MENGENANG
AMANG TOBANG SENGEL HARAHAP,
gelar
BAGINDA PARBALOHAN
Sekapur
Sirih
Dengan terlebih dahulu mengucapkan Syukur
Alhamdulillah kepada Allah Subhanahu Wataala, selanjutnya berterimakasih kepadaNya,
lalu menyampaikan salawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
Sallallahu Alaihi Wasallam, penulisan perjalanan hidup Amang Tobang Sengel
Harahap, gelar Baginda Parbalohan bermaksud untuk mengenang kembali perja-lanan
hidup yang beliau lakukan bersama adik-adiknya, kahanggi marga Harahap asal Hanopan
(Sidangkal) di Bunga Bondar, dan lainnya. Adapun perjalanan yang beliau laksanakan
ialah hi-jrah marga Harahap dari Bunga Bondar ke Hanopan (Sipirok) yang Amang
Tobang lakukan ber-sama adik-adiknya, kahanggi Sidangkal, serta lainnya di waktu
yang silam. Sebelumnya, marga Harahap Hanopan (Sidangkal) terpaksa meninggalkan
kampung halaman mereka di Tanah Ang-kola oleh meluasnya Perang Paderi
(1825-1838) yang akhirnya merambah Tanah Angkola dari Sumatera Barat. Keadaan
ini menyebabkan mereka yang berseberangan faham terpaksa mening-galkan kampung
halaman untuk mencari perlindungan. Meski serdadu-serdadu Belanda kemu-dian datang
menyerang untuk mengalahkan kaum Padri, tetapi zaman Hindia Belanda lalu me-landa
Tanah Batak akhirnya.
Dengan datangnya pemerintah Hindia
Belanda ke Tapanuli, zaman keemasan para Raja Batak kemudian berlalu, namun
Amang Tobang banyak mewarisi pengalaman dan pengetahuan kakek: Demar Harahap,
gelar Ja Manogihon dengan istrinya Boru Pohan dari Parau Sorat, ketika itu mengungsi
dari Angkola menuju Lobu Sinapang di Padang Bolak. Begitu juga dari ayahanda:
Ja Alaan Harahap, gelar Tongku Mangaraja Hanopan dengan ibunda Bolat Siregar di
Bunga Bondar. Amang Tobang Baginda Parbalohan memang lahir di Bunga Bondar, dan
bernama kecil Sengel Harahap, serta dibesarkan di kampung moranya sendiri. Beliau
juga sempat mengenyam pendidikan sekolah Gouvernement di Sipirok yang dibuka
pemerintah Belanda. Pada saat kampung Bunga Bondar bertambah jumlahnya, tidak
jarang Raja Marga Siregar menawarkan kesem-patan pada warga kampung mamungka
Huta (mendirikan Kampung) yang baru guna mengatasi persoalan tempat tinggal dan
lahan tempat mencari nafkah. Amang Tobang sebagai anakboru Bunga Bondar, juga mendapat
tawaran mamungka huta yang baru, dan beliau bersama adik-a adik dan kahanggi
dari Sidangkal serta lainnya, lalu membuka pemukiman baru di tempat yang kini
dikenal dengan Hanopan (Sipirok). Beliau pun lalu diangkat warga menjadi Raja
Pamusuk (RP) yang pertama di kampung yang baru dipungka, oleh keberhasilan mendirikan
kampung ha-laman marga Harahap yang baru, pengganti yang hilang dalam Perang
Padri silam.
Banyak pengalama disampaikan
Amang Tobang kepada ketiga putranya, terlebih beliau saat itu seorang
Raja Pamusuk (RP) di kampung marga Harahap yang belum lama dipungka ketika itu.
Sejak beliau masih berada di kampung moranya, Amang Tobang telah menaruh minat
berat menjadi seorang yang menguasai Adat Batak Tanah Angkola. Amang Tobang
mengajarkan kepada semua orang apa yang dinamakan: ”Tua ni na mangholongi, ni
haholongi” (Untung seorang penyayang akan disayangi orang). Amang Tobang juga
memperlihatkan kepada semua kahanggi termasuk anak-anaknya dan para cucu semua,
apa yang diperolehnya tentang Adat Batak di bumi ia lahir dan dibesarkan, yakni:
“hormat mar mora” (menghagai mora), ialah keluarga marga Siregar dari Bunga
Bondar yang telah mendatangkan Ina (Ibu) kepada marga Harahap berdiam di
Hanopan yang turun-temurun; ”manat mar kahanggi” (pandai-pandailah hidup
bersaudara) mulai dari: Bunga Bondar, Hanopan, hingga ke Panggulangan, demi memelihara
keutuhan berkerabat lingkungan Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga); “elek mar
anak boru” (pandai-pandailah me-ngambil hati para menantu dari kampung Simarpinggan
dan kampung lainnya, dimanapun me-reka berdiam.
Adapun kakek Amang Tobang Baginda
Parbalohan ialah: Demar Harahap, gelar Ja Manogihon, pada waktu yang silam dikhabarkan
tinggal di kampung “Hanopan”, yang bertetangga dengan kampung “Sidangkal”, di pinggir
jalan menuju Simarpinggan dari kota Padang Sidempuan, kini sudah menjadi bagian
dari kecamatan Padang Sidempuan Barat. Sedangkan ayahnya Ja Alaan Harahap,
gelar Tongku Mangaraja Hanopan. Karena Perang Padri telah merambah masuk ke Ta-nah
Angkola, maka keluarga Demar Harahap, gelar Ja Manogihon, bersama Istri dan
empat o-rang anaknya (empat orang putri: Neser Harahap, Singkam Harahap, Tona
Harahap, Nentes Ha-rahap) dan seorang laki-laki (Ja Alaan Harahap), terpaksa
mengungsi meninggalkan kampung halaman mereka menuju Lobu Sinapang, di Luhat
Harangan, daerah Padang Bolak.
Meski tampaknya pemerintah Hindia
Belanda, tidak berusaha untuk mencampuri urusan pemerintahan kampung yang ada
di Tanah Angkola, semuanya masih berjalan menurut Adat Batak se-tempat demi
kesejahteraan masyarakat dan kerukunan hidup warga Tanah Angkola, terkecuali kewajiban
membayar belasting (pajak) dan bekerja rodi, akan perlahan-lahan pemerintah
Belan-da yang berkuasa turut pula mencampuri urusan yang berhubungan dengan
siapa yang sebaiknya diangkat menjadi “Kampong Hoofd” (Kepala Kampung). Istilah
akhir ini memang buatan Belan-da untuk membangun hubungan erat dengan Hakuriaan
(Kekuriaan), yakni Luhat bentukan pemerintah Belanda beserta kampung-kampung yang
ada di dalamnya agar berjalan dengan harmonis. Selama menjabat sebagai Raja
Pamusuk, Amang Tobang berkantor di bagian depan rumah kediamannya, yakni “Bagas
Godang” Hanopan. Berhadapan dengan Bagas Godang Hanopan, diseberang jalan, terdapat
“Sopo Godang” Hanopan, dimana semua pertemuan keperluan kampung diselenggarakan.
Foto kenangan Amang Tobang: Sengel Harahap (1846-1928), gelar Baginda
Parbalohan bersama Inang Tobang: Giring Siregar, gelar Ompu ni Sutor, tidak berhasil
ditemukan sepeninggal beliau berdua. Dengan demikian, generasi penerus tidak
dapat menge-tahui bagaimana wajah keduanya.
Inang Tobang Ompu ni Sutor, adalah Boru Regar dari Bunga Bondar putri Ja Diatas
Siregar.
Pada bulan Desember tahun 1927,
Amang Tobang Baginda Parbalohan menyiapkan rombongan keluarga yang berniat menunaikan rukun Islam
ke-5 dengan menunaikan ibadah Haji ke Madinah dan Mekah di Saudi Arabia.
Rombongan yang akan berangkat terdiri dari: beliau sen-diri; istri beliau, karena
Inang Tobang Ompu ni Sutor telah lebih dahulu berpulang ke rakhma-tullah, maka digantikan
oleh istri yang baru: Ompu ni Kasibun; adik dari bunga Bondar: Kam-pung
Harahap, anak dari Hanopan: Rachmat Harahap, serta cucu dari Hanopan: Nurdin
Harahap. Mereka berlima menunaikan ibadah Haji ke Madinah dan Mekah dengan naik
kapal laut lewat Belawan. Perjalanan menunaikan Ibadah Haji berlangsung lancar
hingga dengan melaksanakan Tawaf Wada sebagai
persiapan kembali ke Tanah Air. Usai menunaikan Ibada Haji ke Tanah Suci di Mekah
dan Madinah, Amang Tobang Baginda Parbalohan
mendapat nama/gelar Islam:
Tuan Syekh Muhammad Yunus.
Dalam perjalanan pulang ke
Tanah-Air, dalam kendaraan yang mengantarkan rombongan dari Mekah menuju
Jeddah, beliau merasa tidak sehat mengutarakan kepada adiknya. Sang adik lalu
memeluk erat Abangnya meski ada pertanyaan dari pemilik kendaraan akan
kesehatannya. Ru-panya Amang Tobang telah berpulang ke Rachmatullah dalam
perjalanan menuju Jeddah, lalu setibanya di kota pelabuhan Arab Saudi itu, beliau
lalu dimakamkan di tempat pemakaman umum. Dalam perjalana hidup Amang Tobang Baginda
Parbalohan dengan Inang Tobnag Ompu ni Sutor, mereka memperoleh karunia 3
(tiga) orang anak, semuanya laki-laki, lahir di Bunga Bondar lalu dibesarkan di
Hanopan hingga dewasa. Ketiganya mendapat pendidikan Sekolah Gouvernemen di
Sipirok, kemudian berkeluarga. Amang Tobang dan Inang Tobang sempat me-nyaksikan
kelahiran para cucu, laki-laki dan perempuan, yang tumbuh cepat menjadi
besar pada ketika itu di kampung Hanopan.
Akhirnya, tadak ada gading yang
tidak retak, maka apabila dalam perjalanan hidup Amang Tobang: Baginda
Parbalohan dengan Inang Tobang: Ompu ni Sutor silam terdapat prilaku maupun perbuatan,
dan hal-hal yang lain, kurang berkenan bagi hati kahanggi, anakboru, dan mora, demikian
pula pula lainnya, sudilah kiranya semua memaafkan kekurangan dari keduanya.
Dalam lu-buk hati kami pomparan (keturunan) paling dalam tetap bersemayam rasa
syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Allah Subhanahu Wataala
yang sudah menganugerahkan kepada kami: Amang Tobang Baginda Parbalohan dan
Inang Tobang, sebagaimana apa adanya dan sangat kami cintai.
Zaman Hindia Belanda
Pendahuluan
Belanda masuk ke Tanah Batak dan
tiba di Angkola dari Sumatera Barat pada tahun 1833, masih dalam hiruk pikuk Perang
Paderi (1825-1838) yang belum reda berkecamuk. Karena itu dapat dimengerti,
mengapa serdadu-serdadu Belanda mendapat sedikit perlawanan dari Raja-raja setempat
ketika menyeberang dari Sumatera Barat menuju Tapanuli lewat Rao di Mandailing.
Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan, guna menyatakan
keberadaannya di Tanah Batak. Setahun kemudian, Belanda membentuk pemerintahan
sipil di Tanah Batak yang ketika itu masih dipimpin seorang Asisten Residen yang
berkedudukan di Natal.
Dengan demikian penjajahan Belanda
atas Tanah Batak berarti telah dimulai, dan zaman pemerintahan Hindia Belanda
di Tanah Batak pun sudah berjalan. Memasuki zaman Hindia Belanda, Padang
Sidempuan menjadi kota besar di Tanah Angkola, sekaligus pusat pemerintahan
Hindia Be-landa yang mengatur Afdeeling Tapanuli Selatan, sekaligus ibukota
afdeeling tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian
mengakhiri keberadaannya di Tanah Batak dengan kedatangan serdadu-serdadu
Jepang yang menyerbu dari semenanjung Malaya, lalu menyeberang selat Malaka masuk ke Nusantara di awal
Perang Dunia ke-II silam. Tentara Jepang menghalau pe-merintah Hindia Belanda
berkedudukan di Sibolga harus keluar meninggalkan Tanah Batak, dengan memaksa
Generaal-Majoor Overtrakker yang terdapat di Pulau Sumatera menyerah tidak
bersyarat pada tanggal 28 Maret 1942 pada Jepang tidak terlalu jauh dari
Kotacane, menye-babkan penjajahan Belanda atas Tanah Batak berjalan 109 tahun
lamanya.
Desa Asal
Bunga Bondar dimana Amang Tobang
lahir dan dibesarkan ialah sebuah desa yang terdapat di tepi jalan-raya yang
menghubungkan Sipirok di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Soborong-borong di
Kabupaten Tapanuli Utara, melalui kota-kota: Sipagimbar, Pangaribuan, dan
Sipahu-tar. Jalan-raya ini awalnya sebuah lintasan rimba yang biasa dilalui
warga yang bepergian antar kampung, lalu oleh pemerintah Hindia Belanda diubah
menjadi jalan-raya yang dapat dilalui kendaraan bermotor menghubungkan
Onderafdeeling (sub-bagian) Tapanuli Selatan dengan Onderafdeeling Tapanuli
Utara, lalu dikenal dengan istilah: “jalan pahulu”. Adapun jalan-raya lain,
yang juga menghubungkan kedua Onderafdeeling, ialah yang menghubungkan
Sipirok dengan Tarutung lewat Sarulla dan Onan Hasang dikenal dengan
istilah: “jalan pahae”. Kedua jalan-raya ini lalu menjelma menjadi jalan
penghubung sekaligus uratnadi ekonomi kedua onderafdeeling yang disebutkan,
yakni Tanah Angkola yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Tanah Toba
yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Utara.
Peta
Kabupaten Tapanuli Selatan
DAS (Daerah Aliran Sungai) Aek Silo
Kampng Hanopan
DAS (Daerah Aliran Sungai) Aek Silo
Kampng Hanopan
RUMAH/BANGUNAN DI HANOPAN
--------------------------------------------------
I. Rumah/Bangunan sebelum Perang Dunia ke-II
1. Rumah
Amang Tobang Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan, Tuan Sjech Muhammad
Yoenoes, Ompu ni Soetor. Bagas Godang Hanopan.
- Ompung Abdul Hamid Harahap, gelar Sutan Hanopan, Tuan Datu Singar, Ompu ni
Amir.
-
Ayah Sutor Harahap, gelar Baginda
Pandapotan, Ompu ni Iwan.
-
Abang Sangkot Muhammad Sjarif Ali Tua
Harahap, gelar Mangaraja Hanopan.
2. Rumah
Amang Tobang Sogi Harahap, gelar Baginda Soripada, Ompu ni Nunggar.
-
Ompung Adong Harahap, gelar Sutan
Sonanggaron, Ja Balau.
3. Rumah
Amang Tobang Lilin (Sutor) Harahap, Baginda Malim Muhammaf Arief, Ompu ni Sori.
-
Ompung Saribun Harahap, gelar Sutan Martua, Ompung Ja Kidun.
-
Uda Rusli (Cino) Harahap.
4. Rumah
Amangtobang Manis Harahap, gelar Baginda Malim Marasyad, Ompu ni Sindar.
-
Ompung Bangun Harahap, gelar Mangaraja
Naposo.
-
Uda Mara Indo Harahap.
5. Rumah
Amang Tobang Paian Harahap, gelar Baginda Malim Moehammad Nuh, Dja Taris, Ompu
Daim.
- Ompung Hadam Harahap, Lobe Yakin.
-
Uda Sangkot, H. Abdul Rahim Harahap,
gelar Baginda Taris Muda.
6. Rumah
Amang Tobang Pardo Harahap, gelar Baginda Pangibulan, Ompu ni Kaya.
-
Ompung Ismail Harahap, Ja Lobe, Ompu ni
Alibosar.
7. Rumah
Amang Tobang Gardok Harahap, gelar Baginda Malim Muhammad Rakhim, Ja Simin.
-
Ompung Togu Harahap, gelar Mangaraja
Sianggian, Ja Mangatur.
-
Uda Lokot, gelar Baginda Pangibulan.
8. Rumah
Ompung Kasim Harahap, gelar Tongku Mangaraja Elias Hamonangan, Ompu ni Paulina.
- Diwariskan kepada Uda Dimpu Harahap,
gelar Baginda Parbalohan Naposo,
-
Anggi Hanopan Harahap.
9. Sama
dengan nomor 8 di atas, tetapi diwariskan kepada:
- Uda Toga Mulia Harahap, gelar Baginda Mulia.
- Anggi Amru Bachrum Paranginan Harahap.
10. Rumah
Ompung Rachmat Harahap, gelar Sutan Habonggal, Haji Abdullah Umar,
Ompu ni Mina.
-
Uda Zainuddin Harahap, gelar Baginda
Pardomuan.
11.
Rumah Ompung Borkat Harahap, Ja Mukobul, Ompu ni Pendi.
12.
Rumah Ja Siantar Batubara, Sengko Batubara.
13.
Kedai Ompungng Ismail Harahap, gelar Ja Lobe.
14.
Rumah Malim Muhammad Arif Harahap, Sormin Harahap.
15.
Sopo Godang Kampung Hanopan.
16.
Rumah Baginda Maripul Harahap, Imbalo Harahap, Ja Bahaman.
17.
Rumah Guru Sapala Siagian, Mulia Siagian, gelar Bgd. Humaliang.
18.
Rumah Ja Soritua Siregar.
19.
Kedai Ja Soritua Siregar, Tamar Siregar.
20.
Rumah Ja Aman Harahap dari Padangbujur, Burhanuddin Harahap.
21.
Rumah Ja Bahal Batubara, Syahban Batubara.
22.
Rumah Amangboru Rosip Pohan, gelar Ja Doktor.
23.
Madrasah Kampung Hanopan.
24.
Rumah Ja Lubuk Nasution, Tohar Nasution.
25.
Rumah Daud Nasution.
26.
Surau Kampung Hanopan.
27.
Mesjid di Kampung Hanopan.
28.
Sekolah Dasar di Kampung Hanopan.
29.
Rumah Ompu ni Aminuddin, Panggorengan.
30.
Rumah Mahodum Batubara.
31.
Rumah Basari Batubara, Ja Kulabu.
32.
Rumah Rajap Batubara, bangunannya sudah hilang.
33.
Rumah Ja Mandaun Pohan.
34.
Rumah Sutan Barumun Muda Siregar dari Sibadoar, pindahan dari
Sibolangit,
bangoenannya telah hilang.
35.
Rumah Uda Roup Harahap, gelar Baginda Paraduan.
36.
Rumah Sutan Pangaribuan Harahap.
37.
Vervolgschool 5 tahun Kampung Hanopan, Sekolah Rakjat Hanopan.
38.
Rumah Mara Pohan.
39.
Kedai Mara Pohan.
40.
Rumah Mara Inggan Pohan, pindah ke Simangambat Mandailing.
41.
Rumah Ja Parlaungan Harahap.
42.
Rumah Nan Sere, gelar Ja Riapan, pernah terbakar pada zaman Jepang.
(Terbakar sekitar
tahun 1959)
43.
Rumah Uda Baginda Harahap (Baginda Aek Hopur), tidak ditempati.
44.
Rumah Ja Hatunggal Harahap.
45.
Rumah Muhammad Lazim Harahap.
46.
Rumah Ja Paranginan Harahap.
47.
Kedai Ja Paranginan Harahap.
48.
Pemakaman Kampung Hanopan.
- Bale Jae: Tempat Amang Tobang
Tongku Mangaradja Hanopan disemayamkan.
- Bale Julu: Tempat Ompoeng Soetan
Hanopan, Ompung Mangaraja Elias Hamonangan
dan lainnya disemayamkan.
49.
Rumah Ja Kariaman Harahap, Ja Haruaya Harahap.
50.
Rumah Kalimangayun Pohan dari Lancat Jae. Ibunja Mayur Harahap dari
Panggu-
langan.
51.
Rumah Ja Marliun Harahap.
52.
Kedai Ompung Ismail Harahap, gelar Ja Lobe.
53.
Kedai Sutan Pangaribuan Harahap.
54.
Rumah Sahir Harahap.
55.
Rumah Lolotan Harahap.
56.
Rumah Sayur Batubara, gelar Solonggahon dari Napompar.
57.
Kedai Sutan Pangaribuan Harahap, telah hilang.
58.
Rumah Amangboru Zainudding Simatupang, Siti Angur Harahap.
59.
Rumah Sutan Mangalai Harahap.
60.
Rumah Tahim Harahap.
61.
Kedai Ompung Ismail Harahap, gelar Ja Lobe.
62.
Rumah Uda Marip Harahap, lalu dijual pada Uda Marajali Harahap.
63.
Rumah Zainuddin Harahap, gelar Baginda Pardomuan.
64.
Rumah milik Ompung Haji Abdullah Umar, gelar Sutan Nabonggal.
65.
Rumah Ja Solonggahon Batubara yang pindah dari Napompar.
66.
Bangunan Mesin Giling Padi Ompung Haji Abdullah Umar.
II. Rumah/bangunan berdiri setelah Perang
Dunia ke-II.
67. Rumah Tahim Harahap.
68.
Rumah Horas Siregar.
69.
Rumah Taradin Siregar.
70.
Rumah petak dibangun oleh Sahat Pohan.
71.
Rumah petak dibangun Sahat Pohan.
72.
Rumah petak dibangun Sahat Pohan.
73.
Rumah petak dibangun Sahat Pohan.
74.
Rumah dibangun oleh si Jolil.
75.
Rumah dibangun bersama oleh: Ja Sumuran, Ja Lobe, dan Ismail.
76.
Kedai B.S.P Harahap, dipinjam, diperbaiki, dan dipakai oleh Sahat Pohan.
77.
Tanah milik B.S.P.Harahap, dipinjam dan dibangun bersama oleh Sukarti
dan
Ja Marangin.
78.
Tanah milik Ja Manahan Pohan, dan dibangun oleh anaknya.
79.
Rumah Siddik Pohan, gelar Ja Manahan.
80.
Tanah milik Sahat Pohan, dibangun oleh anaknya si Halim.
81.
Tanah milik amangboru Ja Doktor dibangun anaknya si Bonor.
82.
Tanah milik O.Tetty dibangun oleh anaknya si Himpun.
83.
Tanah milik O.Tetty dibangoen oleh anaknya si Himpun.
84.
Rumah dibangun Baha Pane dari Pagaran Tulason.
85.
Tanah milik Ompung Ratus Harahap, gelar Sutan Pangaribuan, dibangun
anaknya
Uda Morai Harahap, gelar Baginda
Sojuangon.
86.
Rumah dibangun guru Siagian.
87.
Rumah dibangun Musla Harahap.
88.
Rumah dibangun Paruhuman Simatupang, suami si Nanna.
89.
Rumah dibangun oleh Uda Haposan Harahap.
90.
Rumah dibangun oleh Uda Maren Harahap.
91.
Rumah Hasan Pohan.
92.
Rumah Uda Pengeran Harahap.
93.
Rumah Uda Gomuk Harahap.
94.
Rumah dibangun Uda H. M. Diri Harahap S.H., gelar Baginda Raja Mulia
Pinayungan.
95.
Rumah dibangun Ja Bahaman. (Rumah dibangun Mangaraja Sopujion (Aspan
Harahap)
Abang dari Ja Bahaman).
96.
Rumah dibangun Maujalo Harahap, gelar Baginda Soripada Panusunan.
97.
Rumah dibangun Haji Nurdin Harahap untuk anaknya si Muhiddin.
98.
Rumah dibangun Pijor Pane.
99.
Rumah dibangun Marasaip, pendatang dari Tanjung.
100.
Rumah dibangun Ja Lambok, pendatang dari Bahap.
101.
Rumah dibangun Siti Syarifah Harahap, boru Baginda Soripada Panusunan.
102.
Rumah dibangun marga Gultom, seorang pendatang ke Hanopan.
103.
Rumah dibangun Natsir Simatupang dari Pagaran Tulason.
104.
Rumah dibangun Pangkal dari Pagaran Tulason.
105.
Rumah dibangun marga Sinambela dari Pangkaldolok.
106.
Rumah dibangun anak Ja Lambok.
107.
Rumah dibangun Alimuddin, anak Ja Pidjor dari Pagaran Tulason.
108.
PUSKESMAS Kampung Hanopan hasil usaha Uda H.M.Diri Harahap, gelar
Baginda
Raja Mulia Pinayungan.
109.
Rumah dibangun Nawi Harahap.
110.
Rumah dibangun guru Riduan Pohan.
111.
SMA Negeri Hutapadang di Kampung Hanopan.
112.
Rumah marga Sihombing, seorang perawat berasal dari Siborong-borong.
113.
Kantor Pos Hutapadang.
Baginda Parbalohan
Kini desa Bunga Bondar, darimana
Amang Tobang Baginda Parbalohan berasal, terletak di Ke-camatan Arse, Kabupaten
Sipirok. Amang Tobang adalah putra sulung, tetapi anak kedua dari enambelas
orang bersaudara, lahir dari dua ibu, bernama kecil Sengel Harahap. Amang
Tobang lahir di Bunga Bondar pada tanggal…
bulan… tahun 1846 dan dibesarkan juga di kampung yang sama. Ayahnya: Ja Alaan
Harahap, gelar Tongku Mangaraja Hanopan, dan ibunya Bolat Siregar, gelar Naduma
Parlindungan, putri Raja Mampe, dari Bunga Bondar, cucu dari Sutan Diapari.
Amang Tobang kemudian bersama 6 (enam)
orang adaik-adiknya, membawa kedua orang tua mereka hijrah (pindah) ke Hanopan
dari kampung Bunga Bondar, dan berdiam di Hanopan (Si-pirok) sampai akhir hayat
mereka. Amang Tobang Sengel Harahap (1846-1928), gelar Baginda Parbalohan, ialah
marga Harahap yang awalnya berdiam di Bunga Bondar bersama kedua orang tuanya,
adalah anakboru dari Sutan Diapari Siregar. Lalu setelah mendapat kesempatan dari
Raja Panusunan Bulung (RPB) marga Siregar yang berkuasa di Luhat Sipirok,
berhasil mamungka (mendirikan) kampung yang baru untuk marga Harahap, dan
diangkan menjadi Raja Pamusuk (RP) pertama kampung itu. Kampung yang baru
terdapat di Luhat Sipirok mereka namakan Ha-nopan, diambil dari nama kampung Hanopan
didekat kampung Sidangkal terdapat di jalan-raya menuju Simarpinggan dari kota Padang
Sidempuan, guna mengenang kampung asal Demar Ha-rahap, gelar Ja Manogihon,
kakek Baginda Parbalohan, sebelum meletusnya Perang Padri yang lalu berkecamuk dan
meluas memasiki Tanah Angkola. Bagi marga Harahap dengan kahanggi dan anakboru
serta kerabat lainnya, Hanopan (Sipirok) ini telah menjadi pengganti kampung Hanopan
lama dekat kampung Sidangkal yang telah hilang silam.
Ini adalah
foto keponakan Baginda Parbalohan
yang paling menyerupai beliau.
Amang Tobang Baginda Parbalohan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga berpengaruh di kampung Bunga Bondar dari
Luhat Sipirok. Ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan Adat Batak Tanah Angkola
yang masih kental, yang membentuknya menjadi seorang penggemar Adat Batak berat
di tempatnya berdiam. Pada awalnya ia magang berdagang kain, dan menggeluti
pekerjaan itu tetapi juga membekali diri dengan pengetahian dan adat istiadat
yang berlaku di daerat Angkola. Akumulasi pengetahuan Adat Batak Angkola diperoleh
dari mengikuti bermacam perhelatan di kampung Bunga Bondar, dan kampung-kampung
lain yang berdekatan, me-nyadarkan dirinya akan perlu adanya kampung yang baru
untuk marga Harahap pengganti kam-pung yang hilang silam. Selain dari itu, ia
juga melihat bahwa kampung Bunga Bondar pun telah semakin padat padat warganya,
karena telah menjadi pusat pemerintahan Luhat. Maka ketika Raja Panusunan
Bulung (RPB) marga Siregar dari Bunga Bondar sebagai penguasa Luhat Sipirok
membuka kesempatan pada warganya mamungka kampung yang baru, anakboru marga
Siregar di kampung itu pun beroleh kesempatan yang sama. Itulah sebabnya
mengapa Sengel Hara-hap, gelar Baginda Parbalohan, anak sulung Ja Alaan Harahap,
bersama adik-adik dan kerabat lainnya lalu meninggalkan Bunga Bondar dalam
rombongan masuk kedalam rimba membawa bermacam perbekalan untuk mendirikan
kampung yang baru. Dengan demikian akan terbuka tempat tinggal yang baru, dan
lahan tempat nencari nafkah baru, yang akan diwariskan kepada a-nak cucu yang
datang kemudian.
Pada pagi hari disepakati mereka pun
berangkan meninggalkan kampung Bunga Bondar menuju rimba menelusuri jalan yang
biasa dilewati penduduk bepergian antar kampung Luhat Sipirok. Mereka harus menerobos
hutan lebat untuk sampai di kaki Dolok Nanggarjati, dimana kampung yang akan
dipungka diperkirakan terletak, tidak jauh dari kampung Huta Padang yang belum
lama ada. Pada ketika itu di Bunga Bondar Sutan Ulubalang masih menjadi Raja Panusunan
Bulung yang memerintah, dan setelah wafat digantikan oleh adik kandungnya
Sutan Doli. Raja Panusunan Bulung di Bunga Bondar ketika itu sedang menghadapi
serangan serdadu-serdadu Belanda yang datang dari Sipirok, setelah mereka berhasil
masuk ke Tanah Batak dari Sumatera Barat lewat Mandailing dalam Perang Paderi yang
mendapat perlawanan yang tidak berarti.
Belanda perlu menaklukkan Raja
Panusunan Bulung (RPB) Luhat Sipirok yang berpusat di Bunga Bondar ketika itu
oleh kedudukan strategisnya terletak di jalan yang biasa dilalui penduduk yang menghubungkan
Tanah Angkola di wilayah tengah dengan Tanah Toba di Utara. Setelah berperang
melawan serdadu-serdadu Belanda 4 tahun lamanya, maka pada tahun 1851 Belanda
berhasil mematahkan perlawanan Sutan Doli yang ketika bertakhta sebagai Raja
Panusunan Bu-lung (RPB), lalu menyingkirkan para penantangnya di kampung marga
Siregar itu ke pembu-angan sampai ke Tanah Jawa. Lebih dari satu abad kemudian,
dalam masa agresi militer Belanda yang ke-II, pada tahun 1945 serdadu-serdadu Belanda
kembali datang ke Bunga Bondar untuk menduduki kampung marga Siregar keturunan
Ja Lubuk, gelar Ompu Raja Lintong Soruon itu kedua kalinya, akan tetapi kampung
itu telah ditinggalkan warganya untuk melakukan perlawa-nan berperang
gerilya.
Setelah berhari jalan-kaki, tibalah
rombongan Amang Tobang ke sebuah tempat yang dinamakan orang: “Hayuara Bodil”,
tidak jauh dari kampung Arse Jae yang ada sekarang. Mereka mencoba bertanam
benih yang dibawa dari bunga Bondar: padi, jagung, dan lainnya, karena ingin
menge-tahui apakah tempat yang ditemukan baik untuk dijadikan tempat membangun
kampung untuk tempat bermukim. Kawasan mereka jelajahi pada saat itu masih tergolong
rimba belantara yang dikatakan orang berhantu, juga dimana harimau Sumatera menemukan
mangsa. Akan tetapi usaha mereka berhari
menanam bibit tenyata gagal samasekali, karena tidak ada yang tumbuh. Rom-bongan
Amang Tobang lalu pindah, untuk mencari tempat yang lain, dan setelah berjalan ke
arah Selatan tibalah mereka di suatu tempat yang disebut orang: “Padang Suluk”,
tidak jauh dari Huta Padang yang sekarang. Pada tempat baru ini, mereka juga
berusaha menanam benih yang dibawa, namun setelah berhari dinantikan benih-benih
tidak juga berhasil tumbuh. Kemudian rom-bongan Amang Tobang pindah lagi, dan kini
agak ke bagian tengah untuk mencoba tempat lainnya, dan ternyata pada tempat akhir
ini, yang ketiga, bibit-bibit yang ditanam berhasil tumbuh dengan suburnya.
Rombongan Amang Tobang lalu untuk memutuskan
mendirikan kampung di tempat yang akhir ini, lalu menamakan tempat itu:
“Hanopan” di Luhat Sipirok, guna mengenang kampung Hanopan dekat kampung Sidangkal
yang ditinggalkan Kakek dan Ayahanda Amang Tobang Baginda Parbalohan, saat
Perang Paderi berkecamuk dan merambah masuk ke Tanah Angkola silam. Lebih dari
dua tahun lamanya rombongan Amang Tobang mengembara meninggalkan keluarga mereka
di Bunga Bondar, sebelum kembali pulang mengabarkan keberhasilan mereka mamungka
huta atau mendirikan kampung yang baru. Bagi pomparan Tongku Mangaraja Hanopan
yang lahir kemudian, kampung Hanopan yang terletak dekat kampung Sidangkal, di
tepi jalan dari kota Padang Sidempuan menuju ke kampung Simarpinggan, ialah “kampung
asal” dari marga Harahap dan boleh disebut sebagai:“Hanopan-1”, sedangkan kampung
Hanopan yang terdapat di Luhat Sipirok yang dipungka Amang Tobang Baginda
Parbalohan bersama rombongannya, ialah kampung marga Harahap yang berasal dari
Hanopan-1, kini dinamakan: “Hanopan-2”.
Kedua kampung Hanopan telah menjadi
tempat berharga bagi pomparan (keturunan) Ja Alaan, gelar Tongku Mangaraja
Hanopan dimanapu mereka berada. Adapun jalan rimba yang dilalui rombongan Amang
Tobang silam, telah diubah pemerintah Hindia Belanda menjadi “sebagian jalan-raya” yang menghubungkan Sipirok, di
Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan Siborong-borong, di Kabupaten Tapanuli
Utara. Adapaun sejumlah kampung yang dilalui jalan-raya bikinan pemerintah
Hindia Belanda ini, ialah: Bunga Bondar, Hanopan-2, Simangambat, Sipagimbar, Pa-ngaribuan,
dan Sipahutar. Pemerintah Hindia Belanda telah mengerahkan penduduk untuk be-kerja
rodi (paksa) mengubah jalan rimba yang telah dilalui penduduk menjadi
jalan-raya yang dapat dilalui kendaraan bermotor.
Setelah sejumlah persyaratan Adat
Batak di Tanah Angkola dipenuhi, maka pada tanggal 23 De-sember 1885, Hanopan-2
yang dipungka oleh marga Harahap dari Bunga Bondar terdapat di Luhat Sipirok
lalu diresmikan jadi “Huta”, sekaligus “Bona Bulu” marga Harahap yang
mendiri-kannya. Pada saat peresmian Hanopan-2, Amang Tobang Sengel Harahap,
gelar Baginda Parba-lohan, diangkat menjadi Raja Pamusuk pertama di kampung
marga Harahap Luhat Sipirok, saat beliau
menginjak usia: 39 tahun. Amang Tobang yang berpendidikan: Sekolah Gouvernement
di Sipirok silam, lalu menjadi Raja Pamusuk pertama di Hanopan (Sipirok) sesuai
Adat Batak yang berlaku di Tanah Angkola, mulai dari tahun 1885, dan memimpin
kampung itu 43 tahun lama-nya, dari tahun 1885 hingga tahun 1928 silam.
Memasuki alam kemerdekaan di Tapanuli, pemerintah Negara
Repubik Indonesia (NRI) di Kere-sidenan Tapanuli dengan ibukotanya Tarutung,
kemudian mengeluarkan ketetapan Residen Ta-panuli dengan No.: 274 tertanggal 14
Maret 1946, dan No: 1/D.P.T. tertanggal 11 Januari 1947 yang ditandatangani oleh
Dr. Ferdinand Lumban Tobing. Adapun isi keputusan Residen Tapanuli psds ketika
itu ialah sebagai berikut: Para Raja yang menjabat di pemerintahan, maupun mereka
yang masih berhubungan dengan kegiatan publik di seluruh Tanah Batak, apapun
jabatan yang diemban, maka dengan ini diberhentikan dengan hormat, dan disertai
ucapan terimakasih. Para penyelenggara pemerintahan yang kemudian menggantikan,
akan dipilih dengan cara demo-kratis. Dengan
demikian seluruh jabatan Kampong Hoofd (Kepala Kampung) warisan dari peme-rintah
Hindia Belanda di Tapanuli sebelum Perang Dunia ke-II silam, diambil alih oleh peme-rintah
NRI di Tanah Batak, dan berlaku hingga dengan penyerahan kedaulatan NRI dari pe-merintah
Belanda. Catatan tanggal peresmian Hanopan menjadi “Huta” marga Harahap masih
dapat dibaca pada sebuah tiang penyangga Sopo Godang Hanopan.
Surat Keterangan Kampong Hoofd
Setelah Arse, Huta Padang, dan
Hanopa dipungka, kemudian bermunculan pula kampung-kam-pung lain dalam DAS
(Daerah Aliran Sungai) Aek-Silo, seperti: Napompar, Roncitan, Huta To-nga,
Simatorkis, Bahap, Purba Tua (Pagaran Tulason), Muara Tolang dan Tapus. Hanopan
dibawah kepimpinan Baginda Parbalohan tidak hanya terkenal dalam DAS Aeksilo,
tetapi juga diluar Luhat Sipirok, bahkan
sampai ke wilayah Mandailing. Baginda Parbalohan memperoleh karunia tiga orang
anak, semuanya laki-laki, masing-masing: Abdoel Hamid Harahap, gelar Soe-tan
Hanopan, juga bernama: Tuan Datu Singar; Kasim Harahap, gelar Mangaraja Elias
Hamonangan; dan Rakhmat Harahap, gelar Sutan Nabonggal. Dengan Inang Tobang
Giring Siregar, gelar Ompu ni Sutor dari Bunga Bondar, ia lalu digantikan oleh
“Inang Tobang panggonti” (peng-ganti) yang bernaama: Ompu ni Kasibun.
Marga Harahap
Keluarga-keluarga yang bermarga
Harahap, baik di Tanah Batak maupun Tanah Perantauan dimanapun berada sesungguhnya
berasal dari tempat yang sama di Bona Bulu, artinya mereka datang dari nenek
moyang pemersatu yang sama oleh kesamaan marga. Akan tetapi karena berbilang
abad telah berlalu, maka sang leluhur pemersatu yang menjadi asal marga, begitu
juga tempat berdiamnya silam sudah tidak lagi dapat ditemukan, maka yang tinggal
hanya nama marga saja. Lalu muncul marga-marga Harahap yang berasal dari bermacam
Huta (Kampung) dan Luhat (Daerah), dan tempat lainnya di Tapanuli. Sementara
itu, terdapat keluarga-keluarga marga Harahap yang menyatakan mereka sebagai “Sipungka
Huta”, dan Huta tempat mereka berasal di Tanah Batak; dilain fihak terdapat
juga keluarga-keluarga marga Harahap yang “bukan Sipungka Huta” dan menyatakan
tempat-tempat mereka berdiam di Tanah Batak, namun memi-liki kekerabatan dengan marga Harahap
yang terdapat di Bona Bulu, maupun Tanah Perantauan.
Kini masih dijumpai
keluarga-keluarga marga Harahap yang tahu dengan benar kampung-kam-pung yang
dipungka para leluhur di Tapanuli dari peninggalan yang diwarikan, antara lain:
Ba-gas Godang (Rumah Adat), sawah, ladang, kahanggi (kerabat), catatan , dan
para saksi. Di lain fihak terdapat juga keluarga-keluarga marga Harahap yang
sudah tidak lagi tahu kampung asal mereka di Tanah Batak lampau, lalu berusaha
mencari asal-usul mereka lewat kekerabatan de-ngan keluarga-keluarga marga
Harahap Sipungka Huta, sejauh yang masih dapat ditelusuri me-lalui kekerabatan
yang masih dapat diketahui tersimpan ingatan atau catatan (tarombo). Begitu
marga-marga Harahap yang telah bergenerasi tinggal di Tanah Perantauan
(Nusantara, atau Mancanegara) juga berupaya menemukan asal usul di Bona Bulu
silam lewat kekerabatan dengan para “Sipungka Huta” menurut garis laki-laki
atau patrilenial, seperti: Ayah, Kakek, A-mang Tobang, dan seterusnya keatas.
Dalam masyarakat Batak dikenal istilah
“Suhut”, yaitu keluarga kecil (keluarga batih) terdiri dari: ayah, ibu, dan
satu atau lebih anak. Selanjutnya ada pula “Kahanggi” untuk menyatakan
kumpulan keluarga bermarga sama, datang dari Ayah, Kakek, Amang Tobang, dan
lainnya keatas yang semarga. Agar kekerabatan tidak hilang ditelan waktu, menjalani
generasi, menem-puh zaman, maka suku-bangsa Batak menyusun:Tarombo (Silsilah
Keluarga). Yang disebut a-khir ini awalnya disuratkan pada: kulit kayu, bilah
bambu, atau lainnya, dalam aksara Batak, dan membentuk bangun piramida. Dalam
bahasa Indonesia tarombo dinamakan juga: “pohon kelu-arga”, terjemahan dari bahasa
Belanda: “stamboom”, atau bahasa Inggris: “family tree”. Tarom-bo dalam masyarakat
Batak merupakan himpunan dari nama Kahanggi yang datang dari satu marga, dalam
hal ini marga Harahap dari Hanopan menurut garis kebapaan, atau patrilenial.
Dengan datangnya agama Islam, masuk
ke Nusantara sekitar abad ke-13 Masehi, dan masuk ke Tanah Batak dalam Perang
Paderi (1825-1838) dan memperkenalkan aksara Arab, tarombo beralih disuratkan
dalam aksara Arab. Dengan diperkenalkannya aksara Latin oleh pemerintah Hindia
Belanda melalui “Sekolah Gouvernemen” menjelang abad ke-20, tarombo yang
disimpan dan dipelihara oleh marga-marga Harahap dari bermacam Huta dan Luhat
di Tapanuli Selatan dialihkan penyuratannya kedalam aksara Latin. Dari tarombo
yang demikian dapat diketahui kekerabatan keluarga-keluarga bermarga Harahap
datang dari berbagai kampung di Bona Bulu hingga dengan mereka yang telah berdiam
di Tanah Perantauan. Melalui tarombo demikian juga dapat diketahui pertalian
darah antara bermacam marga yang terdapat di Tanah Batak yang menjadikan keluarga
besar bernama: “Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga)”, baik yang berdiam di Ta-panuli,
maupun yang telah berada perantauan, Nusantara dan Mancanegara.
Sampai saat ini, tarombo masih
dipelihara dan dikembangkan oleh berbagai marga dalam masyarakat suku-bangsa Batak,
baik oleh mereka yang berdiam di Bona Bulu maupun yang telah berada di Tanah Perantauan,
utamanya oleh mereka Sipungka Huta, baik yang didapat dari pe-ninggalan leluhur
silam, maupun yang dikembangkan kemudian melalui penelusuran ulang oleh
prakarsa mereka yang sadar, untuk disampaikan kepada generasi penerus mulai kampung
halaman di Bona Bulu sampai Tanah Perantauan. Kota Padang Sidempuan berikut
wilayah sekitar-nya merupakan tempat asal marga Harahap di Tapanuli, terdapat
di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dalam wilayah yang luas ini dapat dengan mudah
ditemukan sejumlah kampung asal marga Ha-rahap, antara lain di Utara: Losung
Batu, Hutaimbaru, Siharangkarang, dan lainnya. Di Tengah, didalam kota Padang
Sidempuan itu sendiri: Batuna Dua, juga kampung asal marga Harahap. Di Timur, kini telah masuk kecamatan Padang
Sidempuan Timur: Pargarutan, adalah kampung asal marga Harahap lainnya. Di
Selatan terletak kampung asal marga Harahap yang bernama: Pijor Koling. Di
sebelah Barat kota Padang Sidempuan, kini termasuk dalam kecamatan Padang Si-dempuan
Barat, terdapat lagi kampung Hanopan dan kampung Sidangkal, dua kampung berte-tangga
asal marga Harahap, terdapat di pinggir jalan yang menuju ke kampung Simarpinggan.
Tarombo Marga Harahap
TAROMBO MARGA HARAHAP
HANOPAN (SIDANGKAL)
--------------------------------------------
Generasi Pertama
* Ompu Raja Guru Sodungdangon di Nagasaribu
Generasi Kedua
Keturunan
Ompu Raja Guru Sodungdangon:
* 1. Datu Dalu dengan istri boru Pasaribu
2. Sahang Maima dengan istri boru Lubis
Generasi Ketiga
Keturunan Datu Dalu dari boru Pasaribu:
1. Datu Tala Harahap
* 2. Siaji Malim Harahap di Sibatang Kayu
3. Sarumbosi pergi ke Muara istrinya boru Pasaribu
Generasi Keempat
Keturunan Siaji
Malim di Sibatang Kayu:
* 1. Datu Dalu Ni Bagana di Naga Marsuncang
2.
Tuan Datu Singar
Generasi Kelima
Keturunan Datu Dalu Ni Bagana di Naga
Marsuncang:
* 1. Ompu Sodogoron
Generasi Keenam
Keturunan Ompu Sodogoron:
1. Raja Imbang Desa
di Pijorkoling, dekat Padang Sidempuan.
2. Tunggal Huajan
di Pargarutan, dekat Padang Sidempuan.
3. Ompu Sarudak di Huta Imbaru,
dekat Padang Sidempuan.
4. Bangun Di Batari
di Losung Batu, dekat Padang Sidempuan.
* 5. Bangun Di Babuat
di Hanopan Angkola
6. Hasuhutan Maujalo di Sidangkal Angkola
Generasi Ketujuh
Keturunan Bangun Di Babuat dari Hanopan
Angkola:
* 1. Naga Marjurang
Generasi
Kedelapan
Keturunan Naga Marjurang di Hanopan
Angkola:
* 1. Ja
Gumanti Porang di Hanopan Angkola
2.
Jantan di Sialang Padang Bolak
Generasi Kesembilan
Keturunan Ja Gumanti Porang dari Hanopan
Angkola:
1. Tuan Raja di Sunge Janjilobi
* 2. Tulan Ni Gaja di Hanopan Angkola
3. Suhutan
Harahap di Batu Gondit
Generasi
Kesepuluh
Keturunan Tulan Ni Gaja dari Hanopan
Angkola:
* 1. Ompu Pangaduan
2.
Barunggam
Generasi Kesebelas
Keturunan Ompu Pangaduan dari Hanopan
Angkola:
* 1. Manuk Na Birong
Generasi Keduabelas
Keturunan Manuk Na Birong
dari Hanopan Angkola:
1. Ompu Sumurung
* 2. Nabonggal Muap
Generasi Ketigabelas
Keturunan Ompu Sumurung dari Hanopan
Angkola:
1. Ja Pangaduan
Keturunan Nabonggal Muap
dari Hanopan Angkola:
* 1. Namora Pusuk Ni Hayu
Generasi Keempatbelas
Keturunan Ja Pangaduan:
1. Ja Sumurung
Keturunan Namora Pusuk Ni
Hayu di Bintuju, Padang Bolak:
1. Sutan Humala Namorai di Sialang
2. Jabosi di Sialang
* 3. Parnanggar di Sialang
Generasi Kelimabelas
Keturunan
Sutan Humala Namorai dari Sialang:
1. Mangaraja Ihutan
Keturunan Parnanggar dari Sialang:
* 1. Jasohataon
Generasi Keenambelas
Keturunan Ja Sohataon dari Simapang di Padang
Bolak:
1. Ja Mandais, pindah ke Saba Tarutung
2. Ja Manis, pindah ke Saba Tarutung
3. Ja Bintuju, pindah ke Bunga Bondar
* 4. Toga Ni Aji, pindah ke Hanopan Sidangkal
Generasi Ketujuhbelas
a. Keturunan Ja Mandais di
Saba Tarutung
1. Ja
Pinontar
2. Ja Riar
3. Ja Malera
4. Ja
Somendut
b. Keturunan Ja Manis di Saba Tarutung:
1. Ja Manuga
c. Keturunan Ja Bintuju di Bunga Bondar:
1. Ja Ilani di Bunga Bondar
2. Ja Belengan
3. Baceker
d. Keturunan Toga Ni Aji di
Hanopan dekat Sidangkal:
* 1. Demar Harahap, gelar Ja Manogihon
Sipirok
Setelah pemerintah Hindia Belanda
memperkenalkan perguruan atau sekolah di Tanah-air sejak tahun 1880, maka sepanjang
rentang waktu satu abad lamanya, tidak sedikit putera dan puteri dari berbagai Luhat
dan Huta di Tanah Batak mengenyam sistim pendidikan dari Barat, mulai rendah di
kampung kelahirannya, menjadi: murid Sekolah Gouvernement (Sekolah
Pemerintah) yang dinamakan: Volks School (Sekolah Rakyat) selama 3 tahun:
terdiri dari: kelas I, kelas II, dan kelas III, yang berbahasa Batak setempat dan
bahasa Melajoe, bersurat Latin. Demikian pula sekolah lanjutannya ketika itu,
dinamakan: Vervolg School (Sekolah Sambungan) selama 2 tahun, yang terdiri
dari: kelas IV dan kelas V. Untuk dapat melanjutkan pelajaran ke Vervolg
School, para murid saat itu perlu terlebih dahulu diseleksi melalui ujian
saringan. Kemudian pemerintah Hindia Belanda menyatukan kedua macam pendidikan
di Tanah Batak itu menjadi satu dan seterusnya dinamakan orang di Angkola:
Sekolah Melajoe.
Setelah memasuki usia sekolah Amang
Tobang Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan ke-mudian dikirim oleh jedua orang
tuanya ke Sipirok untuk mengikuti Sekolah Melajoe disana. Dan setelah beliau mendapat
surat: “Tammat Belajar”, istilah yang digunakan orang ketika itu di daerah
Sipirok kepada mereka yang sudah menyelesaikan sekolah Melayoe, dan Amang
Tobang pun kembali ke kampung asalnya, ketika itu masih berdiam di Bunga Bondar.
Kilas Sejarah
Sebelum orang Belanda datang ke
Tanah Batak tahun pada 1833, wilayah itu telah terbagi kedalam berbagai Luhat,
yang setiap daripadanya memiliki pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat
otonom. Mereka belum mengenal adanya kekuasaan datang dari luar yang mengatur
kehidupan Luhat berikut rakyatnya. Diantara sejumlah Luhat yang terdapat di
Tapanuli Selatan ketika itu dapat diketengahkan: Luhat Sipirok, Luhat Angkola,
Luhat Marancar, Luhat Padang Bolak, Luhat Barumun, Luhat Mandailing, Luhat
Batang Natal, Luhat Natal, Luhat Sipiongot dan Luhat Pakantan. Semua Luhat yang
terdapat di Tapanuli menempati kawasan di sebelah U-tara pulau Sumatera, ketika
itu: di Utara berbatasan dengan Tanah Aceh, di Timur berbatasan de-ngan Tanah
Melayu, di Selatan berbatasan dengan Tanah Minangkabau, dan di Barat
berbatasan Samudera Hindia.
Luhat, dinamakan juga Banua, ketika
itu masih merupakan sebuah kesatuan genealogi wilayah, atau territorial, berada
dibawah pemerintahan yang diselenggarakan menurut Adat Batak setem-pat berangkat
dari kekerabatan Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga) sebagaimana tercantum dalam
surat Tumbaga Holing diwariskan leluhur silam. Setiap Luhat maupun Banua,
selain ber-diri sendiri, juga sederajat satu sama lainnya. Pucuk pimpinan Luhat
ialah Raja Panusunan Bu-lung (RPB), awalnya datang dari para keluarga
Sisuan Haruaya (mereka yang menanam pohon Beringin, atau kerabat yang
mendirikan Luhat) di wilayah yang dibicarakan. Dalam kebanyakan Luhat bernaung
sejumlah Huta (Kampung), juga dikenal orang dengan Bona Bulu (“Rumpun Bambu”),
karena memang pada zaman dahulu Huta atau bona Bulu memang berpagar pohon bambu
menjadikannya “rumpun bambu” guna melindunginya dari musuh datang menyerang
dari luar. Sebuah Bona Bulu biasanya membawahi sejumlah Anak Kampung dinamakan
Pagaran (A-nak Kampung), agar kelak pada waktunya dapat pula berkembang menjadi
Bona Bulu.
Huta selain menjadi tempat warga berdiam,
juga lahan tempat mereka mencari nafkah karena terdapat: sawah, ladang;
perairan (sungai, danau, laut), padang, semak/belukar, hutan, lembah, hingga
dengan pegunungan mengitari. Selain dari kebutuhan pangan, bermacam kebutuhan
hidup lainnya, seperti: sandang, papan, dan lainnya dapat diperoleh. Pucuk
pimpinan Huta adalah Raja Pamusuk, awalnya datang dari keluarga-keluarga Sisuan
Bulu (penanam rumpun Bambu atau para pendiri Kampung) dari tempat berdiam. Huta
yang banyak warganya oleh subur tanah-nya, kaya lingkungan alamnya, juga
dipimpin oleh Raja Pamusuk, namun dibantu oleh seorang Kepala Ripe (Kepala
Keluarga).
Raja dalam pengertian masyarakat
Batak bukanlah seorang penguasa sebagaimana yang ditemu-kan dalam buku sejarah
Eropa pada zaman feodal yang dipelajari di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tanah
Air, tetapi adalah seorang yang dihormati dari kalangan yang dikenal dengan: is-tilah
“Hatobangon ni Luhat atau Huta” (Tetua Luhat atau Huta), karena selain ia pandai,
juga mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman hidup; tepatnya seorang bijak
dari kalangan mereka (Primus Interpares) datang dari para keluarga pendiri
Luhat dan Huta. Ia diberi gelar da-lam
Adat Batak: “Haruaya Parsilaungan” (Beringin Tempat Bernaung), di daerah Angkola
dan Sipirok dinamakan orang: “Banir Parkolip-kolipan”, dan di Mandailing
disebut “Banir Paron-ding-ondingan”.
Yang dinamakan “Sistim Pemerintahan Sentralistik”
di Tanah Batak, pertama kali diperkenal-kan oleh pemerintah Hindia Belanda,
dengan menempatkan seorang Asistent Resident Neder-lands Indie (Asisten Residen
Hindia Belanda) di Natal; dilanjutkan dengan menempatkan seorang Resident
Nederlands Indie (Residen Hindia Belanda) di Sibolga. Pemerintah Hindia Be-landa
di Tanah Batak ketika itu merupakan bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang
mengu-asai Nusantara dan berkedudukan di Batavia, pulau Jawa. Adapaun pimpinan
tertinggi pemerin-tah Hindia Belanda di Nusantara ketika itu, ialah
Gouverneur-Generaal Nederlads Indie (Guber-nur-Jenderal Hindia Belanda). Adapun
tugas Gubernur-Jenderal Hindia Belanda saat itu ialah wakil Raja Belanda yang
berkedudukan di Den Haag, Eropa, untuk mengurus tanah jajahan Hin-dia Belanda terdapat
di seberang lautan yang bernama Oost Nederlands Indie (ONI) atau Hindia Belanda
Timur (HBT). Raja Belanda masih memiliki tanah jajahan seberang lautan yang lain,
yang bernama West Nederlands Indie (WNI) atau Hindia Belanda Barat (HBB), dan
yang di-sebut terakhir lebih dikenal dengan istilah Suriname, dan terdapat di
Amerika Selatan.
Awalnya, pemerintah Hindia Belanda
menamakan Afdeeling Batak Landen (sub-bagian Tanah Batak) untuk wilayah yang terdapat
sekitar danau Toba dengan Tarutung sebagai ibukotanya. Sub-bagian Tanah Batak
lainnya, dinamakan Afdeeling Padang Sidempuan untuk Tapanuli Sela-tan, dan
Afdeeling Sibolga untuk Tapanuli Tengah. Penggabungan ketiga Afdeeling menjadi sebuah
keresidenan Tapanuli di dalam pemerintahan Hindia Belanda muncul dari hasil
penelitian Etnoloog (Belanda) atau Etnologist (Inggris), yaitu ahli tentang bangsa
dan suku-sukunya asal Belanda yang menemukan kesatuan logat (bahasa) dan
adat-istiadat yang terlihat jelas dari masyarakat dari ketiga afdeeling, baik untuk
kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara adat. Lingkungan alam yang
memudahkan perhubungan, kekerabatan, perkawinan, dan agama, juga ikut berperan kedalam
penelitian ketika itu. Pemerintahan Hindia Belanda lalu mengelompokkan beragam suku-bangsa
Batak yang berdiam di daratan pulau Sumatera menurut logat dan adat- istiadatnya
kedalam berbagai puak, masing-masing: Karo, Simalungun, Pakpak dan Dairi, Toba,
Angkola, dan Mandailing, yang masih dikenal luas sampai kini.
Pada tahun 1867 Tanah Batak masih
menjadi bagian dari Gouvernement van West Kust (Guber-nemen Sumatera Barat)
berkedudukan di Padang, Sumatera Barat, dengan ibukotanya Padang Si-dempuan.
Lalu pada tahun 1906, Tanah Batak memisahkan diri, lalu membentuk keresidenan
Tapanuli dengan Sibolga sebagai ibukotanya. Keresidenan Tapanuli oleh
pemerintah Hindia Belanda selanjutnya dibagi menjadi dua Afdeeling, masing-masing:
Afdeeling Tapanuli Utara dibawah Asisten Residen berkedudukan di
Tarutung, dan Afdeeling Tapanuli Selatan dibawah Asis-ten Residen berkedudukan
di Padang Sidempuan. Afdeeling akhir ini kemudian oleh pemerintah Hindia
Belanda dipecah jadi 8 (delapan) Onderafdeeling, yang setiap darinya dipimpin oleh
seorang Controleur yang berkedudukan di: Batang Toru, Angkola, Sipirok, Padang
Bolak, Barumun, Mandailing, Ulu dan Pakantan, dan Natal.
Dibawah sebuah Onderafdeeling
pemerintah Hindia Belanda lalu memperkenalkan: Distrik, yang dipimpin oleh
seorang Demang. Dibawah Distrik diperkenalkannya Onderdistrik yang dipimpin
Asisten Demang. Dibawah asisten Demang pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan:
Kuria yang memimpin Hakuriaan (Kekuriaan) untuk membawahi Huta berikut sawah
ladang dan lingkungan alam sekitarnya. Kata Kuria ini berasal dari “Curia”,
istilah yang terdapat dalam pemerintahan Gereja Katholik di Vatikan, Roma, Italia;
lalu oleh pemerintah Hindia Belanda diperkenalkan di Tanah Batak. Dari tulisan
Curia menjelma Kuria, melahirkan kata Hakuriaan dalam bahasa Batak. Dengan
Hakuriaan, pemerintah Hindia Belanda ingin melenyapkan istilah Luhat atau Banua
dipimpin Raja Panusunan Bulung (RPB) kebanggaan suku-bangsa Batak dari pe-redaran,
ketika itu bersemayam dalam fikiran anak-anak Batak yang merupakan kebanggaan
da-erah asal mereka. Meski pemerintah Hindia Belanda tampaknya tidak memperlihatkan
minat mencampuri urusan pemerintahan Huta yang berjalan masih menurut Adat
Batak setempat, akan tetapi dalam pelaksanaannya Belanda selalu berupaya
mempengaruhi siapa yang sebaiknya dija-dikan Raja Pamusuk yang memimpin sebuah
Huta.
Dengan semakin merosotnya anggaran
pendapatan pemerintah Hindia Belanda di Tapanuli Sela-tan silam, maka Onderafdeeling
yang delapan buah jumlahnya saat itu, lalu disusutkan menjadi 4 (empat),
masing-masing: Angkola dan Sipirok, Mandailing Besar dan Kecil Ulu serta
Pakantan, Natal dan Batang Natal, dan Padang Lawas. Lalu menjelang pemerintah
Hindia Belanda bertekuk lutut kepada serdadu-serdadu Jepang di pulau Sumatera
pada awal Perang Dunia ke-II di kawasan Asia Pasifik, keempat Onderafdeeling di
Tapanuli Selatan itu kembali disusutkan men-jadi 3 (tiga) buah saja, masing-masing: Angkola dan
Sipirok, Padang Lawas, Mandailing dan Natal.
Amang Tobang Sengel Harahap (1846-1928),
gelar Baginda Parbalohan dengan Inang Tobang Giring Siregar, gelar Ompu ni Sutor, boru
Regar dari Bunga Bondar, putri Ja Diatas Siregar, mendapat karunia tiga orang
anak, semuanya laki-laki, dari yang sulung hingga dengan yang bungsu,
masing-masing namanya:
1. Abdul Hamid Harahap, lahir di Bunga Bondar….tahun 1876.
2. Kasim Harahap, lahir di Bunga Bondar ….tahun 1881.
3.
Rakhmat Harahap, lahir di Bunga Bondar ….ahun 1883.
Setelah Inang Tobang Giring Siregar,
gelar Ompu ni Sutor berpulang ke Rakhmatullah, maka be-liau digantikan
oleh:….…., gelar Ompu ni Kasibun.
Menunaikan Ibadah Haji ke Tanah
Suci, di Madinah dan Mekah
Pada bulan Desember tahun 1927,
Amang Tobang Baginda Parbalohan dengan rombongan me-nyiapkan perjalanan menunaikan
ibadah haji ke Tanah Suci di Madinah dan Mekah, di Saudi A-rabia, yang lama
sudah direncanakan. Adapun rombongan yang akan berangkat dari Tanah-air berjumlah 5 (lima) orang, yaitu: Amang Tobang
Baginda Parbalohan sendiri, Inang Tobang Ompu ni Kasibun, Kampung Harahap, adik
Amang Tobang dari Bunga Bondar, Rachmat Harahap, anak bungsu Amang Tobang dari
Hanopan, dan Nurdin Harahap, cucu Amang Tobang dari Hanopan yang akan tinggal
di Mekah untuk belajar agama Islam.
Mereka berangkat lewat Belawan dengan naik kapal laut menuju ke Jeddah, kota
pelabuhan Saudi Arabia.
Rombongan berhasil menyelesaikan
seluruyh rukun Haji selama berdiam di Mekah. Setelah me-nunaikan ibadah haji di
Madinah dan Mekah, Amang Tobang Sengel Harahap (1846-1928), gelar
Baginda Parbalohan, mendapat nama/gelar Islam, masing-masing: Haji
Tuan Syekh Muhammad Yunus; adiknya Kampung Harahap mendapat nama/gelar
Islam: Haji Tuan Syekh Muhammad Jalil; anaknya Rachmat Harahap mendapat
nama/gelar Islam: Haji Abdullah Umar; cucunya Nurdin Harahap mendapat
nama/gelar Islam: Haji Nurdin. Setelah menunaikan semua rukun Haji yang diperlukan,
mereka pun melaksanakan tawaf wada, dan bersiap kembali pulang ke Tanah-air. Adapun
Haji Nurdin harus tinggal di Mekah untuk belajar agama Islam, menyebabkan rombongan
yang kembali ke Tanah-air tinggal 4 (empat) orang, yakni: Baginda Parba-lolan, gelar Haji Tuan Syekh Muhammad Yunus; Inang
Tobang Ompu ni Kasibun; Kam-pung Harahap gelar Haji Tuan Syekh Muhammad Jalil, Rachmat Harahap, gelar Haji Ab-dullah Umar.
Amang Tobang Berpulang ke
Rahmatullah
Selama di Mekah pada akhir
perjalanan menunaikan ibadah haji, Amang Tobang masih memperlihatkan badan yang
sehat melakukan tawaf wada mengitari mengelilingi Ka’bah. Rombo-ngan perjalanan
Haji dari Hanopan lalu menaiki kendaraan yang mengantarkan mereka kembali menuju
Jeddah, dimana kapal yang membawa mereka kembali ke Tanah-air berlabuh. Rombo-ngan
Haji awalnya berjumlah 5 (lima) orang, lalu kembali ke tanah-air berjumlsh 4
(empat) o-rang, karena Haji Nurdin harus tinggal untuk belajar agama Islam.
Dalam perjalanan menuju Jeddah naik bus dari Mekah, dengan tidak menunjukkan
gangguan kesehatan berarti kecuali usia senja,
Amang Tobang tiba-tiba merasa tidak enak badan lalu menjadi lemah. Ia lalu
dipeluk oleh adiknya Tuan Syekh Muhammad Jalil dan anaknya Haji Abdullah Umar.
Dikabarkan beliau ber-pulang ke Rachmatullah dalam peralanan kembali menuju
Jeddah. “انا لله وانا اليه راجعون” (Inna lillahi
wa inna ilaihi
raji'un). Beliau kemudian dimakamkan di kota
pelabuhan Kerajaan Saudi Arabia itu pada
tahun 1928.
Wafatnya Amang Tobang Baginda
Parbalohan di Tanah Suci, membuat rombongan yang kem-bali ke Tanah-Air semula terdiri
dari 4 (empat) orang kemudian menyusut jadi 3 (tiga), yakni: I-nang Tobang Ompu
ni Kasibun, Amangtobang Syekh Muhammad Jalil, dan Opung Sutan Nabonggal. Setibanya di
Bona Bulu, tepatnya di kampung Bunga Bondar, pada simpang empat kampung itu, di
hadapan rumah tempat Amang Tobang Baginda Parbalohan lahir dan dibesar-kan,
rombongan disambut deraian air mata penuh isak tangis tanda kehilangan, saat
orang me-ngetahui bahwa pemimpin rombongan tidak ikut kembali karena telah
berpulang ke Rachmatul-lah di Jeddah. Semua kahanggi yang berdiam di kampung
Bunga Bondar, begitu juga kaum kerabat, kenalan, dan handai tolan, segera
datang meramaikan rumah di Bunga Bondar untuk me-nyampaikan duka kehilangan
yang amat dalam terhadap orang yang amat dicintai. .
Mereka pun satu per satu datang melayat
bergantian guna menyampaikan rasa duka yang dalam kepada rombongan, dan
keluarga terdekat yang ditinggalkan. Maklum, pada ketika itu belum ada sarana
komunikasi yang dengan cepat dapat menyampaikan khabar duka ke Bunga Bondar dan
Hanopan. Dan satu-satunya sumber berita di kampung halaman ketika itu, ialah
apa yang dibawa oleh rombongan Haji yang kembali dari Tanah Suci setelah
menunaikan rukun Islam yang keli-ma. Para pelayat mengharapkan ketabahan dan
kesabaran rombongan dan sanak keluarga dekat yang ada di Bunga Bundar, agar
bertawakkal kepada Allah Suhanahu Wataala atas musibah yang terjadi. Pembacaan
ayat-ayat suci Al-Quran ul Karim pun lalu dikumandangkan di rumah duka di kampung
Bunga Bondar.
Dari Bunga Bondar, rombongan lalu melanjutkan
perjalanan ke Hanopan. Dari 3 (tiga) orang anggota keluarga yang pulang dari
Tanah Suci, kini tinggal 2 (dua), masing-masing: Inang To-bang Ompu ni Kasibun
dan Opung Sutan Nabonggal, karena Amang Tobang Tuan Syeh Mu-hammad Jalil berdiam
di Bunga Bondar. Namun Amang Tobang ini turut juga ke Hanopan untuk berkumpul
di Bagas Godang Hanopan guna menyampikan khabar duka kepada keluarga dan sa-nak
saudara, maklum almarhum Baginda Parbalohan adalah Raja Pamusuk di Hanopan. Di kampung
akhir ini juga, rombongan disambut lagi dengan deraian air mata, saat
mengetahui bah-wa Amang-tobang Baginda Parbalohan, Raja Pamusuk di kampung itu,
telah berpulang ke Rakh-matullah dalam perjalanan kembali, usai menunaikan
ibadah haji di Tanah Suci, Madinah dan Mekah.
Acara dalam Adat Batak pun lalu
diselenggarakan sehubungan dengan telah berpulangnya Raja Pamusuk yang pertama
di kampung Hanopan. Pembacaan ayat-ayat suci dari Al-Quran pun di-langsungkan
dengan tahlilan guna memanjatkan doa kepada almarhum Amang Tobang Baginda
Parbalohan dan kedua orang tuanya yang telah berpulang ke Rakhmatullah di masa
yang silam, agar kepada mereka semua yang ditinggalkan dikaruniakan-Nya
kesabaran dan ketabahan meng-hadapi musibah dan duka yang tengah melanda
ditinggalkan Amang Tobang Baginda Parbalo-han, karena beliau telah
dipanggil oleh Sang Khalik menghadap kepadaNya. Amin.
Surat Wasiat Amang Tobang untuk ketiga orang putranya.
SURAT
PARTINGGAL
HAJI SENGEL HARAHAP (1846-1928),
gelar
BAGINDA PARBALOHAN,
OMPU NI SUTOR,
TUAN SYEKH MUHAMMAD YUNUS
(Ditulis pada tanggal 3 Desember
1927 dalam aksara Batak, di Hanopan)
On ma suratku partinggal di hamu
amang. Ulang hamu marbadai anso manjadi pancarian munu. Taringot tu saba julu
madung ta bagi do i. Olat ni bondar tu balok ni si Gardok dohot panjaean ni si
Badul, i ma di si Kasim. Saba na hu baen i, muda mate au, tinggal di si Rachmat
tamba ni saba na dibaennia. Bagian ni si Badul ima saba tonga sian julu Ja
Saidi, sian jae si Kariaman dohot si Mamin. Nadung tahinta do i najolo.
Taringot tu bagas dohot parbagasan,
ulang hamu amang marsietongan. Na di pakarangan ni si Kasim tinggal disia
harambir dua batang, pining, bulu, parira, bakore. Di si Rachmat harambir na di
kobun ni Baginda Pangibulan i ma, sada na dilambung sopo ni si Gardok.
Taringot tu bagas godang on amang
madung huisinkon di si Badul, umbahat do poko nia tusi. Nada tola dohononmunu
partopan bagas i. Harambir dua batang, unte sabatang, jambu sabatang, lancat
sabatang, mangga dua batang. Harambir na di sopo Nagodang i si Badul do nampuna
i do-hot kuéni i.
Amang, jagit hamu ma sipaingotkon:
Indalu batiti, indalu batonang,
indalu pasitik manuk butongan.
Amang, anggo saba jae nada bagian
munu be i, panjaean ni pahompu siangkaan, dohot bagian ni boru pahompu dohot
ibotongku; bagianna songon on:
Saba i lima ruang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua ruang sian julu on, i ma bagian ni si Sutor dohot tobat dohot sopo na
lopus tu
Baginda Pangibulan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Ruang patoluhon i ma bagian ni si Bahat lopus tu bondar ni Ja Tahanan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Ruang paopatkon dibagi dua: Satonga di si Sento dohot si Sanne, na satonga nari
di pahompu dadaboru sudena. Onom tangga di iboto hasurungan rimbaonna.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ruang parjae, i ma bagian ni si Dimpu, lopus tu bondar ni Ja Tahanan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Amang, bagian ni boru on nada tola gadison ni halahi. Muda mate boru nada adong
panyundutna nada taruli bagian be. Anso tongtong adong bagian ni boru mamanjang,
manjujung hamu.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Amang natolu simanjujung:
Ulang hamu mangalaosi patik nanibaen
ni amamu, gusar Tuhan di hamu.
Taringot tu hapea i. Hapea na tobang on ma di si Sutor lalu
tu aek i. Hapea naposo on dibagi dua: satonga sian jae di si Bahat, sian julu
di si Dimpu.
Amang, tai anggo laing mangolu dope inangmu, nada tola
buatonmunu saba jae sudena dohot hapea, anggo diboto ia aturan maranak di hamu.
Antong horasma di anak, horas di parumaen, horas di pahompu,
sude dadaboru dohot halak-lahi. Botima.
Amang, taringot tu pahompu halaklahi, i sudena ima lombu na
di Padang Bolak na salapan bolas i. Ima bagi hamu di halahi, dosdos bagi hamu.
Bulu soma parjulu di si Bahat. Bulu surat di si Dimpu. Bulu poring, bulu soma
na di kobun i di si Sutor.
Tobat na di julu ni hapea natobang i dohot pakaranganna,
madung hu lehen di si Peli sudena.
Madabu sada, madabu dua, ilu sipareon ni amamu.
Botima,
Horas
ma di pomparanku sudena!
Ttd.
BAGINDA
PARBALOHAN
3-12-’27
Terjemahan Surat Wasiat
Inilah
surat peninggalan untuk anak-anakku sekalian. Jangan kalian berkelahi agar
berhasil pen- carian kalian. Tentang sawah yang ada dihulu sudah kita baginya
itu. Mulai parit sampai ke bagi-an si Gardok hingga yang dikerjakan si Badul,
ialah untuk si Kasim. Sawah yang aku kerjakan itu, bila aku telah tiada nanti,
adalah untuk si Rachmat untuk menambah sawah yang dikerjakannya. Bagian si
Badul, ialah sawah tengah, dari sebelah hulu Ja Saidi, sebelah hilir si
Kariaman dan si Mamin. Yang sudah kita sepakati nya itu dahulu.
Tentang
rumah dan perumahan jangan kalian saling berhitung. Yang terdapat di
pekarangannya si Kasim menjadi miliknya dua batang kelapa, pohon pinang, rumpun
bambu, pohon pete, dan batang kemiri. Untuk si Rachmat pohon kelapa yang
terdapat di kebun Baginda Bangibulan itu, dan satu lagi didekat pondok si
Gardok.
Tentang
Bagas Godang ini nak, telah kurelakan bagian si Badul, karena telah banyak
modal yang dituangkannya kesitu. Tidak boleh kalian katakan milik bersama rumah
itu. Di halamannya terdapat dua batang pohon kelapa, pohon jeruk sebatang,
pohon jambu sebatang, pohon duku sebatang, dan pohin mangga dua batang. Pohon
kelapa yang terdapat di halaman Sopo Nagodang itu termasuk milik si Badul
begitu juga pohon kuéni itu.
Nak,
terima kalian nasihatku ini:
Indalu
batiti, indalu batonang (alu betitik, alu betanang),
indalu pasitik manuk butongan (alu bertikai, ayam pun kenyang).
Nak, kalau sawah hilir bukan lagi
bagian kalian, akan menjadi bagian cucu tertua, dan bagian cucu perempuan,
serta saudara perempuanku; dan pembagiannya adalah sebagai berikut:
Sawah itu lima petak.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua petak dari sebelah hulu,
itulah bagian dari si Sutor berikut kolam dan pondok
hingga ke batas Baginda
Pangibulan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Petak ketiga, ialah bagiannya si Bahat, sampai ke parit milik Ja Tahanan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Petak keempat dibagi dua:
setengah untuk si Sento dan si Sanne, adapun sisanya
untuk semua cucu perempuan.
Enam tangga istimewa untuk digarap saudara pe-
rempuan
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Petak paling hilir, ialah
bagian dari si Dimpu, sampai ke parit Ja Tahanan. .
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Nak, bagian perempuan tidak
boleh mereka jual. Kalau perempuan wafat dan tidak
ada keturunannya, tidak lagi
mendapat bagian. Maksudnya, agar selalu ada bagian
anak boru yang membantu untuk
menghormati kalian.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Nak,
kalian bertiga junjunganku:
Jangan kalian melanggar perintah yang dibuat
oleh
ayahmu, marah Tuhan kepada kalian.
Tentang pohon karet itu. Pohon karet yang tua inilah untuk
si Sutor sampai ke air. Pohon karet yang muda ini dibagi dua: setengah dari hilir
untuk si Bahat, yang dari hulu untuk Dimpu.
Nak, akan tetapi apabila ibumu (Ompu ni Kasibun) masih
hidup, tidak boleh kalian ambil semua hasil sawah hilir dan kebun karet, kalau
ia tahu aturan beranak terhadap kalian.
Jadi, selamatlah kepada anak, selamat parumaen, dan selamat
pahompu, semuanya laki-laki dan perempuan. Demikian.
Nak, teringat kepada cucu laki-laki itu semua, itulah sapi
yang ada di Padang Bolak delapan belas ekor jumlahnya. Bagi rata kalian kepada
mereka, sama semua bilangannya. “Bulu Soma” bagian si Bahat. “Bulu Surat” untuk
si Dimpu. “Bulu Poring” dan “Bulu Soma” yang di dalam kebun untuk si Sutor.
Kolam yang di hulu pohon karet yang tua termasuk
pekarangannya sudah kuberikan kepada si Peli semua.
Jatuh satu, jatuh dua, airmata duka dari ayahmu.
Demikian,
Selamat untuk keturunanku semua!
Penjelasan:
1. Surat Partinggal Amang Tobang yang
tertulis dalam Aksara Batak di Hanopan silam, ditemu-
kan dalam arsip surat-surat Ayahanda Sutor Harahap, gelar Baginda
Pandapotan, cucu tertua
Amang Tobang, putra sulung Ompung Sutan Hanopan.
2. Alih aksara dari Batak ke Latin
masih dalam Bahasa Batak, dikerjakan oleh cucu Amang To-
bang Baginda Parbalohan
bernama: H.M.Diri Harahap S.H., putra kedelapan Sutan Hanopan
pada tanggal 26 Oktober 1974 di rumah
kediamannya, di jalan Hang Tuah VIII/8, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan.
3. Sento Harahap ialah iboto (adik
perempuan) Amang Tobang Baginda Parbalohan yang meni-
kah dengan Ja Kola dari Batu Horpak, tidak jauh dari Bunga Bondar..
4. Sanne Harahap juga adik perempuan
Amang Tobang Baginda Parbalohan yang menikah de-
ngan Baginda Hinalolongan berasal dari Bunga Bondar.
5. Kenis Harahap, gelar Baginda
Pangibulan, Ompu ni Kaya, ialah adik Amang Tobang Baginda
Parbalohan yang ke-14 dan bermukim di Hanopan.
6. Gardok Harahap, gelar Baginda
Malim Muhammad Rahim, Ompu ni Marasali adalah adik Ba-
ginda Parbalohan yang ke-15, juga berdiam di Hanopan.
7. si Badul adalah nama kecil Ompung
Abdul Hamid Harahap, Ompu ni Amir laki-laki,Tuan Da-
tu Singar, gelar Sutan Hanopan, anak sulung, putera tertua dari Baginda
Parbalohan yang ber-
diam di Hanopan.
8. Kasim adalah nama kecil Ompung Mangaraja
Elias Hamonangan, Ompu ni Paulina laki-laki,
Gelar Tongku Mangaraja Elias Hamonangan, adalah anak kedua dari Baginda
Parbalohan
yang berdiam di Hanopan.
9. Rachmat adalah nama kecil Ompung Haji
Abdullah Umar, Ompu ni Mina laki-laki, gelar Su-
tan Nabonggal, adalah anak ketiga, anak bungsu, dari Amang Tobang Baginda
Parbalohan
yang ikut bersamanya menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci di Medinah dan
Mekah pada
tanggal 3 Desember 1927, berdiam di Hanopan.
10. Sutor Harahap, gelar Baginda Pandapotan, adalah anak
sulung Sutan Hanopan, cucu sulung
Amang Tobang Baginda
Parbalohan dari putera sulungnya.
11. Dimpu Harahap, gelar Baginda Parbalohan (Naposo), adalah
anak ketiga, putra sulung Om-
pung Mangaraja Elias
Hamonangan, cucu laki-laki sulung Amang Tobang Baginda Parbalohan
dari puteranya
yang kedua.
12. Bahat Harahap, ialah anak sulung Ompung Sutan Nabonggal,
cucu sulung Baginda Parbalohan
dari puteranya
yang ketiga.
13. Pelinuruddin Harahap, Uda Haji Muhammad Nurdin, adalah putera
kelima Ompung Sutan Ha-
nopan, cucu Amang
Tobang Baginda Parbalohan yang menemaninya menunaikan Ibadah Haji
ke Tanah Suci, lalu
tinggal di Mekah untuk belajar agama Islam.
14. Mamin, warga kampung Hanopan.
15. Ja Saidi, warga kampung Hanopan.
16. Kariaman, warga kampung Hanopan.
17. Ja Tahanan, warga kampung Hanopan.
Alih
bahasa dari Batak ke Latin dilakukan cucu
Baginda Parbalohan: H. M. Diri Harahap S.H.,
gelar Baginda Raja Mulia Pinayungan.
Terjemah dan diberi penjelasan tanggal 19 Mei
2009, dikerjakan oleh cicit Baginda
Parbalohan:
H. M. Rusli Harahap, gelar
Sutan Hamonangan
Pasidung Ari Amang Tobang Baginda
Parbalohan.
Karena Amang Tobang Baginda
Parbalohan bepulang ke Rakmatullah dalam perjalanan kembali menuju Tanah-Air dari
Mekah, maka beliau lalu dimakamkan di kota Jeddah. Meski demikian dalam Bale Julu di kampung Hanopan, dibuatkan
makam untuknya, guna mengenang orang yang begitu berjasa mendirikan kampung untuk
Marga Harahap di Luhat Sipirok, dengan memberi ke-terangan, bahwa beliau sesungguhnya
telah di makamkan di Jeddah pada tahun
1928 silam. A-mang Tobang Baginda Parbalohan pernah “berwasiat” kepada
pomparannya, agar membawa pulang ke kampung Hanopan saring-saringan kerabat
yang berpulang ke Rachmatulh di tanah perantauan. Memang terniat dalam hati
untuk membawa pulang “saring-saringan” Amang To-bang Baginda Parbalohan yang sangat
dicintai, akan tetapi karena sudah tidak lagi dapat dilaku-kan, diwujudkanlah
sebagaimana yang dijumpai di dalam Bale Jae. Pasidung ari adalah sebuah acara sejalan
Adat Batak untuk memberitahukan atau mengabarkan bahwa seseorang telah me-ninggal
dunia dan tidak dapat kembali lagi..
Pelaksanaan Pasidung Ari Amang
Tobang Baginda Parbalohan
1. Menyampaikan undangan acara Adat Batak Pasidung Ari
almarhum Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan kepada: Dalihan
na Tolu, Hatobangon, dan Harajaon, dari Hanopan, Bu-nga Bondar, Parau Sorat,
Panggulangan, dan Huta-huta Torbing Balok yang terdapat dalam DAS Aek Silo.
2. Para Penyelenggara Acara Pasidung
Ari.
a. Raja Panusunan Bulung
b. Paralok-alok na Pande
c. Suhut Sihabolonan
d. Kahanggi
e. Hombar Suhut/Pareban
f. Anak Boru
g. Pisang Raut/Sibuat Bere
h. Mora
i. Hatobangon ni Huta Hanopan (Namora Natoras):
j. Raja ni Huta Hanopan
k. Raja-raja ni Huta Torbing Balok
l. Raja-raja Luat ni Desa na Walu.
3. Pemasangan bendera-bendera Adat Batak
di depan rumah duka Bagas Godang Hanopan.
4. Mengeluakan Perbendaharaan Adat
Batak:
a. Bulang
b. Perbedaharaan almarhum Amang Tobang Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan.
c. Abit Godang (Abit Batak, atau Ulos)
d. Tikar Lapis (3, 5, atau 7 lapis)
e. Burangir Nahombang dan Burangir Panyurduan.
f. Payung Rarangan.
g.
Bendera Batak.
h.
Tombak, Podang
i.
Tawak-tawak
j.
Tanduk ni Horbo (Kerbau).
5. Acara Adat Batak Pasidung Ari
I.
Pemakaman Amang Tobang Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalihan, sudah
berlangsung
dalam tahun 1928 di Jeddah, Saudi
Arabia.
II. Upacara Adat
Pasidung Ari.
a. Menyembelih hewan Nabontar (Kerbau) di halaman Bagas Godang Hanopan.
b. Menyiapkan ruangan.
c. Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon, dan masyarakat mengambil
tempat dalam ru-
ang tengah Bagas Godang Hanopan.
Bagian
Pertama
(Sidang Adat Batak para Raja yang
tidak dihadiri oleh kaum ibu)
d. Sidang Adat Haruaya Mardomu Bulung dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung
(RPB).
e. Orang Kaya pembawa acara minta anakboru manyurduhon burangir
(panyurduan dan
nahombang), dan meletakkan keduanya dihadapan Raja Panusunan Bulung.
f. Orang Kaya minta kepada Suhut Sihabolonan menyampaikan isi hatinya. Adapun
pokok
pembicaraan pada ketika itu ialah:
- melaporkan kepada Raja Panusunan Bulung bahwa: Sengel Harahap, gelar Baginda
Parbalohan Raja Pamusuk di Hanopan, telah berpulang ke Rachmatullah di Jeddah.
- memohon kepada para Raja untuk menyampaikan khabar duka ini kepada khalayak
ramai.
- bahwa keluarga almarhum telah
menyelesaikan segala hutang adat (mandali), dan ka-
ena itu telah diperkenankan untuk melaksanakan horja siriaon.
- memohon kepada para Raja untuk
menyaksikan Suhut Sihabolonan menghadap Mora
untuk secara resmi menyampaikan chabar duka ini.
g. Setelah Suhut Sihabolonan berbicara, lalu disusul dengan Pareban, Anakbpru,
Pisang,
Raut, Mora, Hatobangon, Harajaon, begitu
juga Raja-raja torbing balok.
h.
Setelah seluruhnya berbicara, Raja Panusunan Bulung memutuskan untuk
mengabulkan
semua permohonan Suhut Sihabolonan.
Memanjatkan doa, dan sidang Adat Batak bagian pertama lalu selesai.
i.
Pembagian daging Nabontar terjinjing baiyon loging dibagikan kepada seluruh
yang hadir
dalam sidang
pasidung ari.
Inilah cara
Adat Batak untuk menyampaikan khabar duka di Bona Bulu kepada masyarakat
luas, bahwa:
Amang
Tobang: Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan,
telah
berpulang ke Rachmatullah dari tengah-tengah para hadirin.
Adapun cara pembagian nabontar yang berlaku di Bona Bulu ketika itu sebagai
berikut:
1. Suhut dan Kahanggi menerima: ate-ate dan pusu-pusu.
(maksudnya agar sapangkilalaan, maknanya sependeritaan)
2. Anakboru : juhut jantung, udut rungkung
(artinya: yang memiliki kekuatan untuk manjuljulkon)
3. Pisang Raut : juhut holi-holi dan kaki depan.
(maknanya: agar selalu cekatan dan rajin bekerja)
4. Raja-raja dan Hatobangon : juhut na marbobak, sude gorar-goraran.
(maknanya: supaya menjadi (berhasil) pangidoan na bisuk dohot uhum.
5. Raja Panusunan Bulung : lancinok sude gorar-goraran
(maknanya: orang tempat mendapat parsilaungan, paronding-ondingan)
6. Mora tulang rincan, gorar-goraran
(maknanya: tempat permomohon sahala dohot bisuk).
Ketika menyerahkan bagian Mora, daging diletakkan diatas anduri
beralas-
kan daun pisang, lalu ditutup daun yang sama dari atas, lalu diatas semua-
nya diletakkan abit (kain) Batak.
Bagian
Kedua
(Sidang Adat Batak Dalihan Natolu
yang dihadiri oleh kaum ibu)
Raja Panusunan Bulung, Raja Pamusuk,
Harajaon Torbing Balok, dan Hatobangon bertindak sebagai saksi terhadap
jalannya sidang Adat Batak.
a. Menyerahkan Hasaya
ni Karejo dilaksanakan oleh Suhut Sihabolonan:
1. Kepada Mora: tulang rincan, ate-ate, mata, dan pinggol diletakkan
diatas anduri bera-
laskan daun pisang sitabar.
Mora menebus dengan kembalian diatas
Pinggan Raja (porselen) bertabur beras.
2. Kepada Anakboru: udut rungkung, juhut jantung diletakkan diatas anduri
beralaskan
daun pisang sitabar.
Anakboru menebus dengan kembalian diatas Pinggan Raja (porselen) yang bertabur
beras.
3. Suhut Sihabolonan dan kahanggi bertugas menyerahkan pemberian kepada Mora.
b. Menyiapkan ruangan
tempat acara adat Batak berlangsung..
Mora duduk di juluan berseberangan dengan Suhut, Kahanggi, Anakboru,
Pisang Raut;
dan mengambil tempat saling berhadapan.
Hatobangon dan para Raja duduk disebelah
kanan dan kiri Mora untuk
menyaksikan acara adat Batak..
c. Anakboru selanjutnya
manyurduhon Burangir.
d.
Suhutsihabolonan lalu mengutarakan isi hatinya kepada Moranya, perihal dibawah
ini:
- bahwa Raja Pamusuk dari Bagas Godang Hanopan telah berpulang ke Rakhma-
Matullah,
- agar mora tidak lagi mengharapkan kedatangannya di masa datang dengan
memperlihatkan hormat bermora
sebagaimana yang dilakukannya selama ini.
e. Setelah
Suhutsihabolonan marlidung, lalu disusul dengan Pareban, Anakboru, Pisang Raut.
f. Pakaian peninggalan
Amang Tobang Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan, terdapat
dalam peti lalu diperlihatkan kepada Mora
sebagai “pangitean ni namangolu”, dengan hara-
pan agar Mora, agar yang disebut akhir
ini tidak lagi menantikan kedatangan anakborunya
sebagaimana yang dilakukan selama ini.
g. Mora kemudian menjawab
Suhut Sihabolonan dan menerima dengan resmi peti pakaian pe-
ninggalan almarhum Amang Tobang Sengel
Harahap, gelar Baginda Parbalohan berikut i-
sinya.
Mora meminta agar isi kopor peninggalan almarhum dibagikan kepada seluruh kahanggi.
Acara Adat Pasidung Amang Tobang Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan pun de-
Ngan demikian selesai.
Pendidikan dan Pekerjaan Ketiga
Putera Baginda Parbalohan
1. Abdul Hamid Harahap (1876-1939), gelar Sutan Hanopan, juga bernama Tuan Datu
Singar, lahir di Bunga Bondar, menempuh pendidikan Sekolah Gouvernement di
Sipirok. Pekerjaannya menjadi Raja Pamusuk di Hanopan menggantikan ayahanda
Baginda
Parbalohan yang berpulang ke Rakhmatullah di Jeddah tahun 1928.
2. Kasim Harahap (1881-1944), Tongku Mangaraja Elias Hamonangan lahir di Bunga
Bondar. Menempuh pendidikan Sekolah Gouvenement di Sipirok. Pekerjaan
menjadi Raja Pamusuk di Hanopan menggantikan
abanghanda Sutan Hanopan yang
wafat
tahun 1939.
3. Rakhmat Harahap (1883-1962), gelar Sutan Nabonggal, lahir di Bunga Bondar.
Om-
pung Sutan Nabonggal menyertai ayahnya Baginda Parbalohan menunaikan ibadah
Haji ke Madinah dan Mekah
pada tahun 1927, dan mendapat gelar Haji Abdullah U-
mar.
Amang Tobang Baginda Parbalohan menikahkan
ketiga putera dengan para cucu:
1. Ompung Sutan Hanopan menikah dengan Dorima Siregar, gelar Ompu ni Amir
Boru Regar dari Bunga Bondar, putri Sutan Bungabondar. Keturunannya:
1.
Sutor, lahir 15 Juni 1896 di Bunga Bondar.
2. Maujalo, lahir 10 September 1901 di Bunga Bondar.
3. Siti Angur (pr), lahir …. 1905 di Hanopan.
4. Dumasari (pr), lahir …. 1908 di Hanopan.
5. Pelinuruddin, lahir …..1911 di Hanopan.
6. Aminah (pr), lahir …..1912 di Hanopan.
7. Sorimuda (Hisar), lahir ….. 1913 di Hanopan.
8. Diri (Din), lahir ….. 1915 di Hanopan.
9. Muhammad, lahir …..1917 di Hanopan.
10. Khairani (Erjep, pr), lahir ……1920, di Hanopan.
11. Marajali, lahir……1922 di Hanopan.
12. Pamusuk, lahir …..1925 di Hanopan.
2. Ompung Tongku Mangaraja Elias Hamonangan menikah dengan Petronella Siregar,
gelar Ompu ni Paulina, juga bergelar Naduma Bulung Pangondian, boru Regar,
putri
ke-4
Ompu Raja Oloan Siregar dari Bunga Bondar. Keturunannya:
1. Surto Meta Khristina (Tabiran, pr), lahir…. di Hanopan.
2.
Dagar Na Lan (Dagar, pr), lahir…..di Hanopan.
3. Dimpu, lahir….. di Hanopan.
4. Menmen (pr), lahir di Hanopan.
5.
Siti Dinar (Dinar, pr), lahir di Hanopan.
6. Partaonan (Parta), lahir di Hanopan.
7. Hakim, lahir di Hanopan.
8.
Poma, lahir di Hanopan.
9. Krisna Murti (Murti, pr), lahir di Hanopan.
10. Bagon, lahir…..1922 di Hanopan.
11. Bakhtiar (Samsu), lahir 23 Agustus 1924 di Hanopan.
12. Toga Mulia (Toga), lahir 30 Juli 1928 di Hanopan.
13. Sitiurma (Tiurma, pr), lahir 31 Agustus 1936 di Hanopan.
3. Ompung Rakhmat Harahap, gelar Sutan Nabonggal, Haji Abdullah Umar, de-
ngan istri Gorga Siregar, gelar Ompu ni Mina, boru Regar dari Bondar Sampulu,
i-
boto Sutan Kalisati Siregar. Keturunannya:
1. Bahat, lahir…….di Hanopan.
2. Utir (pr), lahir di Hanopan.
3. Marip, lahir 11 April 1927 di Hanopan.
4. Sahada (pr), lahir di Hanopan.
5. Malige (Lige, pr), lahir di Hanopan.
6. Zainuddin (Sai), lahir di Hanopan.
7. Siti Aisyah (Cia, pr), lahir di Hanopan.
Jumlah cucu Amang Tobang Baginda Parbalohan semuanya banyaknya 32 orang.
--------selesai-------
Disusun oleh cicit Baginda Parbalohan:
H.M.Rusli Harahap,
gelar
Sutan Hamonangan
Pamulang
Residence G-1
Jalan
Pamulang 2 Raya Pondok Benda. Kode Pos 15416
Tangerang
Selatan, Banten. Indonesia.
Tel: 021-74631125.