemandangan” sehari-hari insan berdiam di muka bumi, di bagian belahan bumi ma-napun berdiam pada awal keberadaan di muka bumi: pertama ialah manusia yang tergabung ke-dalam komunitas masing-masing, diawali keluarga sendiri hingga masyarakat setempat, mulai dari komunitas kecil hingga dengan besar komunitas bilangan warganya; kedua: alam sekitar me-ngitari komunitas masing-masing, antara lain: padang rumput, hutan hingga rimba belantara; pe-rairan, dari: kolam, paya atau rawa, tambak, sungai, danau, laut, hingga dengan samudra. Ada la-gi alam sekitar: padang rumput, padang pasir, padang salju mulai dari musiman hingga salju aba-di; juga alam sekitar campuran dari apa yang telah disebutkan sebelumnya; ketiga: ialah  yang menampakkan diri di angkasa hingga ketinggian langit, dimulaii: arakan awan, bulan, dan mata-hari yang timbul tenggelam; bintang berekor (komet) melintas, gugusan bintang gemerla-pan, dan banyak lagi lainnya, mulai dari yang dapat terlihat mata hingga dengan yang tak-tampak. Yang disebut belakangan ini tidak mungkit dirinci satu persatu, namun semuanya de-ngan setia memperlihatkan diri di angkasa. Ketiga ragam “pemandangan” mengitari kehidupan insan di muka bumi, yakni: “manusia”, “alam sekitar”, dan “aneka ragam benda langit” dengan setia memperlihatkan diri di angkasa, dan tidak diragukan lagi mengirim pesan kepada insan ber-jiwa yang ada di muka bumi, dialamatkan kepada “akal-budi” masing-masing dimanapun berdiam diseputar planit biru ini, dari bujur Barat sampai dengan bujur Timur, demikian juga   dari lintang Utara hingga lintang Selatan. Ketiga ragam pemandangan ini telah pula menorehkan  pesan, kesan, rupa citra terekam kedalam: Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman), dengan “jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas) deraan   bervariasi diterima oleh: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, berbeda-beda di seantero planit yang bulat bagai bola, menerobos zaman bersekala milenium (waktu seribu tahun)  hingga dengan saat ini.
Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, beragam komunitas manusia berdiam di muka bumi silam, mulai: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, masih belum se-berapa jumlahnya, maklum warga bumi pada ketika itu masih sedikit jumlahnya. Pada saat Nabi Muhammad SAW menerima Surah Al-Alaq dalam Gua Hira di Jabal Nur (Bukit Cahaya), yang dibawa malaikat Jibril pada tanggal 6 Agustus Tahun 610 Masehi silam, manusia berdiam di mu-ka bumi diperkirakan seluruhnya baru berjumlah 200.000.000 orang.
Dengan bumi yang berbentuk bola dengan garis-tengah rata-rata: 12.740 km, dan diketahui orang ratusan tahun kemudian, ternyata luas permukaannya adalah: 510 juta km2. Sebagian besar per-mukaan bumi ini (70%) hanyalah air, dan hanya sebagian kecil (30%) merupakan daratan, yang kini dikenal dengan: pulau, kepulauan, dan benua. Kepadatan manusia berdiam di muku bumi ini  pada zaman Rasulullah silam, ialah: 1,3 orang per km2. Karena itu pada zaman sebelum kedata-ngan Rasulullah, jumlah manusia berdiam di muka bumi ini lebih sedikit lagi jumlahnya, dan ke-beradaan mereka pun terpencar, dan sangat berjauhan satu sama lain.
Kehidupan manusia di muka bumi ini, mulai peroranagan hingga bangsa, dipagari pula oleh ja-rak berjalan-kaki yang lama lagi amat melelahkan untuk bertemu dengan yang lain. Ini dise-babkan belum munculnya ketika itu “revolusi industri” di Eropa, karena itu belum lagi ada jalan-raya (prasarana) dan kendaraan (sarana) dijalankan “mesin pembakaran” dimana-mana diseluruh dunia; kini dikenal dengan istilah: “mesin-uap” yang mengkonsumsi batu-bara, “mesin pemba-karan dalam” yang mengkonsumsi bensin, “mesin diesel” mengkonsumsi “solar”, dan “mesin pesawat jet” yang mengkonsumsi avtur di dunia. Baru setelah “revolusi industri” tampil di Eropa silam, keempat jenis mesin ditemukan orang: pertama oleh James Watt (1736-1819) dari Scotland, Inggris; yang kedua oleh Etienne Lenoir (1736-1900) dari Belgia; yang ketiga oleh Rudolf Diesel (1858-1913) dari Jerman; dan yang keempat oleh dan Frank Whittle (1907-1996) dari Inggris, lahir dalam Abad ke-18, Abad ke-19, dan Abad ke- 20 silam; dan manusia pun lalu menciptakan: angkutan darat, angkutan laut, dan angkutan udara, di muka bumi yang dijalankan bermacam “mesin pembakaran” yang memudahkan umat dimana-mana diseluruh dunia ini dapat bepergian dengan: mudah, kapan saja, kemana saja, cepat sampai, dan nyaman, sebagaimana se-karang ini.
Peradaban atau tammadun umat yang hidup di muka bumi lalu hijrah dari: “serba berjalan kaki” atau “naik hewan peliharaan” dimana-mana diseluruh diseantero planit biru ini, menjadi perada-ban atau tammadun “naik kendaraan bermotor” darat, laut, dan udara, bahkan angkasa dimana-mana diseluruh dunia, yang belum pernah terbayangkan oleh orang-orang dari seluruh Abad yang mendahului.
Grafik dibawah ini memperlihatkan, bagaimana penduduk bumi tumbuh menelusuri waktu se-lama dua millenniun (ribuan tahun) yang telah dihasilkan Google, untuk diketahui umat beragam kepercayaan dan agama yang ada di muka bumi ini. Seperti yang terlihat dari gambar, sepanjang kurun waktu 1600 tahun yang mendahului warga bumi meningkat “perlahan”, akan tetapi setelah “revolusi industri” muncul di Eropa silam, dalam kurun waktu selanjutnya warga bumi meningkat “meledak”; kini bilangannya telah melampaui 7.000.000.000 orang, dengan kepa-datan penduduk rata-rata  muka bumi sudah berada diatas 46 orang per km2. 
Courtesy of Google
Pada sepanjang ratusan ribu tahun menjelang tampilnya “revolusi industri” di Eropa silam, o-rang dimana-mana di seluruh penjuru dunia bepergian ke tempat yang jauh jauh, baik sendirian maupun dalam kelompok harus berjalan kaki puluhan, ratusan, bahkan ribuan kilometer jauhnya. Medan dilalui di Nusantara termasuk yang harus berulang kali keluar masuk hutan sampai de-ngan rimba belantara, mengikuti jalan setapak antar kampung yang dilalui penduduk setempat. Muka bumi dilalui tidak semuanya datar, ada kalanya perlu menuruni lembah terjal menuruni te-bing untuk tiba di tepi anak-sungai atau sungai yang harus diseberangi, dan setelah sampai ke seberang, kembali harus mendaki tebing untuk sampai ke permukaan jalan datar. Perjalanan pun masih dilanjutkan dengan meniti galangan sawah, menerobos semak belukar, bertemu jalan ta-nah becek karena berair, bersua jalan berpasir penuh batuan yang menjadi tantangan selanjutnya. Tidak jarang orang atau rombongan yang bepergian harus berjalan kaki berhari lamanya disertai perlu menginap pada sejumlah kampung yang dilaluii. Perjalanan demikian jelas menguras tidak sedikit tenaga, tidak terkecuali banyaknya waktu yang tersita dihabiskan dalam perjalanan se-belum sampai ke kampung tujuan.
Manakala perjalanan disebutkan diatas ditempuh menggunakan kendaraan bermotor roda: dua, tiga, atau empat, diatas permukaan jalan-raya sebagaimana yang dijumpai sekarang ini pasca revolusi industri muncu di Eropa silam, maka waktu ditempuh pastilah lebih singkat, tidak pula akan meletihkan badan, karena ditolong kendaraan bermotor yang melaju diatas jalan-raya atau jalan-baja berteknologi maju yang telah berhasil dipelopori oleh James Watt, Etienne Lenoir, Ru-dolf Diesel, dan Frank Wittle, yang dikembangkan lebih lanjut oleh para penerus mereka sampai dengan saat ini.
Ompu Simulajadi
Ketiga jenis “pemandangan” dijumpai komunitas manusia berdiam di muka bumi dikemukakan diatas, mulai: individu atau perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa yang sudah menemani keseharian insan hidup dimana-mana diseputar planit biru ini: “manusia”, “a-lam sekitar”, dan “beragam benda langit”, telah melahirkan: “sekawan pemandangan” bagi se-tiap orang yang berdiam di muka bumi. Ketiganya membentuk “pemandangan yang tiga”, atau “tiga-serangkai pemandangan”, atau “tiga-sekawan pemandangan”, yang lambat laun berkem-bang menjadi “tiga-sekawan pandangan” pengetuk-penggerak “akal-budi” (brain-heart) insani yang dibutuhkan untuk “berfikir” dan “bekerjasama” menjalani kehidupan Alam Fana yang se-mentara di muka bumi ini. Ketiganya telah pula membidani lahirnya pengetahuan, yang dalam perjalanan waktu menciptakan “ilmu pengetahuan” (science) bermacam “disiplin” tentang: ma-nusia, seperti: kepercayaaan, mitologi, agama, sosiologi, dan lainnya; juga tentang alam sekitar yang mengelilingi, seperti: fisika, kimia, mekanika arsitektur, metallurgi, dan lain sebagainya; ju-ga astronomi, astrofisika, dan lainnya yang berhubungan dengan benda-benda-langit yang me-nampakkan diri di angkasa hingga ketinggian langit. Hal ini dimungkinkan oleh kesetiaan keti-ganya menemani insan mulai siang hingga malam: berhari, berminggu, berbulan, bertahun, ber-abad, bermillenium, dan ratusan millenium. Ketiganya telah pula menimbulkan dalam benak manusia “Tiga Sekawan Pandangan”, disingkat TSP, penggerak “akal” dan pengetuk “budi” in-sani, atau penggerak-ketuk “akal-budi” manusia, yang tidak henti-hentinya berkegiatan. Dengan menggugah kecerdasan berfikir (motivasi), lalu menuangkan gagasan (inspirasi) kedalam akal (otak), mulai: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, menyebabkan manu-sia lalu “berbuat atau melakukan sesuatu” (do something) di muka bumi ini. Lewat aktivitas “akal-budi” (brain-heart) “karunia Ilahi” bersemayam dalam “hati-sanubari insani”: “akal” (bra-in) bertugas memecahkan “kemuskilan masalah” betapapun peliknya, lalu “budi” (heart) meng-himpun manusia guna memperkasakan akal lewat kebersamaan, diawali: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, menyebabkan akal manusia menjadi lebih mampu me-mecahkan persoalan sepelik apapun yang ada di muka bumi ini. Dengan demikian, aneka ragam permasalahan yang dihadapi umat sehari-hari di Alam Fana muka bumi ini, dari kecil lagi se-derhana hingga dengan yang besar dan rumit serta muskil tampil dalam perjalanan waktu dapat dipecahkan umat dalam kebersamaan hidup.
Dalam keterpisahan hidup di muka bumi silan, dipagari lagi oleh jarak tempuh berjalan kaki yang lama lagi melelahkan, insan yang dibekali: Tondi (Batak), Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman). Manusia berakal-budi, dan Jasmani, kemudian sadar akan kea-daan masing-masing, dan melakukan: 1. diskusi antara sesama warga tiap komunitas: keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa; 2. melakukan komunikasi dengan alam sekitar yang me-ngelilingi: padang rumput, rimba sampai hutan belantara; paya atau rawa, sungai, laut, dan sa-mudra; juga padang pasir, gurun, padang salju mulai dari musiman hingga salju abadi; 3. Mende-ngarkan bisikan semilir angin, amukan badai, hempasan gelombang, sambaran kilat antara awan termasuk yang menghujan ke bumi disertai gemuruh amukan petir, guncangan gempa bumi; dan masih banyak lagi gejala alam yang perlu diketahui insan berakal-budi, mulai dari mereka yang hidup sebatang kara hingga dengan yang tergabung kedalam komunitas; 4. juga tidak lupa menjalin dialog dengan segala apa yang menampakkan diri jauh di angkasa sampai ketinggian langit, dimulaii: arakan awan yang berwarna warni, matahari dan bulan imbul tenggelam, bin-tang gemerlapan berserakan di langit malam, dan masih banyak lagi lainnya mulai yang rajin hadir setiap hari hingga dengan yang hanya muncul berkala. 
Seandainya manusia dapat berdiam juga di permukaan setiap planit yang terdapat pada “sistim matahari” (solar system) selain bumi, tampaknya tiga-sekawan pengerak-ketuk akal-budi insani disebutkan diatas tidak akan berubah, dan dapat dimengerti perbedaan timbul hanya terhadap “alam sekitar” setiap planit yang didiami. Walaupun demikian perlu diketahui, bahwa sejumlah planit yang terdapat dalam “sistim matahari” ukurannya lebih besar dari bumi. Ini berarti “mas-sa” planit-planit ini lebih besar dari bumi, sehingga medan gravitasi yang ada dipermukaan pla-nit-planit lebih besar dari bumi membuat “manusia” yang berada dipermukaannya tidak mampu berdiri. Bulan yang telah berulangkali disinggahi para astronaut Apollo dari Amerika Serikat, ternyata mempunyai medan grafitasi lebih kecil dari bumi. Adapun garis tengah bulan ialah 3.474 km, hampir 1/4 dari garis tengah bumi, tepatnya 27,3% garis tengah bumi. Bulan memiliki medan gravitasi 1/6 dari medan gravitasi bumi, tepatnya 16,54 %, sehingga orang berada diper-mukaannya mampu melompat enam kali lebih tinggi dari yang dapat dilakukannya di muka bu-mi.
Demikianlah pula halnya, apabila manusia dapat berdiam di permukaan tiap planit anggota sebuah “sistim bintang” tergabung kedalam Galaksi mana saja yang terdapat dalam Alam Se-mesta yang maha besar ini. Tiga-sekawan penggerak-ketuk akal-budi insan yang telah diutara-kan diatas juga tidak akan banyak berbeda. Perbedaan selalu terdapat pada alam sekitar masing-masing planit yang didiami oleh manusia. Dengan demikian boleh disimpulkan disini, bahwa “tiga-sekawan” penggerak-ketuk akal-budi insan yang telah diterangkan diatas bersifat “alam- semesta” (universal), artinya pasti akan dijumpai orang dimana saja ia berdiam di seantero Alam Semesta (Al-Kaun) Maha Dahsyat lagi Sangat Luas ini, yang hingga masih teramat sedikit yang sudah diketahui orang.  
Adalah seorang manusia bernama Ompu Simulajadi di Tanah Batak silam, yang mengung-kapkan untuk pertama kalinya di kalangan suku-bangsa Batak, bahwa Alam Semesta yang Maha Dah-syat lagi Sangat Luas mengitari kehidupan ini, tersusun dari 3 (tiga) Banua, atau Alam, ma-sing-masing dinamakan: Banua-Ginjang (Alam Atas), Banua-Tonga (Alam Tengah), dan Banu-a-Toru (Alam Bawah); yang menjadikan: Tolu Banua Sadongan, disingkat TBA (Tiga Seka-wan Alam, disingkat TSA). Segala bentuk kehidupan yang ada di Banua-Tonga, berasal di Ba-nua-Ginjang berupa: Tondi (Batak), Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) lalu oleh sebuah “ketentuan” (takdir) turun ke Banua-Tonga, dan skemudian menuju ke di Banua Toru. Kata “simulajadi” memang bahasa Batak, akan tetapi bu-kan asli Batak, karena datang dari “semulajadi” yang telah dikenal orang sebelumnya di seme-nanjung Tanah Malaya. Kata inipun bukan asli bahasa Melayu, tetapi berasal dari anak benua India, yang artinya: “asal-muasal”. Tampaknya “Tiga Sekawan Pemandangan (TSP)” yang dike-mukakan diatas, telah menjadi penyebab lahirnya di Tanah Batak gagasan Tolu Banua Sadongan (TBS) diperkenalkan oleh “seorang Batak” bernama Ompu Simulajadi.
Akan halnya Ompu Simulajadi ini pun masih merupakan bahan perdebatan. Benarkah ia seorang Batak yang pertama ada di Tanah Batak silam? Boleh ia, tetapi dapat juga juga tidak. Mungkin saja Ompu Simulajadi itu adalah “simbol budaya” hasil kreativitas suku-bangsa Batak tentang awal atau asal-muasal manusia, temuan para cendekiawan Batak silam, tampil dari sebuah ge-nerasi, mungkin juga dari sejumlah generasi, kemudian diberi nama Ompu Simulajadi. Memang tidak mudah melacak tentang apa sebenarnya yang terjadi selama ini ditengah kelang-kaan ca-tatan yang diwariskan, akan tetapi apapun yang sudah diketahui hingga dengan saat ini, telah me-rupakan “warisan kecerdasan akal-budi” para leluhur suku-Bangsa Batak yang kemudian mem-bidani lahirlnya di muka bumi ini “mithologi Batak”.
Untuk menghadirkan makhluk di Banua Tonga, Tondi yang turun dari Banua Ginjang perlu ter-lebih dahulu menjemput Bahan atau Materi dari Banua Tonga, sehingga dapat terlihat di muka bumi sebagaimana halnya benda-benda lain, hanya saja yang dijemput Tondi itu berjiwa, atau bernyawa. Pada manusia ini terjadi pada saat sepasang suami istri sedang subur dihampiri Tondi turun dari Banua Ginjang membuat yang disebut terahir mengandung. Janin dikandung me-rupakan perwujudan Tondi yang sedang menjemput Bahan atau Materi dari muka bumi lewat se-orang ibu, yang sedang memperlihatkan keberadaan. Janin lalu berkembang menjadi bayi, dan yang akhir ini lahir kedunia sebagai anak, kemudian besar menjadi orang dewasa. Dengan cara ini warga bumi bertambah seorang demi seorang guna memperbesar bilangan manusia berdiam di muka bumi ini. Adapun yang menjadi tugas setiap mahluk tidak terkecuali manusia berada di Banua Tonga sesudah memperlihatkan diri masing-masing, ialah membuat “persiapan”, baik yang untuk ditinggalkan di Banua-Tonga atau muka bumi ini, maupun yang akan dibawa meng-hadap Debata yang bersemayam di Banua Ginjang.
Kemudian setelah melakukan “persiapan” di Banua-Tonga, semua mahluk baik sendiri-sendiri maupun berkelompok, melanjutkan perjalanan: 1. Tondi kembali ke Banua Ginjang, sedangkan 2. jasmani menuju ke Banua-Toru. Dalam perjalanan akhir ini, semua makhluk harus megem-balikan lagi Bahan atau Materi yang dipinjam dari Banua-Tonga, sebelumnya diperlukan untuk memperlihatkan keberadaan di muka bumi atau Alam Fana. Dengan demikian lahir kepercayaan dalam masyarakat Batak terkemas dalam bentuk kisah yang disebut dengan istilah mitos (myth). Dan yang akhir ini lalu menjelma menjadi “pandangan hidup suku-bangsa Batak” yang kemudi-an dinamakan: “Mitology Batak”, atau juga: “Batakologi”. .
Banua Ginjang adalah sebuah tempat yang indah dan menawan bagai Surga yang terang ben-derang jauh di ketinggian angkasa, selepas arakan awan putih merona jauh diatas, berlatar bela-kang hamparan biru langit. Adapun Banua-Tonga ialah hamparan muka bumi yang terbentang  bergunung dan berlembah, dan diatas mana: manusia, hewan, dan tumbuhan, tersebar untuk keberadaan serentang hayat bersifat sementara. Sedangkan Banua-Toru ialah sebuah tempat yang kelam legam berada di dalam perut bumi, kemana segala yang bernyawa akan mengembalikan raga, setelah menjalani kehidupan berdiam di Banua-Tonga membuat persiapan.
Pada awalnya suku-bangsa Batak mengira, bahwa bumi ini merupakan sebuah hamparan datar yang amat luas, sehingga dalam fikiran mereka ketiga Banua yang dikemukakan oleh Ompu Si-mulajadi seyogianya tersusun dari atas ke bawah beraturan sebagaiman sebuah kue talam rak-sasa lapis tiga tergolek di atas talam yang sangat besar. Begitulah awalnya penerimaan suku-bangsa Batak akan Alam Semesta dahsyat ini tergores kedalam fikiran dan ingatan mereka di Bona Bulu silam, dan pemahaman ini telah pula menjadi kepercayaan masyarakat ketika itu, karena semuanya percaya bahwa di Banua Ginjang bersemayam Debata yang mengatur dan me-ngawasi segala apa yang ada di Alam Semesta ini, termasuk di Banua Tonga atau muka bumi di-mana mereka berdiam.
Orang Batak lalu dituntut menjalani kehidupan dunia sebagaimana diajarkan oleh Ompu Simula-jadi, dan dalam perkembangannya melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan adat Batak. Yang disebut akhir ini lalu berkembang menjadi himpunan dari segala kebijakan hidup  berma-syarakat di Tanah Batak, dalam memelihara kerukuan, mengendalikan perbedaan, untuk kese-jahteraan hidup bersama. Tujuannya agar setiap warga menjadi horas (selamat) tondi dan badan, berhasil membuat persiapan selama berdiam di Banua Tonga yang sementara; agar sinta-sinta (segala keinginan) sepanjang hidup: hamoraon (keteladanan), hagabeon (kekayaan dan keturunan), dan hasangapon (martabat) dipanjatkan kepada Debata dapat terkabul. Dan apa yang dituntut dari masyarakat Batak tidak lain dari kesetiaan mengamalkan ajaran adat Batak selama berada di Banua Tonga sebelum raga meneruskan perjalanan ke Banua-Toru.
Dari STA, lahirlah “pandangan hidup” atau falsafah hidup suku-bangsa Batak "serba-tiga” atau trilogi. Ini juga dapat dikatakan sebagai weltanschauung atau idologi suku-bangsa Batak. Keu-tamaan serba-tiga ini selanjutnya dikembangkan untuk kegunaan apa saja dijumpai dalam ke-hidupan Banua Tonga atau muka bumi yang sementara ini. Sudut pandang serbatiga lalu di-jabarkan secara konsisten kedalam  beragam sektor kehidupan tidak terkecuali kepada ma-syarakat Batak itu sendiri, melahirkan: “paket lengkap sistim kemasyarakatan” (complete packet of social system), yang dibutuhkan untuk menangani beragam permasalahan hidup yang muncul dalam komunitas suku-bangsa Batak di Bona Bulu silam; lalu mengabadikannya kedalam: tiga warna sekwan, yakni: putih untuk Banua-Ginjang yang serba terang benderang dimana berse-mayam Debata; merah untuk Banua-Tonga dimana mengalir dalam tubuh kehidupan bernyawa bersifat sementara, dan hitam untuk Banua-Toru serba kelam legam tidak yang samasekali tidak bercahaya, kemana segala yang bernyawa mengembalikan tubuh atau jasmani pinjaman kembali ke Banua Tonga.
Ketiga ragam warna: putih, merah, dan hitam, lalu menjadikan Sekawan Warna Batak, disingkat SWB, yang kemudian dijumpai dalam berbagai hasil kerajian suku-bangsa Batak, seperti: abit Batak (kain Batak), benda-benda kreasi budaya Batak: hiasan, umbul-umbul, dan lain sebagai-nya. Kawanan warna Batak ini dapat ditemukan juga pada arsitektur Batak, seperti bangunan dan Rumah Adat, antara lain: Bagas Godang (tempat kediaman Raja Panusunan Bulung, Raja Pa-musuk), Sopo Godang (Balai Pertemuan), Bale (Makam), dan lainnya; juga bermacam: ukiran batu, kayu, dan aneka hiasan guna memeriahkan horja (perhelatan). Bendera, atau lambang, su-ku-bangsa Batak juga SWB, yaitu tiga warna sekawan (triple-colour) dari atas kebawah berturut-turut: putih, merah, dan hitam.
Bendera Batak
Tanah Batak
SWB lalu menjadi kawanan warna dasar penghias barang atau benda hasil kerajinan suku-bangsa Batak di Bona Bulu, seperti: ulos (kain Batak), hasil kerajinan tidak terkecuali bangunan dan lain sebagainya. Tujuannya tidak lain untuk selalu mengingatkan orang Batak akan adanya tiga Ba-nua atau Alam yang mengitari makhluk hidup di Banua Tonga, mengelilingi: manusia, hewan, dan tumbuhan dalam "perjalanan agung" dari Banua Ginjang menuju Banua-Toru, dengan sing-gah terlebih dahulu di Banua-Tonga guna membuat persiapan yang diperlukan, sebelum melan-jutkan perjalanan ke Banua-Toru. Sejumlah pelaksanaan trilogi Batak ini dapat diketengahkan sebagaimana yang diterangkan dibawah ini.
Tungku
SWB atau Trilogi Batak, kemudian menjelma menjadi tataring (tempat bertanak) yang lalu men-jadi pusat kehidupan setelah manusia mengenal api. Makanan adalah hangoluan (kehidupan) kata mereka, dan untuk menopang periuk tanah (tempat hangoluan) berada di atas bara api menyala, dibutuhkan tiga dalihan (tungku). Dua dalihan tidak cukup, karena periuk diletakkan diatasnya akan terjungkal, sedangkan empat dalihan terlalu banyak, bilangan yang diperlukan tiga buah. Inilah yang dinamakan: Trilogi Tataring Batak, disingkat TTB.
Masyarakat
Dari TTB, Trilogi Batak di Bona Bulu selanjutnya merambah kedalam hidup bermasyarakat dalam bersosialisasi lebih jauh. Sebagaimana dengan tataring, memerlukan tiga dalihan untuk menyangga periuk diatas bara api, maka orang Batak yang hidup dalam sebuah komunitas, menurut Ompu Simulajadi, memerlukan juga tiga dalihan untuk memelihara kebersamaan hidup masyarakat Batak. Perlu terlebih dahulu terdapat: kahanggi di tengah, yakni kelompok persau-daraan marga sama datang dari seorang Ompu parsadaan (leluhur pemersatu) yang bertindak sebagai dalihan atau tungku pertama. Agar supaya kahanggi dalam perjalanan waktu dapat bertambah bilangannya, perlu ada kelompok persaudaraan marga-marga lain yang mendatangkan para ina (ibu) kepada kahanggi untuk meneruskan generasi. Kelompok persaudaraan marga-mar-ga akhir ini menjadilah dalihan atau tungku kedua, yang dalam masyarakat Batak dinamakan: Mora, atau Hulahula. Akhirnya terdapat lagi kelompok persaudaraan lain, juga datang dari berbagai macam marga, kemana kahanggi mengutus anak-anak gadis mereka untuk menjadi ina di kampung mereka, melahirkan dalihan ketiga, yang dalam masyarakat Batak dinamakan: A-nakboru.
Dengan demikian lahirlah dalam masyarakat Batak tiga dalihan (tungku) yang diperlukan untuk menyangga kehidupan bermasyarakat dalam komunitas Batak, yakni: Kahangi, Mora, dan Anak-boru melahirkan: Sekawan Masyarakat Batak, disingkat SMB. Yang akhir ini membentuk ling-kungan hidup keseharian orang Batak di Bona Bulu, selama berdiam di Banua-Tonga menga-malkan ajaran Ompu Simulajadi. Istilah lain yang kerap digunakan ialah: Trilogi Masyarakat Batak, disingkat TMB, atau Trilogi Sosial Batak, disingkat TSB. Dalam kalangan masyarakat Batak di Bona Bulu maupun perantauan SMB, atau TMB, atau TSB, lebih dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu, disingkat DNT, atau Tungku Yang Tiga, disingkat TYT. Dan yang disebut akhir ini dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama: “keluarga besar” masyarakat Batak (the big family of Batak people). Dan DNT lalu menjelma menjadi unsur pengikat kehidupan masyarakat Batak dari Bona Bulu silam hingga ke tanah perantauan. Tidak hanya sampai disitu, tetapi sekaligus menjadi “majelis masyarakat Batak” guna memecahkan segala macam persoalan yang muncul secara kekeluargaan dan demokratis.
Masyarakat Batak mengembangkan garis keturunan patrilenial (garis kebapakan) dalam kekera-batan semarga bernama kahanggi, sebaliknya masyarakat Minangkabau menerapkan garis ketu-runan metrilenial (garis keibuan) dalam kelompok semarga. Dalam sistim patrilenial di Tanah Batak, ayah mendapat sebutan: “suhutsihabolonan” (kepala keluarga), sekaligus menjadi pemim-pin suhut (keluarga batih), dan mewariskan “nama marga” kepada keturunannya (anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan). Kahanggi adalah kumpulan suhut bermarga sama datang dari Ompu Parsadaan (Kakek Pemersatu) sama berdiam di sebuah Luhat, atau sebuah kampung.  Karena semuanya bermarga sama, komunitas kahanggi dinamakan juga kumpulan dongan sabu-tuha (teman sekandung), meski datang dari Bapa bermarga Harahap dengan Ibu dari beragam marga. Yang menjadi ukuran persaudaraan kahanggi, atau himpunan suhut, ialah persaudaraan keluarga datang dari Ayah yang sama marganya, meskipun dilahirkan oleh Ibu yang berbeda-beda marganya. Bukankah para orang tua laki-laki mereka, pada tingkat Kakek Pemersatu silam, masih dapat dikenali bermarga sama.
Meski masyarakat Batak memanfaatkan “sistim patrilenial” untuk kekerabatan semarga atau ka-hanggi, tetapi “sistim matrilenial” juga mereka terapkan, yakni terhadap kelompok masyarakat Batak bermarga lainnya. Kepada marga-marga yang mendatangkan ibu terhadap kahanggi, orang Batak menamakan: mora atau hula-hula, karena marga akhir ini mendatangkan keturunan lewat ibu yang memperbesar bilangan mereka. Mora adalah mata-air kehidupan untuk kahanggi, itulah pula sebabnya mengapa mora yang sudah mendatangkan ibu bergenerasi dinamakan "matahari naso gakgahon” (matahri yang tidak tertatap), karena akan sangat menyilaukan mata orang yang berani memandangnya. Mora atau hula-hula juga mendatangkan habisukan (kecerdikan) kepada kahanggi, itulah pula sebabnya mengapa mora atau hula-hula pantas disambut dengan sikap hor-mat yang disebut: “hormat mar mora” (hormat bermora). Sebaliknya mora atau hula-hula mem-punyai kewajiban moral besar membimbing kahanggi yang menjadi anakborunya dengan apa yang dinamakan: “elek ber anakboru” (pandai mengambil hati anakboru). Apa yang telah diuta-rakan diatas merupakan bagian dari membuat persiapan yang harus dilakukan untuk ditinggalkan di Banua-Tonga dalam melanjutkan perjalanan ke Banua-Toru nanti.
Kepada berbagai marga Batak yang mendapat ibu dari kahanggi dalam masyarakat Batak dina-makan: anakboru, karena marga-marga akhir ini akan manjadi penolong setia pada kahanggi. Anakboru dinamakan orang juga: “na gogo manjujung” (yang kuat menjujung), “sitamba na hu-rang si horus na lobi” (si penambah yang kekurangan dan si pengerus kelebihan) dalam lingku-ngan kahanggi, yang telah menjadi mora mereka. Dengan memanfaatkan gabungan sistim patri-lenial dalam kahanggi dengan sistim materilenial antara berbagai marga, komunitas suku-bangsa Batak di Bona Bulu silam, telah berhasil mengembangkan “kekerabatan keluarga besar” terdiri dari: kahanggi (kelompok persaudaraan yang semarga), mora (kelompok persaudaraan berma-cam marga yang mendatangkan ibu, atau pemberi ibu), dan anakboru (kelompok persaudaraan bermacam marga yang memperoleh ibu, atau  penerima ibu), dimulai dari dari kampung halaman di Tapanuli silam, lalu meluas ke perantauan. Kumpulan: 1. marga kahanggi, dengan, 2. marga-marga pemberi ibu, dan 3. marga-marga penerima ibu dalam masyarakat Batak dinamakan: "Da-lihan Na Tolu", atau "Tungku Yang Tiga". Ketiganya dalam bahasa Idonesia dikenal dengan  na-ma keunikan keluarga besar masyarakat Batak. 
Dengan SMB datang dari penjabaran ajaran Ompu Simulajadi, suku-bangsa Batak di Bona Bulu berhasil membina kerukunan hidup bermacam marga suku-bangsa Batak. Tujuannya untuk kese-jahteraan bersama bersemayam di Banua Tonga serentang hayat di Tanah Batak, agar berjalan baik sebagaimana yang diajarkan oleh Ompu Simulajadi. Dengan kerjasama demikian, mora mendatangkan ibu kepada kahanggi, sehingga bilangan yang akhir ini bertambah dalam perjala-nan waktu di Bona Bulu; demikian juga kahanggi mendatangkan ibu kepada anakboru untuk juga menambah bilangan mereka. Difihak yang lain, anakboru menjadi penolong setia kepada mora mereka melakukan apa saja yang dituntut mora dari mereka, baik yang berwujud siriaon (kebahagiaan) demikian juga siluluton (kedukaan). Mora juga perlu setiap saat bersedia  mem-beri bimbingan dan kebijakan kepada anakboru menjalani kehidupan di Banua Tonga yang se-rentang hayat. Dengan demikian SMB menjadikan kehidupan komunitas suku-bangsa Batak di Banua Tonga terisi dengan penuh kekerabatan, keakraban, dan kerukunan, jauh dari berbagai macam keterasingan.
Perkawinan
SMB juga telah mengatur perkawinan keluar marga, atau eksogami, yang berlaku dalam ma-syarakat Batak di Bona Bulu. Nauli bujing (anak gadis) dari mora hanya boleh dipaebat (dini-kahkan) kepada naposo bulung (anak laki-laki) kahanggi, demikian juga nauli bujing kahanggi hanya boleh dipaebat dengan naposo bulung anakboru; akan tetapi tidak untuk yang sebaliknya. Inilah yang dinamakan adat perkawinan yang tidak-simetris (asimetris). Hal ini dilakukan untuk menghindarkan nauli bujing anakboru dipaebat dengan naposo bulung kahanggi, demikian juga nauli bujing kahanggi dipaebat dengan naposo bulung mora, karena yang demikian akan menye-babkan rompak tutur (rusaknya pertuturan), dan akan menyalahi adat hormat kepada mora dan e-lek beranakboru yang telah ditetapkan dalam bertutur.   
Tutur ialah aturan tegursapa yang telah ditentukan Adat Batak dalam DNT, yakni kaidah tegur-sapa antara mereka yang berbeda generasi, yakni oleh mereka yang masih muda terhadap mereka yang lebih tua, begitu juga yang sebaliknya yang bersifat vertikal. Lainnya, kaidah tegursapa antara mereka yang masih segenerasi, tetapi berlainan kedudukan dalam Adat Batak, seperti: ka-hanggi, anakboru, mora yang bersifat horizontal, demikian juga arah tegursapa. Tutur telah men-jadi alat “hapantunan” (bersopan-santum) pergaulan hidup dalam masyarakat Batak, terlebih lagi dalam pergaulan sehari-hari lingkungan DNT yang amat dihormati, dan sangat diperhatikan pe-laksanaannya dalam hidup bermasyarakat. Kesalahan menyebutkan tutur kepada seseorang dalam kehidupan masyarakat Adat Batak yang masih kuat dari Bona Bulu hingga perantauan,  berakibat mendapat koreksi langsung di tempat, lengkap dengan penjelasan tutur (silsilah kelu-arga) yang menerangkan mengapa harus demikian.
Selain oleh alasan rusak tutur dikemukakan di atas, adat “perkawinan tidak simetris” (non-sym-metrical marriage), juga mempengaruhi peran dimainkan unsur-unsur Dalihan Na Tolu, yakni: Kahanggi, Mora, dan Anakboru. Dalam melaksanakan perhelatan Adat Batak, baik siriaon (kebahagiaan) maupun siluluton (kedukaan) fihak Kahanggi, Kahanggi akan dibantu oleh Anak-borunya dengan “tenaga kerja”, sedangkan “Moranya” hanya akan menyumbangkan “buah fiki-ran yang diperlukan”, agar acara Adat Batak berlangsung dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Naposo bulung suatu marga, juga dinamakan “Sisuan Bulu” (Sipenanam Bambu), adalah pemuda pembela kampung halaman ialah andalan kahanggi dan anggota keluarga lainnya di Bona Bulu silam. Karena itu ia perlu didampingi oleh nauli bujing yang merupakan rongkap ni tondi (soul mate) baginya dan bertindak menjadi “Sisuan Pandan” (Sipenanam Pandan) di ha-laman kampung kebanggaan itu. Perlu diketahui, Adat Batak melarang naposo bulung sesuatu menikahi nauli bujing dari marga yang sama, yang dikenal dengan perkawinan semarga (endo-gami). Hal ini disebabkan orang-orang yang masih sermarga dalam pandangan suku-bangsa Batak masih bersaudara dan  tergolong masih seayah dan seibu, dan karena iti akan menyebab-kan incest (perkawinan kakak-adik kandung) yang sangat terlarang dalam masyarakat Batak.
Diumpamakan tataring, perkawinan dua sejoli akhir ini, ibarat tungku dengan dua dalihan, periuk diletakkan diatasnya akan segera terjungkal. Dalam keidupan bermasyarakat, pasangan ini tidak lagi mempunyai mora, karena itu tidak dapat bergabung dalam DNT menghadapi perhelatan si-riaon dan siluluton. Dalam lingkungan keluarga besar, dua sejoli demikian tidak akan mendapat habisuhon na sian mora (kecerdikan yang berasal dari moranya), dan tidak juga dapat melaksanakan acara somba (hormat) kepada mora. Karena melakukan perkawinan semarga yang menyalahi Adat Batak, salah seorang dari mereka diwajibkan mengganti marganya lewat sebuah horja adat Batak yang dipimpin oleh seorang Datu (sesepuh Adat Batak), agar nama kedua sejoli dapat kembali dimuat kedalam tarombo (silsilah keluarga) masyarakat Batak.
Ranah Nilai
Dari SMB, Trilogi Batak kemudian merambah memasuki ranah nilai (value) dalam kehidupan keluarga besar masyarakat Batak. Mora dikatakan na mangalehen hangoluan (pemberi kehidu-pan) pada kahanggi karena mendatangkan ina (ibu). “Mora soksok” dikatakan kepada marga yang untuk pertama kalinya mendatangkan ina pada kahanggi. Keluarga-keluarga yang sudah mendatangkan ina lebih dari tiga generasi pada kahanggi mendapat gelar: Mataniari naso gak-gahon (Matahari yang tidak lagi tertatap). Mora i ma mual ni hangoluan (Mora adalah mata air kehidupan); Mora i ma na mangalehen habisuhon (Mora ialah yang mendatangkan kecerdikan). Itulah sebabnya mengapa turun perintah Adat Batak kepada kahanggi yang mengatakan agar selalu: “somba mar Mora” (hormat kepada Mora).
Kahanggi dikatakan dalammasyarakat Batak dongan sabutuha (teman sekandung), adalah lingku-ngan kekerabatan yang bermarga sama. Orang-orang yang bersaudara karena semarga, memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan tak seorangpun boleh mendapat lebih atau kurang dari la-innya. Kahanggi adalah lingkungan hidup semarga di Bona Bulu, dimana mereka hidup senasib dan sepenanggungan mempertahankan marga dan kampung halaman dari musuh darin musuh yang datang meyerang. Karena itu pula turun perintah Adat Batak yang mengatakan agar: ”ma-nat-manat markahamaranggi” (pandai-pandailah hidup dalam bersaudara).
Anakboru dikatakan: nagogo manjujung, na ringgas mangurupi Morana (yang kuat menjujung diatas kepala dan rajin membantu moranya). Anakboru dikatakan juga: sitamba na hurang, siho-rus na lobi (si penambah yang kurang dan si penguras yang lebih) dalam acara perhelatan Adat Batak, baik yang bersifat siriaon maupun siluluton dalam lingkungan kahanggi. Itulah pula ala-sannya mengapa turun perintah Adat Batak yang mengatakan agar: “elek mar anakboru” (pan-dai-pandailah mengambil hati anakboru) agar tenaga mereka selalu dapat dimanfaatkan. Dengan demikian: Somba mar Mora, Manat mar Kahanggi, dan Elek mar Anakboru menjadi Trilogi Nilai Batak Batak, disingkat TNB kehidupan masyarakat yang bermanfaat untuk membina ke-kerabatan suku-bangsa Batak dalam DNT (TYT), agar kebersamaan yang harmonis senantiasa terjaga, mulai dari Bona Bulu hingga tanah  perantauan, selama berdiam di Banua-Tonga.
Karena kehidupan di Banua-Tonga atau Alam Kedua bersifat sementara, yakni hanya serentang hayat, maka untuk menjaga kerukunan hidup komunitas suku-bangsa Batak di Bona Bulu, Adat Batak lalu menurunkan perintah agar: “inte disiriaon, tangi disiluluton“ (menanti akan khabar bahagia, dan menyimak pada khabar duka). Selain pesan untuk masyarakat DNT dikemukakan diatas, msih ada lagi perintah Adat Batak lainnya untuk perorangan (individu) yang memerlukan perhatian masyarakat di Bona Bulu ketika itu, tua maupun muda, ialah apa yang dinamakan de-ngan istilah: hamoraon, hagabeon dan hasangapon.
Mora artinya teladan, sehingga hamoraon bermakna keteladanan yang mencakup: keakraban, ta-at hukum, berpandangan maju, penuntut ilmu dan pengetahuan, penyayang sekaligus pelindung, pandai menengahi perbedaan guna kerukunan, beriman, dan lain sebagainya; bersarang dalam Tondi (jiwa/semangat/kharisma), lalu menggerakkan Roha (akal/fikiran/budi), dan menggerak-kan Pamatang (Jasmani) seorang insan untuk berbuat, atau melakukan sesuatu. Inilah yang dina-makan: harta batin (the soul wealth) yang dimilik seseorang yang bergelar: “halak namora” (manusia teladan). Gabe artinya kaya, sehingga hagabeon bermakna kekayaan yang dimiliki seseorang meliputi: keturunan, rumah, harta benda lainnya, seperti: sawah ladang, tabungan bank dan lain sebagainya yang ada di dunia ini yang dikuasai oleh seseorang. Inilah yang dinamakan harta lahir (the material wealth) dimiliki orang  bergelar: “halak nagabe” (orang kaya). Adapun hasangapon berasal dari kata “sangap” artinya martabat (dignity), yang berhasil dicapai sese-orang menjalani kehidupan Banua-Tonga lewat keturunan dengan gelar bangsawan atau lainnya. Martabat dapat diperoleh lewat: 1. harta batin, 2. harta lahir, dan 3. keturunan (Raja, Presiden, bangsawan, orang kenamaan, atau yang lainnya).
Tujuan Hidup
Hamoraon, hagabeon, dan hasangapon merupakan 3 (tiga) jalan jalan bagi manusia untuk meraih martabat hidup berdiam berdiam di Banua-Tonga. Dengan hamoraon orang meraih martabat memanfaatkan harta batin yang dimilikinya. Dengan hagabeon orang dapat meraih martabat dengan harta lahir yang dikuasainya. Akan tetapi, dengan hasangapon diperoleh lewat keturunan, seperti: putra atau putri Raja, kaum bangsawan, atau orang tersohor lainnya, orang yang bersang-kutan masih perlu membuktikannya, karena apbila tidak kehormatan yang disandang akan hilang tergerus dengan sendirinya oleh perjalanan waktu. Ini disebabkan, karena sesuatu yang bersifat martabat tidak mungkin dicapai tanpa perjuangan. Martabat (dignity) jenis ini ibarat kredit (utang) yang harus dilunasi untuk mendapat pengakuan orang banyak.
Manakala dengan “harta batin” orang mampu membina kehidupan harmonis yang mendatang-kan damai dan sejahtera kepada sesuatu komunitas hidup, maka orang itu akan mendapat martabat hidup di Banua-Tonga. Demikian juga apabila dengan “harta lahir” orang mudah ber-bagi diantara sesama untuk mengatasi penderitaan pasca sebuah bencana alam misalnya, orang itu juga akan meraih martabat hidup di Banua Tonga. Akan tetapi untuk kaum bangsawan atau setaranya, mendapat martabat lewat keturunan perlu dibuktikan dahulu baru dapat diterima ma-syarakat. Itulah sebabnya mengapa seorang pangeran, atau putri kerajaan, perlu menunjukkan ke-cakapan menegakkan keadilan hidup bermasyarakat sebuah komunitas misalnya, untuk memper-tahankan kelayakan martabat yang disandang. Selain martabat yang bersifat positif dikemu-ka-kan diatas, ada juga di dunia ini martabat negatif yang menjerumuskan orang ke lembah yang hina dina lagi menyengsarakan hidupnya di Banua Tonga, manakala hamoraon dimiliki, haga-beon dikuasai, dan hasangapon disandang tidak dipersembahkan kepada kemaslahatan hidup o-rang banyak. 
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, “pamatang” (tubuh insan) hanya sebuah pinjaman sementara dari Banua-Tonga kepada setiap manusia. Begitu juga: hamoraon, hagabeon, dan hasangapon yang menyusul kemudian. Ketika tondi kembali ke Banua Ginjang dan pamatang meneruskan perjalanan ke Banua-Toru, segala macam sinamot (harta): hamoraon, hagabeon, dan hasangapon, akan tinggal semua terkecuali hasangapon. Hanya hasangapon yang menemani seseorang (tondi) meneruskan perjalanan menuju Banua-Ginjang, dan hasangapon pula yang layak ditinggalkan orang di Banua-Tonga, atau Alam Fana, atau muka bumi ini.
Dengan demikian hamoraon, hagabeon dan hasangaon menjadi Trilogi Tujuan Hidup,  disingkat TTH, yang diwariskan oleh Ompu Simulajadi di Bona Bulu silam. TTH bermaksud menerangi akal-budi perorangan (individu) suku-bangsa Batak yang bergiat menemukan celah dalam belan-tara kehidupan Banua-Tonga, menyongsong kedatangan terangnya sinar matahari yang menerobos hati nurani, dalam menentukan pilihan yang sesuai untuk diri selama berdiam di Banua-Tonga.
Silsilah
Dari TTH, Trilogi Batak lalu merambah ke penulisan catatan tentang keragaman suku bangsa Batak dalam membangun jaringan kekerabatan Dalihan Na Tolu yang memelihara kebersamaan hidup dalam komunitas. Salah satu sarana yang diperlukan untuk menghimpun semuanya, ialah menuliskan nama mereka kedalam sebuah tarombo (silsilah) keluarga besar suku-bangsa Batak. Tarombo berawal dari ikatan kekerabatan tersimpan dalam kenangan sesuatu komunitas suku-bangsa Batak yang beralih dari “budaya lisan” yang dituturkan dari satu generasi ke generasi be-rikutnya menjadi “budaya tulis”, bagaimanapun cara menyusunnya, akan segera memperlihatkan marga “Kahanggi” mengerjakannya. Lalu akan tampak nama-nama marga, kemana para anak ga-dis Kahanggi menikah untuk menjadi Ina (Ibu) ke berbagai kampung di Bona-Bulu, dan menjadi “Anakboru” kahanggi. Kemudian akan terlihat pula berbagai marga lain yang mendatangkan a-nak-anak gadis kepada kahanggi untuk menjadi Ina (Ibu) dari anak-anak kahanggi di kampung mereka, dan yang akhir ini dalam Adat Batak dinamakan “Mora”. Dari uraian ini segera tampak SMB, yang terdiri dari: Kahanggi, Anakboru, dan Mora.
Dengan demikian, tarombo atau silsilah keluarga suku-bangsa Batak akan menghadirkan tiga kelompok keluarga yang menjadikan “keluarga besar”, terdiri dari: Kahanggi, Anakboru, dan Mora. Himpunan ketiga keluarga ini juga disebut Dalihan Na Tolu (DNT), atau Tungku Yang Tiga (TYT). Ketiganya memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari suku-bangsa Batak, tidak terkecuali perhelatan masyarakat Batak, baik corak siriaon (kebahagiaan) maupun siluluton (kedukaan) mulai dari Bona Bulu hingga dengan tanah perantauan. Dalam tarombo masyarakat Batak akan juga segera terlihat mereka yang masih segenerasi, mereka yang ber-lainan generasi, baik setingkat orang tua, kakek, dan lainnya. Begitu juga tegur sapa (tutur) yang akan digunakan untuk menyapa yang masih segenerasi, begitu juga yang berlainan generasi, dan bagaimana cara menghindarkan rompak (kerusakan) tutur, dan lain sebagainya.
Mudah dimengerti, dalam masyarakat Batak yang masih sederhana silam, teknologi masih za-man batu, belum lagi ada peluang ketika itu untuk memeriksa kebenaran pandangan Ompu Si-mulajadi yang bersemayam dalam fikiran masyarakat Batak di Bona Bulu, terhadap Alam Raya sebenarnya yang ada di luar sana. Sebelum datangnya abad pertengahan di Eropa silam, orang diseantero jagad ini masih menganut pandangan Ptolomaëus yang mengatakan bahwa bumi ini menjadi pusat peredaran dari segala benda langit yang terdapat di Alam Semesta termasuk ma-tahari. Cara pandang Alam Semesta demikian dikenal dengan nama: ajaran geosentris. Sri Paus, pemegang Tahta Suci di Vatican, Roma, Italia, ketika itu, juga menganut ajaran geosentris ka-rena tidak menyalahi petunjuk dari Kitab Suci, lalu menjadikannya pegangan hidup umat Katho-lik dari seluruh dunia.
Akan tetapi dengan kedatangan abad pertengahan, Koppernigt (Copernicus 1473-1543) seorang ilmuwan dan astronom berkebangsaan Polandia membantahnya, dan mengatakan bahwa mata-harilah yang menjadi pusat peredaran semua benda-benda langit. Bantahan ini melahirkan cara pandang Alam Semesta baru dikenal dengan: ajaran heliosentris. Galileo Galilei (1564-1642), seorang cendekiawan dan astronom bangsa Italia lalu membuktikan kebenaran Koppernigt de-ngan teleskop bikinannya. Akan tetapi malang, Galileo lalu dinyatakan bersalah oleh kelanca-ngan membenarkan pandangan heliosentris, menyebabkannya harus menjalani hukum tahanan rumah hingga akhir hayatnya. Baru pada bulan Mei tahun 1994, yakni 600 tahun kemudian, hukuman itu dicabut Paus Yohannes Paulus II, setelah ia terlebih dahulu minta maaf atas keke-liruan rekan pendahulunya, kala itu menduduki Tahta Suci di Vatican.  
Memasuki penggal kedua abad ke-20, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang pesat, menyebabkan Niels Armstrong, warga Amerika Serikat menjadi manusia pertama yang berhasi menginjakkan kaki di permukaan bulan. Bermacam satelit cerdas pun telah pula melanglang bu-ana menjelajah angkasa hingga melampaui batas tatasurya; dan suku-bangsa Batak pun mulai menyadari, bahwa ajaran Ompu Simulajadi tentang Alam Semesta ini, tidak sesuai dengan ke-nyataan yang ada. Banua-Ginjang yang merupakan Surga itu, ternyata tidak ada di atas sana. Adapun yang dinamakan Banua-Tonga, dimana: manusia, hewan, dan tumbuhan berada hanya-lah permukaan bumi yang bulat bagaikan bola. Adapun yang disebut Banua-Toru itu, tidak lain dari bagian dalam bumi beserta semua isinya.
Lalu timbul dualisme pandangan terhadap Alam Semesta dalam masyarakat Batak. Sebuah ber-asal dari ajaran Ompu Simulajadi yang berseayam dalam fikiran kebanyakan suku-bangsa Batak yang percaya. Lainnya datang kebenaran Alam Semesta yang sesungguhnya terdapat diluar sana. Usai penggal kedua abad ke-20, umat di muka bumi ini lalu memasuki milenium ketiga, dan ke-majuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun dengan cepat mengalihkan perhatian manusia dari muka bumi menuju ruang angkasa. Di ruang angkasa antar bermacam planit dan beragam bintang yang hampa, gaya tarik bumi sudah tidak lagi berperan, dan mana yang dikatakan orang  atas maupun bawah bukan lagi persoalan; namun ternyata Trilogi Batak ajaran Ompu Simulajadi silam, malah memperlihatkan “pemahaman  baru”.
 Dengan meletakkan Alam Benda, dimana: manusia, hewan, tumbuhan, dan lainnya di tengah se-bagai Alam Kedua, maka menurut pemahaman baru, maka harus ada Alam Pertama dari mana semuanya berasal. Lalu, usai menempuh kehidupan di Alam Kedua, maka perlu ada lagi Alam Ketiga, kemana semuanya akhirnya menuju. Adapun  ajaran Ompu Simulajadi mengatakan ten-tang adanya Banua-Ginjang (di Atas), Banua-Tonga (di Tengah), dan Banua-Toru (di Bawah), lahir dari hasil pemikiran suku-bangsa Batak ketika itu ialah karena adanya "medan gravitasi" yang terdapat di permukaan bumi, dan menguasai segalanya. Dengan adanya medan gravitasi yang dimiliki bumi ini, orang lalu mengetahui mana arah yang disebut: atas, atau bawah. Dan dari kedua yang akhir ini, lalu diketahuilah berbagai arah lainnya.
Muncul dengan demikian Trilogi Batak pemahaman baru, masih tetap STA, akan tetapi telah  be-rubah menjadi: Alam pertama, Alam Kedua, dan Alam Ketiga. Artinya, masih tetap kue talam besar lapis tiga berwarna: putih, merah, hitam, meski tidak lagi tergolek di atas talam yang sa-ngat uas, tetapi cukup mengambang di angkasa yang bebas dari pengaruh medan gravitasi bumi. Pemahaman lama Trilogi Batak, adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Ompu Simulajadi silam, yakni adanta tiga Banua, masing-masing: Banua- Ginjang, Banua-Tonga, dan Banua-Toru yang dipengaruhi oleh medan gravitasi bumi.
Manakala Alam Kedua dinyatakan sebagai Banua Na Marpamatang (Alam Yang Bertubuh) ber-sifat kebendaan (material), maka Alam Pertama dan Alam Ketiga seyogyanyalah berwujud Banua Naso Marpamatang (Alam Yang Tak-Bertubuh), atau Alam Transenden (Transcendent), karena samasekali tidak bersifat kebendaan (immaterial). Lantas apakah wujudnya? Belum dapat diketahui orang sampai saat ini! Lalu mungkinkah Alam Pertama dan Alam Ketiga ini sama sifatnya? Tentu saja mungkin, akan tetapi juga tidak. Dua alam dapat dikatakan sama, apabila boleh dibuktikan keduanya benar-benar sama sifatnya; dan dikatakan bebeda, manalala keduanya memang benar-benar berbeda sifatnya. Peluang Alam Pertama dan Alam Ketiga sama, atau berbeda sifatnya, sama besar, karena itu tidak satupun dapat mengalahkan lainnya.  
Manakala Alam Pertama dan Alam Ketiga sama dan bersifat transenden, maka tondi dalam per-jalanannya melingkar. Perjalanan demikian ibarat tondi yang baru saja saja meninggalkan Alam Kedua, lalu kembali lagi menuju ke alam yang sama. Kejadian ini akan mengingatkan sebuah  reinkarnasi kehidupan dunia. Apabila kedua alam transenden ini tidak sama, maka tondi akan berjalan dalam garis lurus. Perjalanan tondi demikian mengukuhkan kembali Trilogi Batak, dan melahirkan pemahaman baru ajaran Ompu Simulajadi yang  mengatakan tentang adanya tiga Banua di Alam Semesta yang mengitari kehidupan manusia di muka bumi ini.
Mungkin saja Ompu Simulajadi suku-bangsa Batak pertama ada silam, telah sejak awal mem-punyai pandangan kedua, dimana kue talam besar berlapis tiga berwarna: putih, merah, hitam, mengambang di angkasa; bukan pandangan pertama dimana kue talam besar berlapis tiga warna Batak tergolek di atas talam yang amat luas. Ini disebabkan oleh dari sejak dahulu kala suku-bangsa Batak telah mengetahui adanya beragam Alam, termasuk yang transenden terdapat di luar Alam kebendaan yang bersifat material. Akan tetapi, karena kebanyakan suku-bangsa Batak ke-tika itu belum mampu mencernanya, maka disampaikanlah gagasan kue talam besar berlapis tiga yang berwarna tergolek di atas talam amat luas. Benarkah demikian, wallahualam bissawab, tak seorang Batak pun yang mengetahui hingga saat ini! 
Keluarga
Suku-bangsa Batak menamakan masyarakat terkecil suku-bangsa Batak berdiam di Banua-Tonga dengan sebutan: suhut. Suhut adalah keluarga batih dalam bahasa Indonesia, atau nuclear family dalam bahasa Inggris, terdiri dari: Ama (Ayah), Ina (ibu), dan Anak (laki-laki atau perempuan). Ama, Ina dan Anak menjadikan apa yang dinamakan: Trilogi Keluarga Batak, disingkat TKB, yang membentuk komunitas terkecil dalam masyarakat. Tanpa adanya ketiga unsur yang dike-mukakan masyarakat terkecil suku-bangsa Batak bernama: suhut tidak dapat terbentuk. Ama yang mengepalai suhut lalu diberi gelar: Suhut-sihabolonan, juga disingkat Suhut bolon.
Manusia
Suku-bangsa Batak menafsirkan manusia sebagai seorang individu, dan sekaligus sebuah trilogi Batak dikenak dengan: Trilogi Jolma Portibi, disingkat TJP, atau Trilogi Manusia Bumi, dising-kat TMB. Dalam pandangan Ompu Simulajadi, manusia tidak lain dari: “Tolu Na Marsada” atau Tiga Yang Menyatu, artinya tiga unsur yang menjadi satu membentuk manusia, masing-masing: Tondi (Ruh, Jiwa) Roha (akal), dan Pamatang (badan, tubuh). Tanpa tondi, orang akan hilang kemanusiaannya: motivasi, kemauan, semangat, kharisma, dalam kehidupan Banua-Tonga; tanpa Roha orang akan kehilangan ingatan (memory) alias pikun; dan tanpa Pamatang manusia akan hilang keberadaannya di Banua-Tonga atau muka bumi ini alias meninggal dunia. Dengan demikian pamatang atau tubuh merupakan ‘tandatangan manusia’ kehidupan di Banua Tonga, kehidupan Alam Fana di muka bumi ini. 
Jiwa
Tondi (Ruh/Jiwa/Khariama) yang berada dalam Banua Naso-Marpamatang (alam bukan-benda) menurut kepercayaan suku-bangsa Batak dapat bepergian meninggalkan Pamatang (jasmani) ketika orang sedang tidur, atau ketika sedang sakit, atau sedang berada dalam keadaan tidak normal lainnya. Tondi merupakan badan halus (superbeing) yang perlu ada dalam setiap kehidu-pan makhluk, apapun ragamnya. Seorang insan dalam Adat Batak seumpama: “pira manuk na nihobolan” (telur ayam yang telah dikebalkan), diwujudkan berupa sebutir telur ayam rebus. Yang kuning terdapat ditengah melambangkan tondi (badan halus) manusia, dan yang putih mengelilingi merupakan tubuh atau badan kasarnya, sedangkan yang terselip diantara keduanya  ialah yang dinamakan Roha, menjembatani kedua yang telah disebut sebelumnya.
Tondi membedakan seorang insan dari lainnya, dan diperlihatkan lewat semangat, emosi, kharis-ma, disampaikan dengan bahasa badan (body language) ditampilkan keluar. Diibaratkan mobil yang melaju di jalan raya, manakala dikemudikan oleh dua orang berlainan, akan memperlihat-kan tingkah laku gerakan kendaraan berlainan. Dengan analogi yang sama, manakala jasmani se-seorang sedang ditempati tondi yang bukan miliknya sejak lahir karena penyakit misalnya, maka akan diperlihatkan perilaku atau sifat yang samasekali bukan aslinya. Walau beragam pengeta-huan tentang tondi telah terkuak kepada manusia dari pergaulan dan pergalaman hidup sehari-hari di Banua-Tonga, akan tetapi inilah alam bukan-benda pertama yang terdapat dalam diri manusia yang terus saja menyimpan teka-teki yang masih sedikit terungkap kepada insan sam-pai kini.
Akal
Roha (akal/fikiran) juga terdapat dalam alam bukan-benda. Inilah yang dinamakan “kecerdasan sesungguhnya” (true intelligence) lawan dari “kecerdasan buatan” (artificial intelligence) yang  dikuasai oleh seorang manusia. Hal ini pula yang sudah diungkapkan Sokrates (470-399 SM), seorang pemikir Yunani dari Athena pada zaman praklassik silam. Hasil pemikirannya tentang masalah ini telah pula diungkapkan seorang filosof Jerman bernama Windelband (1848 -1915), seorang penganut ajaran idealisme subjektif, dalam rangkaian kata: “Die immateriele Welt ist endeckt, und das Auge des Geistes hat sich nach innen aufgeschlagen”, atau dalam bahasa Batak: “Banua naso marpamatang tarungkap madung, mata ni roha manaili ma tu bagasan”; lalu oleh Dr. Mohammad Hatta diindonesiakan menjadi: “Alam tidak bertubuh diketahuilah sudah, dan mata fikiran pun memandanglah kedalam”. Di lain fihak, kecerdasan buatan juga kini telah pula berkembang dan memaikan peran mengendaliakn bermacam peralatan canggih bikinan manusia, mulai dari aneka ragam robot manusia yang dapar berbicara memberi pelayanan, pesawatter-bang yang dapat menemukan tujuan, peluru kendali yang mengetahui sasarannya, berjenis satelit yang mampu mengorbit bumi atau mendarat di planit lain, hingga dengan teknology bedah tubuh manusia dari jarak jauh.
Sebagaimana sebuah komputer, telepon genggam (feature phone), telepon cerdas (smart phone), tablet (electronic reader), dan perangkat pintar (gadget) lainnya, merupakan perpaduan dari pe-rangkat-keras (hardware) dengan perangkat-lunak (software) yang dapat melaksanakan bermacam pekerjaan, maka Roha yang terdapat pada mnusia boleh pula disebut sebagai pe-rangkat lunak insan (human software), yang disingkat “peran-insani” (human-ware), dan diper-lukan guna menjembatani Tondi dengan Badan, sehingga pamatang (jasmani) mampu me-laksanakan berbagai macam pekerjaan sebagaimana yang dikehandaki Tondi, berangkat dari ke-mampuan, keterampilan, dan bidang profesi yang telah dikuasai seseorang. Pemrograman Roha itu sendiri pada manusia telah dimulai sebelum ia lahir ke dunia, dilanjutkan setelah lahir, me-lalui: pendidikan, pelatihan, pengalaman hidup, dan lainnya, berlangsung tidak pernah putus  se-lama hayat masih dikandung badan; berangkat dari pandangan hidup yang dimiliki oleh manusia bersangkutan.
Roha (Alam Kedua bukan-benda) yang bersemayam dalam diri manusia ini pula yang oleh sege-lintir negara: Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur; dan itu pun digeluti oleh sejumlah kecil warga negara mereka dikenal dengan istilah: Sumber Daya Manusia (SDM), lewat kegiatan aka-demik berjenjang mulai rendah, menengah, hingga tinggi program: S1, S2, dan S3, menjadikan berbagai negeri itu lalu dengan cepat menjadi terkemuka di muka bumi, setelah mendapat buah fikiran Yunani yang diantarkan oleh bangsa Arab ke daratan Eropa pada Abad Pertengahan, lalu ke berbagai bagian dunia lainnya, seperti Amerika Utara dan Jepang.
Diawali penghujung abad ke-19, dilanjutkan sepanjang abad ke-20, memasuki abad ke-21 saat ini, berbagai negara Eropa: Inggris, Perancis, Jerman dan lainnya, yang disusul Amerika Utara dan Amerika Serikat, diikuti Asia Timur hingga Jepang menjadi sadar tentang apa yang pernah  dikatakan Sokrates akan keperkasaan: “Alam tidak bertubuh diketahuilah sudah” (Banua naso marpamatang tarungkap madung) bersemayam di dalam setiap SDM bernama Roha kepunyaan masing-masing bangsa. Mereka dengan cepat mengembangkan pusat-pusat: pendidikan, pela-tihan, laboratorium, bermacam industri, penelitian material, pencarian sumber daya alam, dan lain sebagainya guna menjawab permintaan pasar ekonomi Laissezfaire (perdagangan bebas) dunia. Hanya dalam rentang waktu kurang dari 150 tahun, mereka berhasil mengubah “pera-daban manusia”, atau “tamadun umat” (human civilization): dari serba berjalan kaki dan me-nunggang ternak (kuda, lembu, dan lainnya) dimana-mana di seluruh penjuru dunia, menjadi pe-radaban berkendaraan dijalankan motor atau mesin dimana-mana di permukaan planit biru ini,  mengendarai: mobil, kereta api, kapal laut, pesawatterbang, bahkan hingga menjelajahi kawasa antariksa di seputar planit biru ini.
Penyampaian berita yang diawali secara fisik dari mulut ke mulut, bermacam tetabuhan, sampai mengirim surat; lalu beralih menjadi serba elektronik: radio, telepon, televisi, ponsel, internet. Bekerja dari kantor, pabrik, lapangan, dan lainnya, lalu oleh Teknologi Komunikasi dan Infor-matika (TKI), diubah menjadi bekerja dari mana saja orang suka melakukannya di muka bumi ini. Masih banyak kemajuan lainnya yang tidak mungkin dikemukakan satu persatu, dan akan terus berkembang menuju kepada yang semakin memudahkan manusia hidup di Banua-Tonga, atau muka bumi ini.
Segelintir negara dikemukakan diatas lalu menjadi teladan umat yang hidup di muka bumi, membuat lainnya: dari Utara ke Selatan, dan dari Barat ke Timur, tidak terkecuali kawasan: Ti-mur Tengah, Asia Tenggara, dan berbagai bagian bumi lainnya yang masih tertinggal, kemudian turut berlomba mengembangkan “Roha” dari warga negara masing-masing menyimak apa yang telah dikemukakan oleh Sokrates. Mereka lalu melakukan pemberantasan buta huruf, mendirikan dan mengembangan pendidikan berjenjang beragam bidang ilmu dan keterampilan guna mengejar ketertinggalan masing-masing dari segelintir negara yang telah terkemuka yang sudah disebutkan diatas.
Kendati Roha sudah banyak diungkapkan para ahli dari berbagai negara maju, sejalan dengan  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian laboratoriun, pendirian industri, penggalian tambang, pencarian peninggalan archeologi, penjelajahan antariksa, dan lain sebagai-nya, dan telah pula terekam dalam tidak terbilang banyak buku, jurnal, dan lainnya, baik yang tradisional, elektronik, dan digital; namun alam bukan-benda kedua yang terdapat dalam diri manusia bernama “Roha” masih menyimpan banyak rahasia atau misteri yang belum banyak di-ketahui orang sampai saat ini.
Jasmani
Pamatang (tubuh, badan, jasmani), adalah bukti keberadaan material manusia di Banua-Tonga atau Alam Kedua, Alam Fana, di muka bumi. Jasmani boleh juga dikatakan sebagai cap jempol seseorang di atas lembar kertas kehidupan di muka bumi ini. Dengan badan, si A, si B, si C dan seterusnya dapat dikenali lalu dibedakan satu dari lainnya. Dengan Pamatang; manusia dapat saling berkenalan, bergaul dan berbincang tentang sesuatu untuk bertukar fikiran.
Sebuah lembaga penelitian dari segelintir negara terkemuka dunia bernama “Human Genome Project”(Proyek Gen Manusia) terdapat di Amerika Serikat dan dipimpin oleh Craig Venter.   Pada tanggal 11 Febrruari 2001 ilmuwan dari Lembaga Gen Manusia ini berhasil mengungkap-kan adanya 30.000 gen dalam tubuh manusia yang bertanggungjawab terhadap kehidupan insan, yang senantiasa “membuka” atau “menutup” dalam melaksanakan tugasnya dalam perjalanan waktu. Ditemukan lembaga itu pula, bahwa hanya gen-gen yang membuka saja yang dapat mengendalikan semua sel yang ada dalam tubuh manusia yang seluruhnya diperkirakan berjum-lah 3.000.000.000. sel.  
Tubuh manusia yang terdapat di Alam Kedua (Alam Benda), demikian juga hewan dan tum-buhan, terdiri dari sejumlah logika kehidupan (biologi) rumit, seperti: peredaran darah, pence-rnaan, pernafasan, pengindraan, susunan syaraf, dan lain sebagainya. Selain dari itu, kesemua logika melahirkan sistim yang pada manusia dikendalikan puluhan ribu gen terbuka, dan perlu  bekerjasama dalam sebuah orkestra yang harmonis untuk menjadikan tubuh sehat  tempat  Tondi dan Roha bersemayam. Kegagalan badan atau jasmani menjadi sehat oleh berbagai alasan, antara lain oleh: penyakit, kecelakaan, hingga uzur, akan menyebabkan Tondi dalam perjalanan waktu meninggalkan badan dari Alam Kedua (Alam Benda), untuk melanjutkan perjalanan ke Alam Ketiga.
Meskipun jasmani manusia telah banyak dikaji oleh para ahli khususnya dari bidang ilmu kedok-tern di sejumlah negara maju dim muka bumi ini, yakni bagian dari Trilogi Jolma Portibi (TJP) atau Trilogi Manusia Bumi (TMB) yang paling banyak dipelajari, atau paling sering dikaji, di dunia pada saat ini, akan tetapi bukti keberadaan seseorang di Alam Kedua ini  masih saja me-nyimpan banyak teka-teki dan rahasia yang belum berhasil diungkapkan semuanya, bagaimana-kah caranya tubuh makhluk itu mengambil bentuk dalam ruang?
Kedatanga Makhlik di Muka Bumi
Saat Tondi suatu makhlik tiba di perbatasan antara Alam Pertama (Alam Bukan-benda) dengan Alam Kedua (Alam Benda), dalam perjalanan Tondi menurut “pemahaman baru”, atau setelah Tondi turun dari Banua-Ginjang mrnuju ke BanuaTonga dalam “pemahaman lama”, ia perlu ter-lebih dahulu menjemput benda (materi) untuk menyatakan keberadaannya di Alam Kadua atau Banua-Tonga. Materi adalah sesuatu yang terdapat di Alam Kedua dan  tunduk kepada hukum alam atau fisika, karena mempunyai berat (massa) dan menyita ruang.
Segala sesuatu yang ada, tetapi tidak memiliki massa dan tidak menyita  ruang, pastilah bukan-benda (immaterial), akan berada di Alam Pertama, dan/atau Alam Ketiga. Perpaduan Tondi, Ro-ha, dan Pamatang dalam Adat Batak ditunjukkan dengan “pira manuk nanihobolan”. Tondi: ia-lah bagian kuning telur  terdapat di tengah, Pamatang dengan demikian ialah putih telur yang mengitari. Sedangkan Roha adalah selaput yang terselip yang memisahkan kuning telur dari pu-tih telurnya.
Perjumpaan “Tondi” dengan “Pamatang”, setelah yang disebut terdahulu turun dari Banua Gin-jang tiba di perbatasan Banua Tonga, atau datang dari “Alam Pertama” dan tiba diperbatasan “A-lam Kedua”, pada makhluk hidup dimulai dari konsepsi (conception) setelah sepasang insan, ma-sing-masing: laki-laki dan perempuan berhubungan. Konsepsi adalah juga Tondi yang turun dari Banua Ginjang, atau datang dari Alam Pertama berhasil memperoleh pinjaman benda (materi) di Banua-Tonga, atau di Alam Kedua, lalu berkembang menjadi benih yang kemudian melaksana-kan pembelahan sel yang selanjutnya berkembang menjadi janin. Dan yang akhir ini selanjutnya dapat tumbuh dan berkembang karena mendapat pemasukan benda (materi) lebih lanjut di Ba-nua-Tonga atau Alam Kedua, kini oleh pemberian ibu yang tengah mengandung hingga akhirnya lahir ke dunia sebagai seorang bayi.
Setelah lahir ke dunia, sang bayi meneruskan kegiatan menghimpun benda (materi), kini ber-langsung diluar kandungan dengan menyusu kepada ibu, dibantu makan, minum, dan bernafas  langsung lewat mulut dan hidung, baik yang untuk meningkatkan berat badan dan menumbuhkan tinggi, begitu juga yang untuk memelihara kesehatan sepanjang masa pertumbuhan, mulai dari: anak, akil balig, remaja, hingga dengan dewasa.
Setelah seseorang memasuki usia dewasa, kegiatan menambah benda (materi) berlanjut terus,  tetapi kini bukan lagi pemberian orang tua, melainkan usaha mencari nafkah sendiri. Pada usia dewasa dan selanjutnya benda (materi) dihimpun juga lewat kegiatan makan, minum, dan ber-nafas, sebahagian besar diperlukan untuk melaksanakan metabolisme (pertukaran zat) dalam tubuh lewat reaksi kimia, antara lain: perbaikan jaringan tubuh, menyiapkan persediaan tenaga (energi), pertukaran zat, dan lain sebagainya, untuk memelihara tubuh sehat selalu hingga ke ba-tas usia.
Diantara berbagai jenis hewan ada yang mengikuti manusia, tetapi tidak sedikit pula yang membuat pinjaman materi untuk generasi penerus dengan bertelur, dan kehidupan yang dipicu oleh panas pengeraman. Pada ragam tanaman telur digantikan oleh benih (bibit) dan kehidupan dipicu lembab yang bersuhu lingkungan.
Menurut para ahli kesehatan, pertukaan zat dalam tubuh makhluk berjalan tidak berkeputusan  selama hayat masih dikandung badan menyebabkan yang disebut belakangan, atau bukti kebera-daan mnusia di dunia ini, berganti seluruhnya, mulai kulit yang paling luar di permukaan hingga dengan tubuh bagian terdalam sekali dalam tujuh hingga sepuluh tahun. Itulah sebabnya me-ngapa bayi yang lahir ke dunia dapat menjadi besar dengan kegiatan: makan, minum, bernafas, dan bergerak; lalu bertambah berat, berganti wajah, berubah bentuk, meningkat pengetahunnya, dan lainnya hingga mencapai usia dewasa. Seorang anak usia lebih dari 7 tahun dengan demikian tidak lagi menyimpan benda (materi) yang diperoleh dari kedua orang tua saat berlangsungnya konsepsi. Kini seluruh benda (materi) yang ada dalam tubuh anak, semata perolehan dari kegia-tan makan, minum, pemberian orang tuanya. Kedua orang tua anak ini pun, menurut ahli kese-hatan tadi, juga sudah berganti dari sepasang manusia yang pernah meminjamkan materi kepada anak, menjadi pewaris pasangan orang tua yang pernah meminjamkan benda (materi) kepada a-nak di waktu yang silam. Kini, hubungan pasangan orang tua dengan anak yang masih tersisa  hanya tinggal sejarah.
Metabolisme tubuh yang didukung kegiatan: makan, minum, bernafas, dan bergerak menyebab-kan manusia mengganti tubuh (jasmani) cara berkala, menyebabkan orang yang ada di muka bu-mi ini sama semuanya, kecuali yang diatur oleh gen sebagainana yang diungkapkan hasil pe-nelitian Proyek Gen Manusia, antara lain: bentuk tubuh, warna kulit, dan berbagai pengenal khu-sus lain, meski berbagai hal yang dikemukakan akhir ini tidak tidak banyak berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari selain identitas diri. Karena itu benarlah apa yang dikatakan orang-orang tua di Bona Bulu silam, agar anak-anak yang sudah dewasa sebaiknya diperlakukan sebagai do-ngan (sahabat), bukan lagi sebagai  anak. Ini disebabkan anak yang telah dewasa sudah sempurna metamorphosa tubuhnya menjadi orang lain lewat pergantian jasmani berulangkali sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ahli kesehatan diutarakan diatas.
Orang yang telah mencapai usia 63 tahun, setidaknya telah mengganti tubuhnya 9 kali lewat per-tukaran zat yang berjalan 7 tahun sekali. Pelaku kejahatan yang menjalani hukuman penjara lebih dari 7 tahun, dengan demikian telah digantikan oleh pewaris yang samasekali bukan lagi pelaku kejahatan, karena jasmani dituduh melakukan perbuatan kriminal dalam Berita Acara Pemerik-saan (BAP), sudah bukan lagi pelakunya sekarang ini. Dan yang disebut belakangan ini tidak pernah terlibat dalam kejahatan yang ada dalam BAP, karena pelakunya telah meninggalkan pen-jara lewat metabolisme tubuh yang tidak diketahui sipir yang bertugas memantaunya.
Terlihat disini hukum alam bermain di dunia renik (dunia atom dan molekul) tidak akan  mengi-kuti keputusan dari penegak hukum. Sebaliknya kehidupan insan di muka bumi ini sangat diten-tukan aturan biologi memanfaatkan beragam molekul yang bersama dengan air menjadikan bermacam sel makhluk hidup. Berjenia molekul ini masih tergantung lagi dari beragam atom pembentuknya. Selain dari itu, tidak dapat dipungkiri peran medan gravitasi dunia renik (gaya tarik-mearik antar atom dan antar molekul) yang menjadikan benda, termasuk yang menjadikan jasmani mahluk hidup. Tanpa kepatuhan dan kesetiaan medan-medan gravitasi dunia renik menjalankan tugas diemban, maka insan bernama manusia terdiri dari air dan segelintir unsur kimia ini, tidak lebih dari onggokan atom tak-bernyawa yang tidak ada gunanya. 
Akhirnya, masih terdaapat lagi medan gravitasi bumi yang membuat semua makhluk dapat men-jejakkan kaki di muka bumi ini termasuk segala macam benda dapat berada pada tempatya. Ke-gagalan medan gravitasi akhir ini melaksanakan tugas akan berakibat semua benda yang ada di permukaan planit biru ini akan melayang berserakan di angkasa, tidak trekecuali segala makhluk hidup yang berdiam di permukaannya.
Manusia yang meninggalkan Banua-Tonga atau Alam Kedua, sesungguhnya telah berulangkali mengembalikan jasmani sedikit demi sedikit ke Banua-Tonga atau Alam Kedua, lewat pertuka-ran zat atau metabolisme, akan tetapi yang dikembalikan belakangan ialah yang dimiliki 7 sam-pai 10 tahun terakhir. Tubuh manusia terdiri dari daging dan tulang kata kebanyakan orang, akan tetapi ilmu pengetahuan telah menemukan tidak lain dari sebuah tempayan atau kendi yang berisi penuh air. Hal ini disebabkan karena lebih dari 70% berat tubuh manusia hanyalah air, dan kurang dari 30% terbentuk dari berbagai unsur kimia, seperti: karbon (C), kalsium (Ca), kalium (K), besi (Fe), fosfor (P) dan lainnya, tidak terkecuali unsue-unsur langka bumi (rare earth), se-bagaimana tercantum dalam tabel unsur-unsur kimia yang diungkapkan pertama kali di dunia o-leh Dmitri Ivanovich Mendeleev (1834-1907) dari Rusia. Kembali tampak disini, dari apa yang mejadikan tubuh manusia, ternyata dari benda yang sama saja dimana-mana di seluruh dunia ini hanyalah benda (materi) pinjaman dari Banua-Tonga atau Alam Kedua. Perbedaan orang yang badannya gemuk dari orang lain yang badannya kurus, hanya ditentukan oleh perbedaan banyak  air dimiliki ketimbang bermacam unsur kimia lainnya.
Manusia yang meninggalkan alam fana sesungguhnya sudah tiba di perbatasan antara Banua-To-nga dengan Banua-Toru, atau Alam Kedua dengan Alam Ketiga, dalam perjalanan hidupnya. Pada ketika itu, tondi mengembalikan pamatang atau jasmani ke asalnya, yakni Banua-Tonga, atau Alam Kedua, karena tubuh manusia hanyalah semata barang pinjaman. Ini berarti semua mahluk hidup: manusia, hewan, dan tanaman, mengembalikan jasmani mereka (materi) dalam dua tahap, masing-masing: tahap pengembalian sedikit demi sedikit (partial return) dan pengem-balian menyeluruh dilakukan belakangan. Banua-Tonga atau Alam Kedua sudah menetapkan bahwa setiap jasmani (materi) yang dikembalikan perlu di daur ulang untuk menghindarkan “sampah biologi” mencemari lingkungan. Pada pengembalian sedikit demi sedikit (partial return) daur ulang dilaksanakan bermilliar bakteri yang berdiami dalam tubuh mahluk yang keseharian-nya bertugas mengukir tubuh agar terlihat bersih. Pada pengembalian menyeluruh dilakukan belakangan, bakteri-bakteri ini melepaskan gas menyengat indra penciuman yang ter-sebar ke u-dara. Tujuannya untuk mendatangkan pendaur ulang lain untuk segera ikut menyelesaikan pe-kerjaan daur ulang agar cepat selesai..
Adat dan agama manusia mengajarkan kepada umat, agar tubuh yang dikembalikan menyeluruh dilakukan belakangan di perbatasan Banua Tonga dengan Banua Toru, atau perbatasan Alam Kedua dengan Alam Ketiga, didaur ulang lewat: pemakaman, pembakaran (kremasi), penengge-laman, dan pembiaran. Pada pemakaman, air yang dikembalikan akan diserap tanaman, lalu me-nguap ke udara dan menjadi awan, lalu turun sebagai hujan dan kembali ke laut. Beragam unsur kimia yang dikembalikan diserap tanaman, kemudian dimakan binatang atau manusia. Pada pembakaran, air akan menjadi uap, lalu naik ke udara menjadi awan, akhirnya kembali ke laut. Berbagai unsur kimia dikembalikan sebagian ikut terbakar, ada yang menjadi abu untuk disim-pan keluarga di dalam rumah atau tempat perabuan. Pada penenggelaman, air akan langsung ber-gabung dengan rekan lainnya. Beragam unsur kimia lain yang dikembalikan  lalu mengendap di-dasar badan air: kolam, sungai, danau, laut, dan samudra, dan menjadi makanan tanaman dan bi-natang air. Pada pembiaran, pengeringan akan membuat air lalu meguap menuju awan, dan akhirnya kembali lagi ke laut. Dalam pelaksanaan akhir ini, terdapat peran burung manakala diletakkan pada suatu ketinggian, atau peran binatang buas ynag liar manakala diterlantarkan  da-lam hutan belantara, atau tersimpan dalam gua, untuk mendaur ulang jasad makhluk yang di-kembalikan belakangan.
Banua-Tonga atau Alam Kedua telah menetapkan bahwa sampah makhluk hidup akan dipulang-kan ke asalnya cara sebagian demi sebagian atau partial dan pengembalian belakangan, adalah  bagian dari suatu “rantai makanan” (food chain) di muka bumi ini. Rantai makanan pertama  ialah yang membebaskan tenaga (energi) sangat dibutuhkan beragam hewan termasuk manusia dan tanaman guna kelangsungan hidup. Rantai makanan ini bekerja membebaskan tenaga (ener-gy) matahari yang tersimpan di dalam jasad yang dikembalikan dengan penguraian (decompose) kedalam bermacam unsur kimia yang tercantum dalam tabel Mendeleev.
Adapun rantai makanan kedua ialah yang merakit kembali (recompose) bermacami unsur kimia yang sudah terurai, kembali menjadi: butiran, bijian, buah, dan lain sebagainya dikrtjakan dalam daun tanaman lewat proses photosynthesis dibantu sinar matahari, ntuk menyimpan tenaga (ener-gy); juga oleh bermacam hewan yang memproduksi: susu, daging, madu, dan lainnya. Itulah alasannya mengapa tanaman memerlukan zat-zat yang mengandung unsur-unsur kimia perolehan dari daur ulang dikembalikan partial dan belakangan untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses daur ulang dan segera melakukannya, maka pencemaran di Banua-Tonga atau Alam Ke-dua oleh sampah makhluk hidup dapat dihindarkan.
Pada orang yang sehat keadaannya, Tondi dan Roha senantiasa menyertai Badan di Banua Tonga atau Alam Kedua. Tidak ada orang yang dapat memperkirkan berapa lama Tondi dan Roha akan menyerai Pamatang (jasmani) dalam hidupnya sampai tibanya batas waktu yang telah ditentukan. Ketika waku itu tiba, maka Tondi akan mengembalikan badan atau jasmani di perbatasan Banua Tonga dengan Banua Toru, atau Alam Kedua dengan Alam Ketiga. Dan setelah berpisah dari Pamatang, tidak ada lagi yang dapat diketahui orang tentang perjalanan Tondi selanjutnya me-nuju ke Banua Toru, atau Alam Ketiga.
Pada awalnya kehidupan suku-bangsa Batak di Bona Bulu berjalan perlahan, atau alami, yang  dikenal dengan berlangsung evolusioner di tempat-tempat mereka bermukim. Gelombang per-tama datangnya agama Islam ke Nusantara pada Abad ke-13, belum menunjukkan adanya peru-bahan yang berarti dalam kehidupaan masyarakat di Tapanuli. Akan tetapi dengan timbulnya ge-lombang kedua agama Islam yang datang dari Sumatera Barat ke Tanah Batak bagian Selatan, benar-benar menunjukkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, karena berlangsung re-volusioner, yakni dengan kekerasan untuk mengubah kepercayaan yang telah ada di Tanah Batak, menjadi menganut agama Islam..
Pemerintah Hindia Belanda yang selanjutnya menggantikan kaum Paderi, juga membawa  peru-bahan cepat atau revolusioner di Tanah Batak dengan memperkenalkan “kerja rodi”, atau kerja paksa pembuatan jalan dan jembatan. Pemerintah Hindia Belanda yang kolonial ketika itu, juga mengharuskan para Raja dan rakyat mereka membayar belasting atau pajak. Dengan sistim pe-merintahan terpusat (sentralistis) yang diperkenalkan bangsa Belanda, para Raja dan rakyat me-reka, lalu menjadi bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang terdapat di seberang lautan. Para Raja di Tanah Batak diharuskan memungut belasting  dengan sasaran (bertarget) pendapatan yang telah ditentukan. Adapun imbalan yang diberikan pemerintah hindia Belanda kepada masyarakat pada saat itu ialah: pemerintahan, layanan masyarakat, pembuatan jalan raya dengan jembatan, dan pendidikan untuk anak-anak pribumi.
Pemerintah Fascist Jepang yang menggantikan penjajahan Hindia Belanda di Tanah Batak pada tahun 1942, tidak kalah kolonial, juga memberlakukan perubahan cepat di Tanah Batak, bahkan dengan perlakuan kasar dan ancaman senjata. Jepang mengharuskan di Tanah Batak segera dibentuk barisan-barisan Zikedan dan Bogodan pada setiap kampung untuk menghimpun paravpemuda guna dijadikan heiho (pembantu prajurit Jepang) dan romusha (pekerja rodi untuk Jepang). Serdadu-serdadu Jepang juga memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi, baik yang diba-yar dengan uang Jepang, maupun yang samasekali tidak mendapat bayaran apapun pada ketika itu. Sesudah Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pimpinan Amerika Serikat pada peghujung Pe-rang Dunia Ke-II silam, para pemimpin pergerakan NRI (Negara Republik Indonesia) di Tanah Batak kemudian mengambil alih pemerintahan. Kaum pergerakan anak-anak bangsa ini juga ti-dak luput menimbulkan perubahan cepat di Tanah Batak menggerakkan masyarakat melakukan revolusi untuk menentang bangsa Belanda kembali datang menjajah di Nusantara, lalu menjan-jikan kehidupan bebas dari kemiskinan memasuki alam kemerdekaan bangsa.
Setelah Tanah batak memperoleh kemerdekaan, pemerintah NRI keresidenan Tapanuli yang ber-kedudukan di Tarutung mengeluarkan ketetapan Residen Tapanuli No.: 274 tertanggal 14 Maret 1946, dan No: 1/D.P.T. tertanggal 11 Januari 1947, ditandatangani oleh Dr. F.L. Tobing. Adapun isi ketetapan Residen Tapanuli saat itu mengatakan: Para Raja yang masih menjabat di pemerin-tahan, maupun mereka yang masih berkegiatan dengan wilayah publik di seluruh Tanah Batak, apapun jabatan diemban, diberhentikan dengan hormat. Para pejabat pemerintah yang akan di-angkat untuk menyelenggarakan pemerintahan di Tanah Batak akan dipilih secara demokratis oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia. Dengan demikian seluruh pemerintahan yang semula masih dilaksanakan menurut adat Batak sempat, dan masih diperkenankan dalam zaman pemerintahan Hindia Belanda pada tingkat Bona Bulu/Huta, maka dari sejak saat bersejarah itu terpaksa harus tersingkir dari wilayah publik, dan beralih ke ranah seremonial perhelatan Adat Batak semata.
Gelombang perubahan cepat yang melanda Tanah Batak, diawali Perang Paderi, penjajahan ko-lonial Hindia Belanda, penjajahan Fascist Jepang, revolusi bangsa Indonesia dan perang kemer-dekaan tahun 1945 hingga memasuki zaman kemerdekaan; telah menyebabkan suku-bangsa Batak dari Bona Bulu hingga tanah perantauan menjadi terbuka dan dapat menerima kenyataan. Kini memasuki abad ke-21, suku-bangsa Batak telah pula menerima beragam pengaruh lainnya, termasuk pengaruh globalisasi dunia dengan tampilnya: pandangan  hidup dan kerohanian yang beragam, sebagai akibat serbuan budaya beragam bangsa, budaya musik populer, ilmu penge-tahuan dan teknologi maju beraneka ragam bidang ilmu, yang mengantarkan umat di muka bumi ini memasuki peradaban millenium ketiga.
Apapun pengaruh yang telah mendera masyarakat di Tanah Batak, apapun ragam maupun ben-tuknya, mulai dari zaman yang silam hingga dengan sekarang, baik terhadap masyarakat yang masih berdiam di Bona Bulu maupun yang telah bermukim di perantauan, Tanah-Air dan Man-canegara, ialah kenyataan bahwa masih saja memperlihatkan sebagaimana diajarkan oleh Ompu Simulajadi tentang seluruh yang ada dan diketahui orang di Alam Semesta, yang tetap serba-tiga keberadaannya, yakni:
Pertama. Dengan munculnya keberagaman agama dengan pandangannya, masyarakat Batak di Bona Bulu, begitu pula yang telah berdiam di Tanah Perantauan lalu menerima ajaran mono-theisme, yaitu ajaran beriman kepada Tuhan Yang Esa, karena  memiliki banyak persamaan de-ngan apa yang telah diajarkan Ompu Simulajadi silam. Kepada mereka yang beragama Islam, ini artinya mengakui keberadaan Tuhan  Yang Maha Esa di Alam Semesta ini, yakni ajaran tiada Tuhan selain Allah. Dan ini memperlihatkan Semangat Ketuhanan dalam masyarakat Batak, yang dalam bahasa Arab diungkapkan dengan perkataan: HablumminAllah.
Kedua. Dengan hadirnya keberagaman budaya dan ilmu pengetahuan terhimpun dari segala pen-juru dunia masuk dalam kehidupan masyarakat Batak dari Bona Bulu hingga ke Tanah Perantau-an, membuat adat-istiadat warisan leluhur silam menjadi diperkaya. Adapun pengayaan datang dari lingkungan Nasional dan lingkungan Internasional. Sebagai akibat dari pengaruh ini, suku-bangsa Batak mulai dari Bona Bulu hingga Tanah Perantauan, lalu meluaskan pandangan hidup-nya: diawali dari kesukuan yang sempit asal Bona Bulu silam, berkembang menjadi Nasional yang lebih melebar, kemudian Internasional yang bersifat gelobal; sekaligus menjadikan mereka semua menjadi bagian dari masyarakat dunia. Kepada mereka yang beragama Islam ini memperlihatkan: Semangat Kemanusiaan; yang dalam bahasa Arab dinyatakan dengan perka-taan: Hablumminannas.
Ketiga. Perkebangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat umat diseluruh penjuru du-nia menjalani kemajuan: sosial, ekonomi, dan budaya, dengan berkembangnya aneka ragam tek-nologi. Masyarakat Batak mulai dari Bona Bulu, berkembang ke tingkat Nasional, dan akhirnya  memasuki pula tingkat Internasional, membuat suku-bangsa Batak mulai dari Bona Bulu hingga Tanah Perantauan juga ikut menikmati. Karena itu, ikut pula bertanggungjawab terhadap ling-kungan hidup, tidak semata di Bona Bulu, tetapi juga Nasional dan Dunia sampai ke tepian Alam Semesta. Bukankah dalam Al-Quran‘ul Karim dalam Surah 2:11, terdapat perintah yang menye-rukan “….jangan kamu membuat kerusakan di muka bumi….”, dan diulang pula dalam berbagai surah yang menyusul kemudian. Kepada mereka yang beragama Islam ini mengisyaratkan Sema-ngat Memelihara Lingkungan Hidup; bilamana diutarakan dalam bahasa Arab akan melahirkan perkataan: Hablumminalkaun.
Dengan demikian HablumminAllah, Hablumminannas, dan Hablumminalkaun, membentuk Sekawan Pernyataan Insan (SPI), yang tidak lagi asing di telinga suku-bangsa Batak yang telah beragama Islam, karena sejalan sekali dengan pandangan Ompu Simulajadi tentang Alam Se-mesta di Tanah Batak silam, tentang keberadaan: Banua-Ginjang, Banua-Tonga, dan Banua- Toru mengitari kehidupan mahluk berdiam di muka bumi. HablumminAllah menjadi ungkapan penyerahan diri makhluk kepada Khalik Sang Pencipta dalam arah vertical; Hablumminannas ungkapan persaudaraan antar sesama insan horzontal yang berada di muka bumi, sedangkan Hablumminalkaun ungkapan tanggungjawab manusia kepada lingkungan hidup tempat kebe-radaan umat yang menampung segalanya, mulai dari tempat kaki berpijak hingga ke tepian Alam Semesta.
Apapun ajaran agama dianut suku-bangsa Batak mengatur hubungan insan dengan Sang Khalik yang vertikal, tidak diragukan lagi berasal dari pandangan Ompu Simulajai silam, sedangkan hubungan sesama manusia yang horizontal dimulai dari Adat Batak di Bona Bulu, lalu meluas menjadi budaya nasional dalam negara, akhirnya menjadi budaya antarbangsa di muka bumi; melahirkan budaya manusia. Adapun hubungan manusia dengan lingkungan tempat berdiam di muka bumi berawal dari peradaban zaman batu, lalu berubah menjadi peradaban zaman logam, akhirnya berkembang menjadi peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi, disingkat Iptek.
Dengan demikian Agama, Budaya (Adat-istiadat), dan Iptek yang telah dicapai umat kini telah menjadi Sekawan Perangkat Insan (SPI) untuk mencapai: perdamaian, kemajuan, dan kesejah-teraan manusia di muka bumi kedepan menjalani abad ke-21 saat ini. Khusus untuk suku-bangsa Batak SPI telah menjadi lanjutan dari trilogi ajaran Ompu Simulajadi, kini memasuki millenium ketiga di permukaan planit biru.


Penulis:
H.M.Rusli Harahap
Pamulang Residence, G1
Jalan Pamulang 2, Pondok Benda. Kode Pos: 1541
Tangerang Selatan,
Banten. Indonesia..
Tel. 021-74631125. 21 Juli 2017.


--------------selesai---------------